bakaba.co | Bukittinggi | Perpanjangan masa jabatan kades dari 6 tahun menjadi 9 tahun bertentangan dengan prinsip konstitusionalisme dalam negara hukum yang menghendaki adanya pembatasan terhadap masa jabatan penguasa.
“Polemik ini Perpanjangan masa jabatan kades menjadi 9 tahun bukan tidak mungkin akan membuka ruang diskursus dan wacana tentang perpanjangan masa jabatan Presiden, Gubernur, Walikota, dan Bupati.”
Demikian kesimpulan utama yang disampaikan LSM LuHak-Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat sebagai pernyataan sikap merespon demo Kades ke DPR RI, 17 Januari 2023.
Menurut LSM LuHak-UMSB yang pernyataan sikapnya diekspos ke publik, 26 Januari 2023, perpanjangan masa jabatan kades menganeliasi dimensi demokrasi di level desa. Suksesi dan regenerasi (penggantian) kepemimpinan akan terhambat, sehingga menihilkan sosok kades potensial dan kapabel.
Perpanjangan masa jabatan kepdes menjadi 9 tahun akan semakin menyuburkan praktik banal korupsi di tingkat desa. Dengan adanya rentang waktu yang lama terhadap kekuasaan, maka potensi kesewenangan itu akan semakin tinggi pula.
Oleh karena itu, atas wacana dan/atau tuntutan perpanjangan masa jabatan kades dari 6 tahun menjadi 9 tahun tersebut, LuHak – Fakultas Hukum UMSB menyatakan sikap sebagai berikut:
Mendesak Presiden dan DPR untuk menolak tuntutan revisi ikhwal perpanjangan masa jabatan kades di dalam Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) UU Desa menjadi 9 tahun.
Mendesak Presiden dan DPR untuk lebih fokus pada upaya pembenahan dan penataan terhadap pemerintahan desa, sehingga menghambat bahkan memberantas potensi korupsi serta memperbaiki dimensi demokrasi pada level desa.
“Mendesak pihak yang tergabung dalam asosiasi pemerintahan desa untuk menghentikan kampanye wacana perpanjangan masa jabatan kades menjadi 9 tahun, sehingga agar lebih fokus untuk meningkatkan iklim demokratisasi dan perbaikan tata kelola desa secara struktural dan kelembagaan,” LSM LuHak-UMSB menegaskan sikap.
Aksi Kades ke Senayan
Seperti diketahui, ribuan kepala desa (kades) menggoyang gedung “setengah miring” di Senayan. Selasa, 17 Januari 2023. Kades yang terafiliasi dalam beberapa asosiasi kepala desa nasional mendesak agar DPR merevisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa (UU Desa). Ikhwal revisi terkait perpanjangan masa jabatan kades dari yang semulanya 6 tahun (vide Pasal 39 ayat (1) dan Ayat (2) UU Desa) menjadi 9 tahun. Mereka melihat masa jabatan dengan waktu 6 tahun tidak cukup dan efektif melakukan pembenahan terhadap tata kelola desa.
Selain waktu yang disediakan dianggap tidak efektif dan “mepet”, masa jabatan 6 tahun menjadi batu sandungan ketika hendak merealisasikan pekerjaan kades terpilih paska pemilihan kepala desa (pilkades).
Kades dianggap kesulitan meredam terjadinya polarisasi warga paska pilkades. Bahkan, polarisasi dan konflik horizontal “akar rumput” akibat pilkades cenderung memanjang, sehingga dengan masa jabatan 6 tahun, kades merasa waktu itu tidak cukup dan efektif lantaran rentang masa jabatan itu sudah tersita untuk meredam eskalasi yang ditimbulkan paska pilkades.
Oleh karena itu, menambah masa jabatan kepala desa adalah keniscayaan. Sinyal atas penambahan masa jabatan tersebut justru diamini oleh DPR. Hal ini terlihat ketika DPR “ngotot” mendorong revisi UU Desa masuk program legislasi nasional (prolegnas) prioritas tahun ini. Sikap tersebut perlu diuji.
Apakah deret alasan tersebut korelatif dengan memperpanjang masa jabatan kades?. Bagaimana mencerna tuntutan perpanjangan “tahta” penguasa lokal ini?. Bukankah kekuasaan yang cenderung lama memantik “berseminya” absolutisme dan kesewenang-wenangan?. Ibarat tragedi kuda troya di Yunani,
“Sesungguhnya di balik memperpanjang masa jabatan kades “tercium” strategi licik mengekalkan praktik absolutism di level penguasa lokal yang justru menegasikan prinsip konstitusionalisme dan akar historis demokrasi yang selama ini dibangun sebagai sendi-sendi dalam kehidupan bernegara,” tulis LSM LuHak-UMSB.
Kades dan Moncong Oligarki
Di bagian lain LSM LuHak-UMSB menyatakan, secara normatif, kades sebagai salah satu bagian pemerintahan desa (pemdes) diberikan batasan masa menjabat selama 6 tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. kades dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan, baik secara berturut-turut maupun tidak berturut-turut (vide Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) UU Desa). Artinya, jika wacana perpanjangan masa jabatan 9 tahun ini goal di senayan maka kades dapat menjabat sampai 27 tahun. Elok kah?.
Justru wacana perpanjangan masa jabatan kades kontradiktif dengan prinsip konstitusionalisme yang menjadi “urat nadi” negara hukum bangsa ini. Esensi konstitusionalisme di dalam negara hukum adalah pembatasan kekuasaan.
Pembatasan ini perlu dilakukan agar potensi penindasan serta kesewenang-wenangan yang muncul dari penguasa bisa diredam sedini mungkin. Jika kekuasaan tidak dikembalikan kepada khittah konstitusionalisme, maka kekuasaan yang tidak terbatas atau cenderung lama akan memantik terjadinya monopoli sumber daya yang berujung pada terbentuknya oligarki di level desa. Bagaimanapun kebaikan seseorang yang sedang berkuasa, semestinya kekuasaan harus tunduk pada pembatasan agar menghambat munculnya celah praktik korup.
Perpanjangan masa jabatan kades menjadi 9 tahun tentu tergolong sangat lama. Kondisi ini memantik munculnya otoritarianisme pada tingkat pemerintahan desa. Akibatnya, jabatan akan disalahgunakan demi kepentingan pragmatis, nihil kepentingan publik. Situasi inilah yang mengakibatkan terjadinya korupsi, dominasi, superioritas, raja-raja kecil, kolusi, koncoisme dan nepotisme ala orde baru.
Pembatasan kekuasaan kepala desa adalah cerminan demokratisasi di level akar rumput. Persis dengan pemerintahan pusat, pemdes seharusnya “mengambil jarak” dengan penguasa berwatak sentralistis dan otoriter. Demokrasi menghendaki kekuasaan harus dibatasi untuk mencegah terjadinya tirani menggurita di level desa.
“Jika wacana perpanjangan masa jabatan kades ditindaklanjuti, maka akan menjadi pintu masuk untuk menggugat masa dan periodesasi jabatan yang saat ini diemban oleh Presiden, Gubernur, Walikota/Bupati. Wacana ini rentan di “politisasi” menjadi pijakan untuk mengubah pengaturan masa jabatan dan periodesasi dari para pemegang tahta kekuasaan saat ini (Presiden, Gubernur, Walikota/Bupati). Bukan tidak mungkin, justifikasi perpanjangan masa jabatan kades juga menjadi “pintu masuk” untuk mengubah dasar pengaturan masa jabatan dan periodesasi Presiden, Gubernur, Walikota/Bupati agar relatif lebih lama,” tulis LSM LuHak-UMSB.
rel | LuHak-UMSB
Gambar oleh Dimitris Vetsikas dari Pixabay