bakaba.co | Tembakau atau timbakau alias santo jalua di masyarakat Minangkabau, diposisikan di tempat terhormat. Di mana, tembakau menjadi satu dari lima benda penting dalam proses awal terjadinya perkawinan. Hal itu terlihat dari isi carano, cerana yang dibawa pihak keluarga yang meminang: daun sirih, kapur, gambir, pinang dan tembakau.
“Di masyarakat Minang, tembakau memiliki nama yang khas yaitu santo. Sebelum ada pabrik mengemas timbakau jadi rokok yang praktis, di Minang orang mengisap rokok atau pisok dengan cara menggulung santo dengan daun nipah.”
Asbir Dt. Rajo Mangkuto, 87 tahun, bercerita dalam perbincangan dengan bakaba.co di kediamannya di Payakumbuh, baru-baru ini. “Santo di awak, di orang Minangkabau dibakar lalu diisok, dihisap. Asap hasil pembakaran santo itu yang masuk ke rongga mulut, ke hidung dan tentu saja juga sampai ke paru-paru. Di agama kristen Santo adalah sebutan untuk seseorang yang suci, yang dikenal ilmu agamanya tinggi,” ujar Rajo Mangkuto sambil tertawa.
Dalam keyakinan orang Kristen, Santo itu orang suci yang menjadi anutan jemaat. Mereka, jemaat mempercayai Santo memiliki kedekatan dengan Tuhan. “Melalui Santo para jemaat mengakui dosa dan minta penghapusan dosa,” ujar Asbir.
Colombus dan Tembakau
Jejak tanaman tembakau ada persentuhan dengan ekspedisi Christopher Colombus. Kisahnya, tahun 1492, tepatnya 12 Oktober, dalam ekspedisi kedua, Colombus menemukan pulau Waiting Island di kepulauan Bahama. Selanjutnya mereka menemukan pulau Kuba, Hispaniola.
Dalam ekspedisi Colombus ikut-serta beberapa orang morano, keturunan Yahudi yang terkenal yakni Alonso De Lacale, Louis de Torres, Gabriel Sanches, Marco dan Bernal. Pada ekspedisi ketiga Colombus, saat menemukan pulau Kuba, Louis de Torres tidak kembali ke Italia. Dia menetap di Kuba.
Torres menjadi seorang pedagang dan pekebun tembakau. De Torres memperkenalkan tembakau ke Eropa dan seluruh dunia. Dia terkenal dan menjadi raja tembakau dunia, kaya raya. Akhirnya, usahanya itu dia wariskan kepada anak cucunya.
Menurut literatur, tembakau merupakan tumbuhan genus nicotiana. Kata tembakau berasal dari bahasa Spanyol yakni tabaco. Di dunia ada dua spesies tembakau yakni nicotiana tabacum dan nicotiana rustica. Spesies tabacum yang dominan dibudidayakan masyarakat dan dikonsumsi sebagai bahan utama rokok.
Santo dan Santo Jalua
Di kawasan Minangkabau pada zaman Belanda, ada beberapa wilayah sebagai sentra produksi tembakau. Banyak daerah di Luhak 50 Koto masyarakat menanam tembakau. Begitu juga di Luhak Agam, belasan nagari di lereng gunung Marapi seperti Canduang, Lasi banyak ditanam tembakau. Juga di kawasan Baso seperti nagari Salo, Simarasok, Padang Tarok yang berbatasan dengan Luhak 50 Koto menjadi sentra produksi tembakau.
Di antara tanaman tembakau yang dibudidayakan, ada jenis tembakau yang khas. Secara fisik bentuk daun, dan batang tidak jauh berbeda dengan tembakau biasa. Jenis tembakau yang khas itu saat dipanen, tidak semua daun yang diambil. Hanya daun di bagian tengah yang dipetik. Tembakau khas tersebut disebut Santo Jalua.
Santo Jalua, dari daun yang dipanen diproses seperti tembakau biasa. Ada tiga tahap pengolahan. Mulai dari daun pilihan yang dipetik dilakukan pemeraman, kemudian dirajang, dan penjemuran atau pengeringan.
Penamaan santo untuk tembakau di Minangkabau bermula dari jenis tembakau khas tersebut. Santo Jalua memiliki efek khusus saat dihisap. Orang yang menghisap Santo Jalua akan merasakan kenikmatan luar biasa. “Orang mengisap Santo Jalua akan merasa fly, perasaan seperti terbang ke langit,” kata Rajo Mangkuto.
Para pedagang menyiasati untuk meningkatkan penjualan. Caranya, di Minangkabau dipromosikan bahwa tembakau itu adalah santo, barang yang suci dan dapat mendekatkan diri kepada tuhan. Seperti Santo Maria, Santo Augustinus, Santo Paulus dan para santo lainnya.
“Para cukong tembakau mempromosikan dengan bumbu cerita bahwa mengisap santo bisa membuat pikiran tenang. Sampai kini sebutan santo untuk tembakau di Minang tidak hilang,” ujar Asbir Dt. Rajo Mangkuto.
Harga Santo Jalua sangat mahal, berbeda dengan santo umumnya. Pembeli Santo Jalua juga bukan orang kebanyakan. Para pedagang tembakau di berbagai pasar syarikat atau tradisional, tidak semuanya juga yang menjual jenis tembakau ini.
“Pembeli dan penikmat Santo Jalua kebanyakan ‘orang peranakan’, yang secara ekonomi lebih mampu dibanding masyarakat umum atau pribumi. Orang pribumi ada juga yang mengisap Santo Jalua, tapi orang-orang berpangkat,” kata Asbir Dt. Rajo Mangkuto, penulis buku ‘Direktori Minangkabau’ itu.
Menikmati tembakau Minang tidak seperti menghisap rokok yang santonya dilinting dengan daun nipah, lalu dibakar dan dihisap asapnya. Orang mengisap Santo Jalua memakai pipa terbuat dari kayu pilihan. Batang pipanya agak panjang, di ujungnya terdapat semacam mangkok. Di mangkok itu diletakkan Santo Jalua itu, dan dibakar, baru dihisap dengan sedotan nafas panjang.
Menikmati Santo Jalua tidak sambil ngobrol-ngobrol seperti orang merokok biasa. Tetapi, seperti melakukan suatu ritual, semua pekerjaan ditinggalkan. Peralatan disiapkan, duduk di kursi goyang, mangkok di ujung pipa diisi Santo Jalua, lalu dibakar dan menghirup asap hasil pembakaran sambil badan disandarkan ke punggung kursi goyang.
“Bayangkan, dibuai kursi goyang, asap Santo Jalua yang diisap dirasakan masuk ke kerongkongan, terus ke paru-paru, dan diteruskan ke rongga hidung yang saraf-sarafnya berhubungan dengan otak,” kata Asbir.
Aturan Agama
Santo Jalua secara perlahan semakin hilang di Minangkabau. Masyarakat petani tembakau tidak lagi menanam bibit Santo Jalua. Penyebab utamanya, masyarakat Minangkabau semakin banyak menganut agama Islam.
Dalam paparan Asbir Dt. Rajo Mangkuto, agama Islam sudah mulai masuk ke ranah Minangkabau pada abad ke-8 Masehi. Agama Islam dibawa para pedagang dari Timur Tengah yang datang ke Minangkabau inti. Para pedagang itu mencari rempah-rempah. Komoditi yang paling dicari dan dibeli adalah kampher, hasil hutan yang sangat dibutuhkan masyarakat jazirah Arab.
“Ajaran Islam melarang segala sesuatu yang memabukkan, yang menghilangkan akal sehat. Petani yang mata pencariannya menanam tembakau di daerah Minang tidak mau lagi menanam Santo Jalua yang bisa membuat pemakainya fly, merasa terbang ke alam lain,” tutur Asbir yang tahun 1956 pernah menjadi Walinagari Simarasok, Baso.
Tetapi, benarkah Santo Jalua sudah benar-benar tidak ada lagi, khususnya di Minangkabau? Asbir Dt. Rajo Mangkuto tidak memastikan. Dia mencoba kembali mengingat sebuah kejadian, sekitar 10 tahun lalu, di sebuah bengkel mobil milik ‘warga peranakan’ di Padang.
Suatu hari, Asbir bercerita, dia membawa mobil untuk diservice di bengkel warga keturunan. Ia satu-satunya mekanik yang pandai memperbaiki Fiat antik di Padang.
“Eh, ternyata bengkelnya tutup. Besoknya saya datang lagi. Saat bertemu saya tanya, kemarin kenapa bengkel tutup. Dia menjawab, kemarin hari khusus jalan-jalan ke nirwana. Spontan saya menyebut Santo Jalua. Dia tertawa terkekeh-kekeh,” kata Asbir.
| Asraferi Sabri