bakaba.co, Bukittinggi – Maisok, merokok, yang sering disebut para ‘antipisok’ sama dengan ‘membakar uang’, tidak mempan menghentikan para pecandu pisok. Selain para paisok praktis yang membeli pisok sudah jadi, ada juga yang membeli bahan yakni berupa tembakau. Dan dilinting, dibuat sendiri, dengan mengandalkan tangan. Dibuat setiap kali mau ma-isok.
“Saya sudah meninggalkan pisok pabrik hampir setahun. Enak juga pisok yang dibuat sendiri, dan lebih hemat biaya,” ujar Hendri, seorang pengusaha bidang konstruksi di Bukittinggi kepada bakaba.co.
Ketika berbincang dengan bakaba.co, Inyiak Hen (begitu dia biasa dipanggil) dengan cekatan melinting tembakau dengan kertas khusus untuk dijadikan rokok siap isap. Tidak lebih lima menit satu batang pisok rampung dibuat. “Pada awal-awal coba beralih ke pisok buatan sendiri, melintingnya susah juga,” kata Inyiak Hen.
Lain pula pengalaman Wannola, 65 tahun, soal pisok ‘made in surang’ tersebut. Pertimbangan awal, bisa mengurangi biaya beli rokok biasa. “Ketika duduk di kedai, ada saja kawan yang ikut melinting. Sebelum ‘maisok’ mereka ikut berusaha juga, buat dulu, baru nikmati,” kata Wannola, yang dikenal sebagai aktivis sebuah LSM di Bukittinggi.
Penjual setia
Pedagang tembakau dan kertas untuk melinting rokok di Bukittinggi, menurut para pehobi tidak banyak. Hanya ada beberapa orang saja yang setia bertahan menjual tembakau yang sudah diolah/diracik dan siap digulung peminat.
Salah satu yang jadi langganan Inyiak Hendri, penjual tembakau di Pasar Bawah, Bukittinggi. Jenis tembakau yang dijual berasal dari Payakumbuh. “Ada juga tembakau Medan, tapi yang enak tembakau Payakumbuh,” cerita Inyiak Hen.
Baca juga: Nasib Tembakau Linting di Zaman Praktis
Tembakau yang dijual, sudah diracik memiliki nomor, mulai nomor 8 sampai 11. Tembakau nomor 8 lebih lunak dibanding nomor di atasnya. “Makin tinggi nomornya, warna tembakaunya makin gelap. Nomor delapan terlihat coklat, agak menguning,” ujar Wannola, yang akrab dipanggil Inyiak Wan.
Dalam pengalaman Inyiak Hendri, membeli tembakau untuk dilinting sendiri, satuannya disebut ‘lapiak’. Harga satu lapiak, tembakau nomor 8; Rp28 ribu. Dia juga akan melengkapi dengan kertas untuk menggulung tembakau. Harga kertas Rp4 ribu per pak (satu pak berisi 10 eks. kertas, setiap eks. berisi 100 lembar kertas).
“Dalam pengalaman saya, satu lapiak tembakau habisnya seminggu,” cerita Inyiak Hendri. Artinya, ditambah beli kertas, dia menghabiskan dana Rp32 ribu per minggu. Dibanding konsumsi sebelumnya berupa sigaret, rokok pabrik, satu minggu bisa habis dana Rp120 ribu. Hitung-hitungan lebih hemat di ongkos menunaikan candu pisok, juga dirasakan Inyiak Wannola. Biasanya, kata Wannola, setiap hari dia belanja untuk pisok minimal Rp30 ribu, sepekan Rp200 ribu lebih.
“Saya habiskan dua bungkus sehari. Sejak beli tembakau, jauh lebih irit. Berapa saja kawan ikut menikmati, tidak apa-apa. Ampailah,” kata Inyiak Wan, yang mengaku juga pernah diserang batuk kelas berat.
Selain hemat pengeluaran, pisok yang dibuat sendiri juga mengurangi jumlah nikotin yang dihisap setiap hari. Baik Inyiak Hen, maupun Wannola menghitung paling banyak ma-isok 20 batang sehari.
“Kita mau maisok ya dibuat dulu. Jika pisok yang sudah jadi, di mana saja, kapan saja, bahkan ketika menunggu lampu merah pun bisa membakar pisok,” ujar Inyiak Hendri tertawa.
Menggulung tembakau ke kertas kata Inyiak Wan, juga memiliki keasyikan tersendiri. “Kalau tembakau ini tertinggal di kedai, tidak akan segera lenyap. Beda dengan pisok yang berbungkus tertinggal..,” kata Wannola.
»asra f. sabri