bakaba.co, Bukittinggi – Setiap era, di berbagai kota muncul bahasa komunikasi khas di kalangan orang muda dan komunitas tertentu. Di awal tahun 1970an, di Kota Bukittinggi juga marak bahasa gaul yang unik dan khas.
“Nala pom mah, kawan.” Begitu seseorang menyapa kawan yang bersama teman wanitanya. Dalam bahasa Minang; ancak cewek mah, kawan. ‘Nala’ artinya ‘cantik’, ‘pom’ berarti ‘cewek’. Di Bukittinggi, cewek atau pacar juga biasa disebut ‘pomle’.
Bahasa prokem adalah bahasa Indonesia tidak standar. Tahun 1970an Bahasa prokem lazim digunakan di Jakarta sebagai bahasa sandi di kalangan preman. Kata prokem sendiri berarti ‘preman’ yang terbentuk dengan cara memotong dua fonem di akhir kata. Prem (‘man’ dipotong atau dihilangkan), lalu disisipkan bentuk ‘ok’. Jadilah ‘pr-ok-em’. Contoh lain bahasa prokem kata sapaan ‘bapak’; dipotong ‘ak’, tinggal ‘bap’ dan disisip bentuk ‘ok’, menjadi ‘bokap’.
Selain di Jakarta, di berbagai kota lain seperti Jogja, Bandung, Medan juga memiliki bahasa prokem versi tersendiri. Kata Is Lala, 60, tahun 1970an di Bukittinggi juga ada bahasa yang khas. “Mereka yang memakai bahasa prokem di sini adalah anak-anak pangguang,” kata Is Lala kepada bakaba.co.
Anak ‘pangguang’ di Bukittinggi merujuk kepada orang-orang muda yang aktif di dunia hiburan dan seni/musik. “Dulu itu, setiap malam minggu pasti ada acara pentas terbuka di Bukittinggi. Di acara itulah muda-mudi bertemu, berinteraksi sambil menikmati hiburan,” ujar Is Lala, yang dikenal sebagai guide turis.
Berbeda dan unik
Mencermati bahasa khas prokem di Bukittinggi, terlihat berbeda dengan bahasa gaul di kota lain. Bahasa gaul di Bukittinggi tidak berkaitan dengan sintaksis (hubungan antarkata dalam tuturan) dan morfologi (struktur gramatikal di dalam kata) ragam bahasa Indonesia, maupun dialek Minang.
Dalam komunikasi muda-mudi di Bukitttinggi mereka menyebut pile untuk rokok, onger (lapar/litak), portu (tidur/lalok), soru (makan), tani (minum), ilek (tidak/indak), tong (pergi/pai), banak (malu), nanji (laki-laki), pom (cewek/padusi), bute (susu), pitiang (gila/gilo), rombo (banyak/sambuah), lapong (besar/gadang), maku (bodoh/andia), sau (mati), tareong (tahu/tau), kaleweng (orangtua), sine (anak-anak), kasi (uang/pitih), kaleweng pom (ibu/amak), kaleweng nanji (ayah/apak), mamu (om/mamak), pocik (habis), (kutali (saudara/sanak), kalenong (istri/bini), uno (satu/ciek), ele (ganja), sudu (main/judi).
Menurut Young Happy, 55, yang juga mengenal dan memahami bahasa prokem mengatakan, berkomunikasi dengan bahasa khas Bukittinggi menambah keakraban dalam pergaulan di masa itu.
“Ketika ada kawan yang penampilannya keren disapa dengan ‘sadang rombo kasi tu, kanti?’,” kata Young Happy. ‘Sadang rombo kasi’ artinya ‘sedang banyak uang ya, kawan’.
Dalam komunikasi memakai bahasa prokem Bukittinggi, uniknya bercampur dengan bahasa Minang. Misalnya mengajak kawan makan; “Onger bana den, soru wak kanti. Ado kasi ndak?” (lapar sekali saya, makan kita kawan. Ada uang tidak?). “
Dari mana istilah bahasa prokem khas Bukittinggi? Menurut beberapa orang yang ditemui bakaba.co, sumber utamanya berasal dari bahasa Tambi. Di Bukittinggi dikenal juga dengan bahasa Kaliang. “Di sini ‘kan ada warga kota yang keturunan India. Mereka berbaur baik dalam pergaulan, bermasyarakat,” kata Young Happy.
Era berganti
Bahasa khas prokem Bukittinggi hidup sampai menjelang tahun 1980. Zaman berubah, dan bahasa gaul model baru pun muncul. Selain itu, generasi yang aktif memakai bahasa prokem khas Bukittinggi meneruskan kuliah ke Padang, juga ke Jawa. Interaksi pemakai bahasa tersebut tidak lagi terjadi. Tahun 80an sudah tidak ada bahasa prokem khas Bukittinggi terdengar dalam pergaulan.
“Sekarang jika generasi 70an bertemu, bahasa prokem tersebut jadi bahan kenangan saja, untuk memancing tawa,” kata Buya Sahar, alumni STM Negeri Bukittinggi, angkatan ’79.
“Uno pile!”
»asra f. sabri