Mahakarya nenek moyang orang Minangkabau itu bernama silek. Bukan silat. Silat adanya di luar Minangkabau.
Seorang tuo silek atau guru besar silek mengatakan, sebelum Islam masuk ke Minangkabau silek adalah keterampilan membunuh yang efisien. Hanya dengan satu tekanan beberapa detik ke leher bagian bawah lawan dapat kehilangan nyawa. Tak perlu senjata tajam untuk mengantarkan orang ke alam baqa.
Namun, kata tuo silek itu, setelah Islam diterima sebagai satu-satunya agama orang Minangkabau konsep silek mengalami penyesuaian. Silek bukan lagi bertujuan membunuh lawan tapi sebatas seni menaklukkan dan memberi pelajaran kepada lawan. Silek menjadi seni jaga diri, bukan lagi keterampilan menyerang dan memusnahkan lawan.
Akan tetapi perubahan konsep tidak menyebabkan silek kehilangan efisiensinya sebagai keterampilan yang dapat menyebabkan kematian. Ia tetap berbahaya bila dimainkan oleh pendekar yang piawai. Hanya moral sang pendekar yang menyebabkan apakah ia akan digunakan sebagai alat membunuh atau bukan.
Silek adalah produk zaman di mana membunuh orang dianggap sebagai kejadian biasa saja. Sebagaimana keterampilan bela diri yang lain, ia diciptakan untuk menghadapi usaha pembunuhan berupa insiden pertarungan fisik. Dengan menguasai silek orang bisa mempertahankan diri dan harta bendanya dari penyerangan langsung serta penjarahan.
Baca juga: Surau dan Epistemologi Minangkabau
Penyerangan itu sangat mungkin terjadi ketika seseorang harus melewati daerah-daerah kekuasaan para penyamun. Itulah sebabnya mengapa orang Minangkabau yang zaman dulu kala berjalan kaki menuju rantau harus menguasai silek lebih dulu.
Sekarang zaman sudah berubah. Sekalipun ancaman dari para penjahat tetap ada, kebutuhan untuk belajar silek sudah jauh menurun. Orang punya banyak alternatif untuk menyelamatkan diri dan harta benda miliknya. Orang pun dapat menghindari daerah-daerah yang dianggap rawan pembegalan dengan menempuh jalan lain.
Kini, tanpa belajar silek pun orang Minangkabau mungkin merasa tidak ada yang kurang pada dirinya. Bahkan sangat lazim ditemui adanya pendekar silek yang tinggi tingkat kemahirannya tapi tak pernah bertemu musuh dan tidak pernah pula berkelahi seumur hidup.
Apakah dengan demikian silek akan dibiarkan saja musnah ditelan perubahan zaman?
Kenyataannya memang orang Minangkabau yang belajar silek sudah jauh menyusut jumlahnya. Banyak laki-laki Minangkabau, bahkan termasuk sebagian penghulu, tidak punya kemampuan basilek sama sekali, atau belajar dan menguasai keterampilan bela diri impor seperti karate, judo, kungfu, dsb.
Kurangnya minat orang Minangkabau mempelajari silek menyebabkan sasaran (tempat belajar silek) tidak berkembang jumlahnya. Malah ada yang mengatakan makin lama makin menyusut.
Oleh karena tantangan yang dihadapi orang Minangkabau sudah berubah, sudah waktunya silek tidak hanya dipertahankan dalam bentuk keterampilan fisik. Silek dapat mengalami transformasi ke bentuk keterampilan nonfisik, sesuai dengan tuntunan zaman.
Sekarang ada dua bentuk tantangan yang mestinya direspon secara bersungguh-sungguh oleh orang Minangkabau. Pertama, tantangan yang bersumber dari pemikiran. Kedua, yang datang dari berkembangnya kesadaran masyarakat terhadap peran komunikasi dalam upaya meningkatkan kesejehteraan hidup.
Bagaimana silek dapat membantu orang Minangkabau menghadapi kedua tantangan itu?
~ Penulis, Dr. Emeraldy Chatra, Dosen FISIP Universitas Andalas