Kejahatan Teknologi Informasi – Dua tiga orang menyampai pesan, foto saya telah digunakan oleh orang tak dikenal. Mengaku sebagai saya, tetapi nomornya beda dengan menawarkan beberapa barang dagangan beralasan lelang. Ada yang melayani dengan seksama ada pula yang tidak, yang melayani karena tak seberapa kenal sedangkan yang tidak melayani karena tahu itu modus penipuan. Modus yang basi bagi orang yang sering mendapatkan pengalaman serupa.
“Awalnya saya sangat percaya, setelah diingatkan suami baru saya berhenti melayaninya,” ujar Dosen IAIN Batusangkar, Dr. Yanti Mulya Roza, MA.
“Tanda-tanda sudah jadi tokoh publik,” ujar Kepala Pusat Studi Halal UNUSIA, Ahmad Khairul Anam.
“Pertanda sudah masuk deretan orang top,” kata tokoh Tembilahan, Kartika Roni.
“Efek orang terkenal tu bro,” tambah Anggota KPU Pasbar, Juli Yusran.
“Efek terlalu gagah,” tambah aktivis Jambi, Habibi Es Sajidin.
“Semakin tinggi pohon maka semakin kencang angin menggoyang. Kuatkan akar biarkan daun bergoyang bang. Insya allah selamat,” celetuk Yesi Marlina.
“Kalau ke saya, dia pasti langsung ketahuan. Soalnya, kita punya panggilan khusus,” ujar jurnalis Tribun Pekanbaru, Sutan Harismanto Djambak.
“Saya sejak awal sudah tak yakin,” tambah penulis perempuan, Yusnetti. Ini perempuan yang saya kenal sebagai sesama pencinta buku sastra. Betapa ia sangat yakin itu bukan saya, begitu ada yang janggal dalam percakapan langsung dicurigai bukan diabaikan.
Apapun komentar teman-teman, saya mohon maaf atas kerja orang tak dikenal yang menggunakan foto dan nama saya tersebut. Jelas, itu bukan saya. Pekerjaan saya bukan penipu, bukan pula tukang lelang barang. Saya juga sudah sering mendapat hal serupa. Baru kali ini, foto dan nama dicatut untuk aplikasi percakapan WhatsApps untuk hal demikian. Terasa sangat merugikan, saya bersyukur tidak ada yang langsung percaya sehingga mengirim sejumlah data dan uang kepada penipu tersebut.
Selalu Ada
Bila dirunut jauh ke belakang, penipu ini selalu ada dalam berbagai modus yang mengikuti perkembangan teknologi informasi. Awalnya dengan paket surat dikirim ke rumah, mengabarkan penerima akan menerima hadiah mobil.
Dulu sempat datang ke redaksi, seseorang yang bertanya soal kiriman paket yang diterimanya berupa surat-surat keterangan yang amat meyakinkan. Ia mendapatkan mobil tetapi mesti bayar pajak dulu. Sayang, ia tak punya banyak uang. Itu jelas penipuan.
Entah berapa banyak yang sudah tertipu dengan pola ini. Setahu saya, ada yang benar-benar gembira atas kedatangan paket kabar berhadiah ini dan pinjam uang sana-sini untuk menebus hadiah tersebut.
Pada kali lain, datang email berbahasa Inggris dengan bahasa yang amat meyakinkan bercerita tentang sejumlah uang di sebuah bank luar negeri. Diperlukan pernyataan dan sejumlah uang pula untuk menebusnya. Kecurigaan tiba ketika semua email teman-teman juga mendapatkannya. Pada kesempatan lain, ada pula yang menawarkan beasiswa, asalkan pergi bersamanya. Ini mungkin Pedofilia.
Kejahatan memang selalu ada di tengah keramaian. Apalagi teknologi informasi sangat mudah digunakan untuk itu. Mereka yang terkena biasanya yang mudah percaya dengan informasi yang menggiurkan. Apalagi di gadget, seolah-olah sangat nyata sehingga jika lengah sedikit akan diterkam oleh penipu. Saya jadi ingat ungkapan politik Niccolò Machiavelli (1469-1527), “Seorang tukang tipu akan selalu bertemu dengan orang yang suka tertipu.” Penipuan adalah politik paling praktis untuk mendapatkan keuntungan dengan sekejap mata.
Kedok penipuan dengan mengatasnamakan seseorang dilakukan agar korban tak cepat curiga dan cepat percaya. Misalnya mengatasnamakan seorang menteri, kepala daerah, bahkan orang penting lainnya. Ada juga yang penipuan dengan dalil agama atau mungkin juga karena pemahaman agamanya. Seorang teman ada yang menguras uang tabungan hanya godaan berlabel ibadah.
Ada pula yang kehilangan pekerjaan, yang akhirnya lintang-pukang mencari jalan hidup karena memilih keluar dari perusahaan dan bank yang dianggap thaghut. Awalnya berdalil agama tetapi berakhir dengan menelantarkan, sementara harta dan uang telah habis di tangan. Soal ini, Amirsyarifuddin di dalam biografinya menyatakan, kejahatan ada di mana-mana termasuk di depan Masjidil Haram.
Kejahatan dalam bentuk apapun adalah perbuatan buruk, dilakukan oleh manusia yang dikuasai nafsu iblis. Iblis, kata buya di kampung kami, melihat manusia seperti manusia melihat ikan di dalam air. Mudah saja baginya memperdaya baginya. Kecuali orang-orang yang beriman, beramal shaleh, sehingga tak mudah percaya dan tergoda di luar apa yang diimaninya.
Baca juga: Anonim, ‘Manyuruak’ di Ilalang Sahalai
Bagaimanakah agar selamat dari kejahatan dari penipuan tersebut di tengah teknologi informasi yang bebas saat ini? Hoax dan fakenews adalah penipuan yang diolah dalam bentuk informasi. Mereka mudah percaya dengan dua hal ini juga mudah ditipu. Waspada, sikap kritis, terhadap siapapun itu sangat perlu jika menggunakan medium teknologi informasi. Bila menyangkut data, harta, hendaknya konfirmasi ke banyak orang lebih dahulu. Jangan cepat percaya dengan satu berita, satu tawaran, satu hal yang menggoda iman. Itulah perangkat paling cerdas yang harus terpasang sebelum berselancar di dunia maya dan menggunakan teknologi informasi saat ini.
Sebelum memakai gadget, perlu belajar tentang seluk-beluk seluruh logika kerjanya, peraturan dan aturan pakai. Smartphone adalah barang cerdas, yang diam. Diperlukan juga pengguna yang cerdas agar tidak mudah terperdaya. Dunia maya adalah keramaian dan keriuhan yang bisa membuat lengah, perlu kewaspadaan bila ada yang datang dengan ramah dan curiga, alangkah baiknya hanya melayani orang-orang yang sudah dikenal baik saja. Berkenalan melalui dunia maya adalah rawan. Bagaimanapun juga, dunia dengan sentuhan di ujung jari ini memiliki bahaya yang sama halnya di jalan raya. Lengah sedikit, bisa menabrak atau ditabrak.
Kini, modus serupa itu akan terus berlangsung. Bisa siapa saja yang terkena, yang penting kita tetap harus waspada dan tak mudah percaya begitu saja. Jangan berharap negara hadir untuk menyelesaikan penipuan-penipuan ini, teknologi informasi berkembang cepat dari kehadiran negara untuk mengamankan keadaan, begitu pula kejahatan. Paling penting, ujung jari tak perlu latah menyentuh ini itu di layar gadget. Pikirkan sebelum melakukan sesuatu dengan baik. Bacalah Undang Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dunia maya bukanlah ruang kosong yang bebas, kita tetap harus awas. Kejahatan ada di mana-mana, berhati-hatilah selalu. Salam.
~ Penulis, Dosen di Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang
~ Gambar oleh methodshop dari Pixabay