Jabatan Presiden dan Wakil Presiden diusulkan menjadi tiga periode. Sebuah usulan yang sudah bisa ditebak ke mana ujung kukuak-nya. Usulan itu membutuhkan amandemen terhadap Undang Undang Dasar (UUD) 1945. Perkara yang gampang bagi kekuasaan yang mayoritas di lembaga legislatif di Senayan sana. Tetapi apakah civil society negeri ini akan diam?
Wacana lain yang menyeruak menyusul presiden tiga periode, mengembalikan keberadaaan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan mengembalikan pemilihan Presiden kepada MPR RI dan tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat. Sekali lagi, apakah civil society masih diam berhadapan dengan semangat civil politics ini?
Kegenitan Politik
Beberapa wacana perihal amandemen kelima tersebut, minggu ini yang menarik perhatian adalah adanya usulan menambah periodesasi jabatan presiden sampai tiga kali masa jabatan. Sebenarnya wacana tersebut juga pernah muncul saat periode kedua Presiden SBY dan adanya keinginan para pendukungnya untuk memberikan waktu pada Presiden SBY menuntaskan pekerjaan yang belum tuntas. Begitu kiranya alasan yang dimunculkan.
Sama halnya saat ini, di mana di kalangan pendukung Presiden Jokowi juga dengan alasan hampir sama yaitu agar pekerjaan pembangunan infrastruktur saat ini dapat dituntaskan secara baik.
Menurut penulis, pendapat dan alasan yang dikemukan tersebut hanya latah-latahan atau kegenitan politik saja dari para pendukung. Atau kegenitan dalam merebut wacana publik. Apalagi jika menimbang, saat ini Presiden Jokowi baru satu bulan lebih dilantik pada periode keduanya, sementara pada periode SBY wacana memperpanjang jabatan tersebut baru muncul menjelang berakhirnya jabatan perode keduanya.
SBY waktu itu dengan tegas menolaknya termasuk ada sebagian pendukungnya mengusulkan Ibu Ani (alm.) maju pada Pilpres termasuk yang ditolak SBY. Penulis juga sangat yakin akan Presiden Jokowi akan menolak wacana tersebut karena jelas akan mengubah tatanan yang sudah ada selama ini dan juga tidak mau mengulang trauma sejarah orde baru selama 32 tahun berkuasa dan juga sikap kultus individu yang berlebihan.
Teringat saat reformasi 1998 dulu, salah satu yang ditolak para aktivis adalah sikap pengultusan terhadap Presiden Soeharto. Seakan negara akan runtuh jika Soeharto lengser atau berhenti. Padahal, dalam negara yang besar dengan penduduk yang besar ini, pasti ada satu orang anak bangsa yang sanggup memimpin kemajuan bangsa ini secara estafet.
Anehnya sikap anti terhadap pengultusan individu yang ditolak ramai-ramai oleh aktivis 1998 dulu itu, seakan sekarang muncul kembali ke tataran publik. Jika dahulu hanya terbatas pada seorang Soeharto, sekarang pengultusan individu malah masuk dan terjadi pada infrastruktur politik seperti partai politik yang sudah seperti milik pribadi dan pemegang saham moyaritas partai.
Bahkan ada yang kongres dan Munas hanya seakan basa-basi saja yang intinya hanya penetapan saja, walau juga ada beberapa parpol yang masih melakukan pergantian pengurus dengan dinamika internal.
Menurut penulis, pembatasan jabatan politik harusnya tidak hanya pada jabatan politik di lembaga negara tapi tradisi tersebut juga harus dilakukan dan terjadi di infrastruktur politik yang ada.
Tujuh Tahun Saja
Kembali ke masalah jabatan presiden, penulis sangat tidak sepakat terhadap wacana menambah periodesasi jabatan presiden. Namun setuju sekali jika wacana yang ada yaitu bagaimana ke kota depan jabatan presiden hanya satu periode saja tapi waktunya tidak lagi untuk 5 tahun tapi untuk 7 tahun masa jabatan. Pertimbangan yang ada adalah agar Presiden terpilih fokus bekerja selama 7 tahun tersebut demi kepentingan bangsa dan negara serta tidak tergoda dengan membangun citra politik semu ataupun melakukan bargaining position yang tidak perlu untuk menjaga stabilitas politik agar didukung untuk periode keduanya.
Hal lainnya yang mendasar, penulis mendorong jabatan tersebut hanya satu periode untuk masa 7 tahun adalah agar tidak digunakan sumber daya negara baik ASN, BUMN, aparat hukum dan lainnya secara tidak sah dan patut termasuk menjaga Presiden tidak berusaha mengumpulkan pundi-pundi untuk periode kedua.
Menarik pendapat Mantan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, Presiden itu tidak boleh salah dan tidak boleh nampak salah. Presiden adalah lambang kehormatan sebuah negara maka presiden harus dijaga dengan baik agar tidak terjerumus pada hal-hal yang salah.
Sekali lagi cukup jabatan presiden dua periode seperti saat ini jika tidak dilakukan amandemen. Malah yang harus dilakukan mendorong amandemen dengan membatasi jabatan presiden hanya untuk satu periode untuk masa 7 tahun jabatan saja dan hal tersebut mudahan mutatis mutandis juga untuk kepala daerah, sehingga juga akan menghemat keuangan negara untuk penyelenggaran pemilu baik pilpres maupun untuk pilkada.
Orang Lingkaran
Presiden itu harus dijaga dengan baik maka rasanya kegenitan pendukung ataupun lingkaran presiden tidak perlu berlebihan. Penulis yakin Jokowi adalah seorang negarawan yang konstitusional dan akan berhenti apabila masa jabatannya selesai dengan legowo.
Namun dalam lingkaran kekuasaan yang sering terjadi adalah bukan Presiden atau seorang King yang tidak mau berhenti dan tidak siap berhenti. Tetapi, sebenarnya pendukung dan orang-orang di lingkarannya yang tidak ingin dan siap keluar dari lingkaran kekuasaan tersebut.
Dalil Lord Acton yang selalu dikutip: power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely, harus diingat oleh para aktivis dan dahulu yang pernah jadi aktivis.
Presiden Jokowi sudah berusaha menjaga dirinya dengan melarang anak dan mantu masuk dalam bisnis yang berhubungan dengan keuangan negara. Itulah sikap ingin menjaga diri, sehingga rasanya testing the water di awal masa jabatan kedua ini oleh para pendukung yang “nakal dan genit” tidaklah perlu dilakukan karena tidak produktif karena Pasal 7 UUD 1945 semangatnya adalah pembatasan jabatan presiden.*
*Penulis, Dr. Wendra Yunaldi, S.H., M.H., Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat.
**Foto fitur courtesy of BPMI/Kris/Setpres/Setneg