[9] Minangkabau: Ekspedisi Pamalayu

redaksi bakaba

Pada abad ke-11, antara tahun 1017-1025, Kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran yang parah. Gerakan pengembangan agama Islam semakin kuat mendesak kerajaan beraliran Budha.

ekspedisi pamalayu Gambar oleh Milada Vigerova dari Pixabay
Gambar oleh Milada Vigerova dari Pixabay

Minangkabau: Ekspedisi PamalayuKerajaan Dharmasraya didirikan pendatang dari Pariangan, pelosok dalam Minangkabau, pada abad ke-8 Masehi. Pada abad ke-11 Masehi datang orang-orang dari dua Kerajaan lain ke Dharmasraya. Pertama, dari Kerajaan Champei yang berpusat di Muara Jambi. Kedua, dari kerajaan Minanga Kambwa, berpusat di Muaro Takus yang terletak antara hulu sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri dan Palembang.

Kedatangan orang dari dua kerajaan; Champei dan Minanga Kambwa menyatu menguatkan Kerajaan Melayu Dharmasraya yang berpusat di Siguntua, Sungai Lansek dekat Sungai Dareh.

Pada abad ke-11, antara tahun 1017-1025, Kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran yang parah. Gerakan pengembangan agama Islam semakin kuat mendesak kerajaan beraliran Budha. Kerajaan Dharmasraya menyebut rajanya: Sri Maharaja Diraja. Semenjak tahun 1272 M di Dharmasraya berkuasa Maharaja Diraja Mauli Warmadewa.

Kerajaan Dharmasraya yang menganut Budha juga didesak gerakan agama Islam. Meski lamban, agama Islam mulai dianut penduduk Dharmasraya secara sukarela.

Surutnya kekuasaan Sriwijaya pada awal abad ke-11 Masehi, saat itu, di Jawa berdiri beberapa kerajaan Hindu Tantrayana Syiwa, di antaranya ialah Singhasari.

Buku Nagara Kartagama menjelaskan 1197 saka (1275 Masehi) Karta Negara Raja Singhasari memerintahkan selaksa pasukan komando yang terlatih di bawah pimpinan Sri Wisma Rupa Kumara, saudara Karta Negara, dengan asisten pribadi Mahisa Anabrang dibantu dua orang panglima pasukan pangeran Rakyan Mahamantri dan Rakyan Demung Mpu Wira untuk penaklukan daerah di Sumatra dengan misi:

a). Palembang dengan menguasai Supitan, Selat Bangka dan Karimata,
b). Daerah produsen emas, lada dan kampher serta wilayah perdagangan laut selat Sumatra.
c). Mengusir Islam dari wilayah hiliran Batanghari, Kuantan, Kampar, Siak, Rokan dan Barumun.
d). Menyatukan Asia Tenggara ke bawah Singhasari.

Penaklukan daerah yang dituju tidak dengan pertempuran. Tetapi berupa kerja sama mempertahankan wilayah dari serangan bangsa Mongol. Bangsa Mongol sangat kuat, dan kejam. Mempertahankan daerah tanpa adanya kerja sama akan mudah diduduki Mongol.

Shingasari menetap, pertahanan bersama itu di bawah komando mereka. Kerajaan yang bersedia dengan ketentuan tersebut, sebagian pasukan Shingasari akan ditempatkan di daerah kerajaan yang bekerjasama. Urusan pemerintahan kerajaan tidak diganggu atau dicampuri Shingasari. Terkait biaya pasukan dibantu kerajaan setempat. Tetapi, jika kerajaan yang dituju tidak bersedia, maka Shingasari terpaksa bertindak dengan kekerasan.

Kerajaan Palembang karena tidak mau menerima persyaratan yang diajukan Shingasari ditaklukan dengan kekerasan. Kerajaan Muaro Sabak di kanan sungai Batanghari yang memeluk agama Islam dibinasakan. Muaro Sabak mereka jadikan pertahanan terdepan daerah hiliran Batanghari. Muaro Jambi dapat menerima persyaratan mereka.

Tahun 1208 saka (1286 M) pasukan Pamalayu sampai di Dharmasraya. Ekspedisi tersebut disebut Ekspedisi Pamalayu I. Dharmasraya menerima persyaratan yang diajukan Shingasari dijadikan tampatan. Di sini, di Dharmasraya dilakukan patroli wilayah beberapa lama untuk mengamankan dari anasir perlawanan masyarakat.

Setelah Dharmasraya dan Jambi ditaklukkan dengan logistik dari Dharmasraya, pasukan Pamalayu melanjutkan ke Utara untuk menaklukkan daerah hiliran Batang Kuantan, Batang Kampar dan Minangkabau. Mendengar berita kerajaan kecil Muaro Sabak yang orang-orangnya dari pusat Minangkabau, Pariangan, dibinasakan secara kejam, orang Minangkabau bersiap siap dengan pasukan gabungan Minangkabau dan Taluak Kuantan menyambut kedatangan pasukan Pamalayu tersebut di perbatasan Dharmasraya, Sijunjuang.

Pasukan Pamalayu berhasil dipukul mundur oleh pasukan gabungan Minangkabau. Pasukan Pamalayu kembali ke Siguntua. Wisma Rupa Kumara mengirim Rakyan Mahamantri dan Rakyan Demung Mpu Wira dengan beberapa orang pengawal minta bantuan ke Tumapel guna melanjutkan ekpedisinya. Utusan tak kunjung kembali dan bantuan tak kunjung datang. Wisma Rupa Kumara merahasiakan kesangsian hatinya kepada pemimpin kerajaan Dharmasraya.

Versi Tambo

Kedatangan ekpedisi Pamalayu I dikiaskan dalam tambo Minangkabau dengan “datanglah anggang dari laut ditembak rajo nan baduo, badia sadantum duo latuihnyo, jatuahlah talua anggang nantun ka Alam Minangkabau ko”. Artinya: datanglah pasukan dari seberang laut (Jawa/ ekpedisi Pamalayu I), pasukan itu di kalahkan oleh rajo nan baduo (pasukan gabungan Minangkabau dan Rajo Ranah Sikaladi (Taluak Kuantan) di Sijunjuang. Keturunan penyerang itu (Adityawarman), melanjutkan ekspedisinya dan memerintah di Minangkabau.

Baca juga: Aji Mantrolot, Sang Maharajo Barhalo

Arca Persahabatan

Setelah Wisma Rupa Kumara berada di Dharmasraya, Karta Negara mengirimkan arca Amoghapasya duplikat arca Amoghapasya di candi jago Malang ke Dharmasraya. Arca tersebut merupakan pedoman pokok ajaran penyembahan Hindu/Budha sekte Tantrayana Syiwa yang dianut Singhasari. Dharmasraya dianjurkan mengikuti pelaksanaan ajaran Tantrayana Syiwa sebagai pedoman peribadatan raja dan masyarakatnya. Arca itu diletakkan di Padang Candi, Rambahan, Pulau Punjung dekat Sungai Dareh. Di sekitar arca itu penduduk setempat telah banyak yang menganut agama Islam. Penduduk menamakan arca Amogha Pasya dengan ‘Barhalo”.

Di belakang arca itu tertulis tiga kelompok tulisan. Di bagian atas berupa seloka, bagian bawah berupa prosa dan pada tapak berupa prosa. Seloka dan prosa pada bagian atas ditulis Karta Negara. Prosa pada tapak ditulis Adityawarman. Pada tulisan seloka tertulis daerah yang belum dikuasai ialah kekuasaan Sri Maharaja maksudnya Taluak Kuantan dan wilayah Maharaja Dewa Prapatih, maksudnya Minangkabau. Tulisan itu bertahun 1208 Saka (1286 M).

Pasukan Mongol

Enam tahun setelah kedatangannya di Dharmasraya, tahun 1292 M, datang utusan dari Jawa agar anggota ekspedisi Pamalayu bersama tenaga bantuan dari Dharmasraya datang ke tanah Jawa. Waktu itu, Pamalayu telah menyatu dengan Dharmasraya dan telah melatih pasukan Dharmasraya.

Wisma Rupa Kumara mengumpulkan dua laksa pasukan gabungan Pamalayu dan Dharmasraya yang terlatih. Dara Jingga yang telah lama berhubungan baik dengan Wisma Rupa Kumara dibawa ke Singhasari untuk diperkenalkan dengan raja Singhasari dan akan dijadikan isteri sah Wisma Rupa Kumara. Selain itu Wisma Rupa Kumara ingin membawa Dara Pitok dan beberapa orang keluarga raja Dharmasraya ke Singhasari sebagai penjaga Dara Jingga dan Dara Pitok.

Rencana Wisma Rupa Kumara tersebut untuk menjamin kesetiaan Dharmasraya kepada Singhasari. Mauli Warmadewa mengizinkan.

Singhasari Runtuh

Rombongan Wisma Rupa Kumara turun di pelabuhan Tuban. Mahisa Anabrang yang turun dengan beberapa orang anggota rombongan dihadang orang di Tuban. Terjadi perang tanding. Datang beberapa orang berkuda melerai perkelahian itu. Orang yang datang itu mengenal Mahisa Anabrang. Dari orang itu Mahisa Anabrang mendapat informasi positif bahwa Singhasari tidak ada lagi, telah dibinasakan oleh Jaya katwang. Singhasari telah dihancurkan pasukan Mongol, seluruh armada laut Singhasari telah dibinasakan.

Pemberontakan Jaya Katwang, Adipati Kediri itu terjadi tahun 1290 M. Jaya Katwang dibantu beberapa orang pembesar kerajaaan Shingasari.

Raden Wijaya dapat menyelamatkan sebagian pasukan Singhasari dan anak-anak serta keluarga Karta Negara. Dua anak lelaki Karta Negara, waktu itu, sedang berada di Dharmasraya. Empat orang anak perempuan Karta Negara diselamatkan Raden Wijaya.

Raden Wijaya membuat tempat pertahanannya di Desa Hutan Tarik di pinggir kali Brantas. Wisma Rupa Kumara, Mahisa Anabrang, Dara Jingga, Dara Pitok dengan beberapa pengawal memakai kuda-kuda mongol yang besar dan gagah, berangkat menemui Raden Wijaya.

Raden Wijaya adalah anak Mahisa Cempaka, saudara lelaki ibu Karta Negara. Hubungan Raden Wijaya dengan Karta Negara adalah saudara sepupu.

|Penulis: Asbir Dt. Rajo Mangkuto
|Editor: Asraferi Sabri
~Gambar oleh Milada Vigerova dari Pixabay

Next Post

Lomba Penulisan Sastra Minangkabau

Lebih jauh, munculnya lomba ini terkait dengan hasil Indeks Pembangunan Kebudayaan Daerah (IPK). Sumatera Barat berada pada posisi 15 dari 34 propinsi dengan nilai 53,23. Ini masih berada di bawah rataan nasional; 53,74.
Sastra minangkabau - Gambar oleh Free-Photos dari Pixabay

bakaba terkait