Aji Mantrolot, Sang Maharajo Barhalo

redaksi bakaba
Adityawarman

bakaba.co – Aji Mantrolot – Sejarah kekuasaan kerajaan di Jawa agak lebih terang, beda dengan di Minangkabau yang samar-samar. Betapa, sampai sekarang; Kerajaan Pagaruyung, Kerajaan Minangkabau, bahkan Kesultanan Minangkabau Darul Qorar jadi perdebatan dengan berbagai argumentasi dan fakta yang silang menyilang.

Lain dengan sosok bernama Adityawarman, lebih jelas dan dikenal. Dalam memori orang Minangkabau, Adityawarman adalah pendiri dan Raja Kerajaan Pagaruyung. Pelajaran sejarah di sekolah, di bab kerajaan-kerajaan di Minangkabau, nama Adityawarman tertera jelas.

Dalam buku ‘Direktori Minangkabau’ yang ditulis Asbir Dt. Rajo Mangkuto, sejarah mencatat, tahun 1285, Raja Singosari; Kartanegara, memberangkatkan satu ekspedisi ke pulau Perca. Ekspedisi yang dikenal dengan nama Pamalayu I itu di bawah pimpinan Wisma Rupa Kumara, adik sebapak Raden Wijaya.

Tujuan ekspedisi menaklukkan pulau Perca bagian Tengah dan Selat Perca. Misi, menguasai daerah penghasil kamper, lada dan mengambil alih jalur perdagangan Selat Perca.

Ekspedisi Pamalayu I, Wisma Rupa Kumara dengan sekondan bernama Mahisa Anabrang, menaklukkan Kerajaan Dharmasraya. Ketika mau mengembangkan daerah kekuasaan ke Sijunjung, tidak berhasil. Kandas. Wisma Rupa Kumara menarik kembali pasukannya ke Dharmasraya.

Lima tahun Wisma Rupa Kumara menunggu bantuan dari Singosari, tak kunjung datang. Pada tahun 1291, atas permintaan Raden Wijaya, bergabunglah pasukan Jawa dan Dharmasraya untuk membawa pasukan ekspedisi Pamalayu I ke Jawa. “Dalam rombongan itu ikut serta dibawa dua putri Raja Dharmasraya yakni Dara Jingga dan Dara Pitok,” tulis Asbir.

Di Jawa sendiri, Raden Wijaya menaklukkan Mongol, dan Trowulan dijadikan pusat kerajaan. Wilwatika –nama kerajaan yang ditaklukan– diganti jadi Majapahit. Raden Wijaya diangkat menjadi Maharaja Majapahit pertama dengan gelar Prabu Kartarajasa Jayawhardana. Wisma Rupa Kumara diberi gelar Adwaya Brahma Dewa.

Tahun 1294, di Majapahit, Raden Wijaya menikahi putri Kartanegara. Dara Pitok yang dibawa Wisma Rupa Kumara ke Majapahit juga dijadikan selir. Dalam tahun itu juga, setelah perkawinan Prabu Kartarajasa dengan Dara Pitok, Wisma Rupa Kumara kembali ke Dharmasraya bersama Dara Jingga.

Setahun kemudian, 1295, di Siguntua, pusat Kerajaan Dharmasraya, Wisma Rupa Kumara menikah dengan Dara Jingga. Dari perkawinan ini lahir Adityawarman, tahun 1296. Nama lahir Adityawarman adalah Aji Mantrolot. Tetapi kakeknya, Raja Dharmasraya; Mauli Warmadewa memanggilnya Tunku Jenaka Warmadewa.

Sementara di Majapahit, pada tahun 1296 juga, Dara Pitok melahirkan anak laki-laki yang diberi nama Raden Kala Gemet. Dara Pitok dinaikkan derajatnya sebagai istri, prameswari dan jadi koordinator selir istana dengan nama kehormatan Sri Tinuheng Pura.

Belajar ke Majapahit
Ketika Raden Kala Gemet berusia 6 tahun, Dara Pitok meminta ke kakaknya: Dara Jingga, agar Aji Matrolot dibawa ke Majapahit. Tahun 1302, dari Dharmasraya ikut bersama Aji Matrolot beberapa orang teman untuk bermain, salah seorang di antaranya Gajah Mada. Raja Dharmasraya yang dapat dua cucu laki-laki dari dua putrinya menyatakan, baik Aji Matrolot maupun Raden Kala Gemet berhak menjadi Raja di Kerajaan Dharmasraya.

Aji Matrolot bersama Raden Kalagemet sejak kecil dididik untuk menjadi ‘punggawa agama tantrayana brahma syiwa’. Ketika Kala Gemet berusia 15 tahun, tahun 1309, Raden Wijaya mangkat. Kala Gemet diangkat jadi Raja Majapahit dengan gelar Jayanegara.

Dan 1310 dibentuk Batara Sapta Prabu atau Dewan Kerajaan, yang terdiri dari 1. Prabu Jayanegara, 2. Aji Mantrolot sebagai Wredda Mentri atau Mentri Utama bergelar Arya Dewaraja Mpu Aditya, 3. Dyah Gayatri Biksuni Raja Patmi, 4. Dyah Gitarya Tribuana Tungga Dewi, 5. Dyah Wiyat Raja Dewi Maharani, dan 6. Nambi, yang waktu itu sebagai Patih.

Karakter tak Jenaka
Setelah Raden Wijaya mangkat, Raden Kala Gemet jadi Raja Majapahit. Tahun Aji Mantrolot memutuskan kembali ke Dharmasraya karena ayahnya, Wisma Rupa Kumara mangkat. Aji Mantrolot, waktu itu tahun 1316, saat usianya 20 tahun.

Sementara Gajah Mada menjadi pengawal pribadi Prabu Jayanegara. Empat tahun berada di pusat kerajaan kakeknya, tahun 1320, Aji Mantrolot kembali dipanggil ke Majapahit. Prabu Jayanegara mengangkatnya sebagai Duta Berkuasa Penuh ke Dinasty Juan, Mongol, Cina. Misi utama mempelajari taktik dan strategi perang pasukan Mongol. Terutama strategi perang laut.

Aji Mantrolot didampingi puluhan staf, salah satunya Nala Dewa yang pernah mendampingi panglima pasukan Mongol saat berperang besar mengalahkan pasukan India dan Manchu. Angkatan perang Mongol punya satu divisi pasukan Islam yang dipimpin Say Dian Cih, Said al-Shini, seorang arab keturunan bani Hasim Quraisy.

Saat Aji Mantrolot masih di Cina, tahun 1328, di Majapahit terjadi tragedi berdarah. Prabu Jayanegara jatuh sakit menjelang pelaksanaan perkawinan agung Dyah Gitariya Tribuana Tungga Dewi dengan Raden Karta Wardana, putra Adipati Tumapel dan Dyah Wiyat Raja Dewi Maharani dengan Raden Kuda Merta, putra Adipati Wengkel.

Untuk mengobati Raja, Biksuni Raja Patni mengusulkan tabib yang cakap adalah Ra Tanca. Dalam proses mengobati Raja, tidak boleh dilihat maupun didampingi siapa pun. Hanya sang tabib Ra Tanca dengan pasien. Saat Ra Tanca di dalam kamar Raja, Gajah Mada mengintip di balik dinding.

Gajah Mada melihat Ra Tanca membalik-balik badan pasiennya; Prabu Jayanegara. Terdengar suara Ra Tanca: “Aku puas. Kematian Halayuda sudah berbalas.” Gajah Mada yang melihat keris tertancap di dada Jayanegara, langsung mendobrak pintu dan menancapkan keris ke jantung Ra Tanca.

Waktu raja kedua Majapahit dibunuh, Aji Mantrolot tidak bisa langsung pulang dari Cina. Baru dua tahun kemudian, 1330, kembali ke bumi Majapahit dan disambut meriah di Balai Sidang Witana. Aji Mantrolot membawa serta beratus orang pelatih komando pasukan laut dari Cina. Selama dua tahun latihan perang komando laut dijalankan di Majapahit.

Mulai Menjajah
Unjuk kehebatan pasukan laut Majapahit diawali dengan turunnya perintah ke Gajah Mada untuk menaklukkan Keta dan Sadeng. Gajah Mada mendapat perlawanan yang kuat dari pasukan Keta maupun Sadeng.

Pasukan Gajah Mada yang terdesak, mundur ke kawasan hutan dan bertahan di sana. Gajah Mada didatangi utusan Aji Mantrolot, yang mengabarkan bahwa ibu negara Keta dan Sadeng sudah diduduki Aji Mantrolot. Gajah Mada diminta bergerak-balik, menggempur kembali pasukan Keta dan Sadeng sehingga kocar-kacir. Sejak itu, 1333, Keta dan Sadeng berada di bawah Kerajaan Majapahit.

Setahun setelah mempraktikkan kehebatan pasukan laut, 1334, Aji Mantrolot kembali ke Cina. Kali ini membawa ratusan orang untuk dilatih menjadi senopati pembuat kapal perang besar. Hanya 3 tahun di Cina, Aji Mantrolot bersama orang-orang yang sudah terlatih sebagai senopati, pulang. Saat itu tahun 1337.

Aji Mantrolot tidak langsung ke Jawa. Dia dan rombongan singgah ke Dharmasraya. Selama di Dharmasraya, Aji Mantrolot bersama para senopati-nya berhasil membuat 30 buah kapal perang berukuran besar. Semua kapal itu dibawa Aji Mantrolot ke Majapahit.

Duet dan kerjasama Aji Matrolot dan Gajah Mada semakin memperlihatkan gigi. Tahun 1339, Gajah Mada dengan pasukannya diperintah menaklukkan Kerajaan Bedahulu di Bali. Pasukan Gajah Mada dilabuhkan di pulau Serangan, di selatan Bali.

Dari pulau ini pasukan Gajah Mada menyerang ke arah utara. Terjadi pertempuran hebat. Pasukan Gajah Mada mendapat lawan tangguh dari pasukan Bali. Belum jelas kalah-menang, Gajah Mada didatangi utusan Aji Mantrolot. Bahwa ibukota Bali sudah diduduki Aji Mantrolot. Terlihat asap membubung di langit, di arah ibukota Bali. Pasukan Bali terkepung dan hancur. Akhirnya Bali berada di bawah Majapahit.

Dua tahun setelah penaklukkan Bali, tahun 1341, Aji Mantrolot diminta kembali ke Majapahit. Dia diperintahkan membuat Arca Manjusri sebagai pusat ibadat.

Eksistensi Aji Matrolot semakin diuji. Kerajaan Majapahit yang digerakkan melalui dewan Bhatara Sapta Prabu, tahun 1343, mengeluarkan perintah: Gajah Mada diperintahkan menaklukkan Nusantara bagian Timur dan Aji Mantrolot untuk menguasai Nusantara bagian Barat. Kedua penaklukkan itu untuk Majapahit.

Bagi Aji Mantrolot perintah ke dirinya dia maknai sebagai kelanjutan misi sang bapak: Wisma Rupa Kumara. Aji Mantrolot memimpin Ekspedisi Pamalayu II dengan setengah laksa pasukan dengan beberapa senopati; Senoaji, Banyu Biru, dan Senopati Muda Lembu Peteng.

Tahun 1344, Aji Mantrolot sudah berada di Dharmasraya. Dengan pasukan yang cukup besar, hanya satu tahun, 1345, Aji Mantrolot menduduki Minangkabau. Dan Aji Mantrolot beristirahat di Dharmasraya selama satu tahun. Dalam masa jeda itu, 1346, dia membangun patung dirinya di Sirocok.

Lokasi ini sekitar 5 km di hilir Padang Candi, tempat beradanya Amogapasha. Masyarakat di kawasan tersebut sudah banyak yang menganut agama Islam. Ketika Aji Mantrolot membuat arca, patung di Sirocok, masyarakat menyebutnya ‘barhalo’, berhala. Dan Maharajo Barhalo dilekatkan sebagai gelar orang banyak ke Aji Mantrolot.

Moksa
Maharajo Barhalo tercermin melalui arca Bhairawa Siwa yang dibuat Aji Mantrolo. Kebiasaan yang tidak lumrah sebagai penakluk diekspresikan Aji Mantrolo alias Adityawarman di arca tersebut.

Dalam bukunya, Asbir Dt. Rajo Mangkuto menggambarkan, setiap kali memenangkan peperangan, Adityawarman bersama pasukannya yang sealiran dengannya, melakukan moksa. Upacara moksa merupakan cara persembahan kepada Dewa Siwa.

Dalam prosesi moksa dilakukan upacara memakan benak, jantung dan minum darah manusia dengan wadah mangkuk terbuat dari tempurung tengkorak manusia. Kemudian para gadis dari keluarga yang ditaklukkan dikumpulkan dan diperkosa di depan umum.

“Upacara moksa yang diikuti tindakan pemerkosaan membuat orang takut dan sebagian sangat benci dan melakukan perlawanan,” tulis Asbir.

Arca Bhairawa yang dinilai merepresentasikan Adityawarman sekarang ada di Museum Nasional, Jakarta. Bhairawa berupa sosok manusia, menurut penelitian tim arkeologi nasional, 1992-1993 dengan keterangan:

Stella yakni latar belakang berupa batu datar dibuat halus, simetris dan ada lengkung di bagian atas.

Prabha; di belakang kepala arca sebelah kiri terdapat ivala atau lidah api dan sebelah kanan ada matahari.

Asana; tempat arca berdiri, di atas bangkai telanjang yang terlipat di atas delapan tengkorak manusia. Upacara Bhairawa dilakukan di atas ksetra, kumpulan mayat.

Bhusana; badan ditutup kain petak-petak yang bermotif tengkorak.

Makuta atau mahkota, disebut ‘Jata Makuta’ terdiri dari pintalan rambut yang berbentuk sorban merupakan rambut Dhyani Budha Aksobya sebagai teman roh menuju nirwana.

Kayura atau kain selendang, berbentuk seekor ular Upawita yang melilit kedua bahu.

Kankana atau gelang, terdiri dari ular Bhujanga, valuya yang melilit tiap pergelangan.

Udara Banda, ikat pinggang berupa makluk demon, binatang antah-berantah berkepala kalajengking.

Laksana: di tangan kanan dipegang keris/pisau dan di tangan kiri dipegang tempurung kepala orang untuk tempat makan benak dan darah manusia.

»asra f. sabri

Next Post

Ketika Adityawarman 'Keok' di Tangan Pasukan Tigo Luhak

bakaba.co — Maharaja Adityawarman meski memiliki pasukan ‘cap mau’, ketika menghadapi taktik pasukan Minangkabau Tigo Luhak, keok tidak berkutik. Penggalan peristiwa penting itu terjadi pada tahun 1346. Dalam buku “Direktori Minangkabau’ yang ditulis Asbir Dt. Rajo Mangkuto, peristiwa penting itu dideskripsikan : Awal tahun 1346, Adityawarman dengan pasukannya menaklukkan Kuntu dan […]

bakaba terkait