Pergumulan Adat dan Islam di Minangkabau

redaksi bakaba

Masuknya Islam ke Minangkabau seperti ditulis Hamka, semenjak tahun 52 Hijriah, 42 tahun setelah wafatnya Nabi pada 632 M. Salah satu tanda keberadaan Islam itu adanya kampung orang Arab di Pariaman. Nama Pariaman berasal dari bahasa “Barri Aman”, yang berarti tanah daratan yang aman sentosa, yang dikutip Hamka dari Almanak Tiongkok (Hamka;1982,4).

Image by realyusra from Pixabay
Image by realyusra from Pixabay
Irwan, S.H,I.,M.H.
Irwan, S.H.I,, M.H

Masuknya Islam ke Minangkabau seperti ditulis Hamka, semenjak tahun 52 Hijriah, 42 tahun setelah wafatnya Nabi pada 632 M. Salah satu tanda keberadaan Islam itu adanya kampung orang Arab di Pariaman. Nama Pariaman berasal dari bahasa “Barri Aman”, yang berarti tanah daratan yang aman sentosa, yang dikutip Hamka dari Almanak Tiongkok (Hamka;1982,4).

Keturunan Raja Pagaruyuang yakni Raja Alam Alif (Sultan Alif Khalifatullah) sudah menganut agama Islam, jauh sebelum Syekh Burhanuddin menyebarkan Islam, sekembalinya dari menuntut ilmu agama pada Syekh Abdul Rauf Singkel, dan pulang tahun 1680. Mengacu kepada pendapat Hamka, Islam hadir di Minangkabau pada tahun 674.

Pergumulan adat dan Islam di Minangkabau mencuat ketika ulama dan pembawa ajaran Islam mengupayakan perubahan perilaku masyarakat. Perilaku yang bertentangan dengan syari’at Islam diluruskan, sementara perilaku yang masih sesuai dengan Islam, dibiarkan hidup mengacu kepada ketentuan ushul ‘urf (kebiasaan). Guna menopang bangunan Islam di Minangkabau, melalui sistem pemerintahan kerajaan yang terpencar melalui rajo tigo selo (raja adat, raja ibadat dan raja alam). Kekuasaan di Minangkabau tersebar pada kekuasaan adat, raja dan pemerintahan.

Sekalipun pendistribusian kekuasaan yang otonom, fungsi raja alam tetap menentukan sebagai pusat jalo pumpunan ikan, dengan pengambilan keputusan setelah bermusyawarah dengan basa ampek balai (bendahara, mangkhudum, indomo dan tuan qadhi), ditambah dengan Tuan Gadang selaku panglima perang.

Distribution of power sebagaimana berlaku dalam sistem pemerintahan Kerajaan Minangkabau, dalam pendekatan struktural, sistem pemerintahan tersebut dapat berjalan mengakomodasi seluruh kepentingan masyarakat. Persoalan tidak dapat dihindari, ketika secara sosiologis-kultural, adat dan Islam belum selesai pada kehidupan masyarakat di setiap nagari-nagari yang ada di Minangkabau.

Bagi masyarakat adat, pemeliharaan terhadap tradisi mereka adalah suatu keniscayaan baik oleh individu maupun masyarakat. Nasroen (1971) dan Sidi Gazalba (1969) menyimpulkan tentang keberadaan Minangkabau sebelum kedatangan Islam, dengan kebudayaan yang terintegrasi dan kepribadian yang kokoh.

Adat berlaku mulai dari dalam rumah gadang (rumah tangga) sampai kepada relasi sosial di antara suku dan kaum. Keberlakuan adat tidak dapat ditolak. Adat salingka nagari adalah hukum tertinggi memberi keputusan yang diambil oleh para pucuk adat dan penghulu kaum dalam limbago adat atau kerapatan adat nagari.

Adat Minangkabau mengatur masalah keluarga, perkawinan, harta, kedudukan laki-laki, pusako, sako, musyawarah, serta tata cara penegakan hukum. Norma-norma sumbang menjadi pedoman bagi masyarakat terkait perbuatan yang tidak boleh dilakukan. Norma adat nan sabana adat, adat nan teradatkan, dan adat istiadat dipelihara agar sesuai dengan ajaran Dt. Katumanggungan dan Dt. Perpatih Nan Sabatang sebagai “The Great man” pembentuk norma adat Minangkabau. Penerimaan adat oleh masyarakat Minangkabau menjadi sebuah kebudayaan, tidak lepas dari kesadaran semuanya bersumber dari kebenaran (Tuhan).

Islam datang dengan seperangkat norma hukum Ilahi, mengatur semua lingkup tatanan kehidupan manusia. Mulai dari masalah keyakinan, hubungan manusia, dan kehidupan akhirat. Kerumitan hubungan adat dan Islam, terus terjadi melalui kontradiksi-kontradiksi paham yang dikembangkan oleh para pembawa ajaran Islam.

Tuduhan kafir, tidak Islami dan melanggar syari’ah menjadi langgam dakwah para ulama untuk menyerang praktik adat di beberapa tempat wilayah Minangkabau. Sekalipun integrasi peran –tokoh adat yang ulama dan ulama yang tokoh adat– bermunculan, tetap tidak mampu mendamaikan konflik tersembunyi antara adat dengan Islam.

Konflik adat dan Islam, dimulai pada medio 1800an. Berbeda dengan periode Islam masa Syekh Burhanuddin (1680) dengan kecenderungan Islam Tasawuf, konflik adat dan Islam hampir tidak pernah terjadi. Berbeda dengan fase gelombang pembaharuan Islam di Minangkabau, dimulai dari kedatangan 1) Trio Haji, 2) Gerakan Paderi, 3) Syekh Khatib al-Minangkabawi, dan 4) gerakan reformasi Islam yang dibawa Inyiak Deer (H. Abdul Karim Amrullah).

Pada periode ini, tensi konflik adat dan Islam cenderung terbuka. Munculnya istilah kaum tua dengan kaum muda seperti dikemukakan Deliar Noer. Serangan kaum muda terhadap kaum tua bertolak dari pemeliharaan tradisi oleh kaum tua sehingga Islam tidak lagi bersih dari TBC (tahayul, bid’ah dan khurafat). Bahkan Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang berdomisi di Mekkah, terang-terangan mengatakan hukum waris yang berdasarkan garis ibu jelas-jelas bertentangan dengan Islam.

Prof. Dr. B.I.O Schrieke mengutip karya Ahmad Khatib, hukum waris dari garis ibu yang disusun oleh Dt. Katumanggungan dan Dt. Parpatiah Nan Sabatang. Atas dasar persepsi Ahmad Khatib inilah, Prof. Dr. Amir Syarifuddin dalam disertasinya mencoba meletakkan secara proporsional konsep waris adat dan Islam sehingga tidak terlihat adanya konflik.

Api konflik yang dimulai kelompok puritanisme, dengan serangan tajam, yang akhirnya merambah kepada ajaran-ajaran tasawuf yang telah dimulai oleh Syekh Burhanuddin. Di mana Kaum muda mendesak agar praktik seperti rabithah, berpantangan makan daging yang sesat itu ditinggalkan, dengan mengembalikan ajaran Islam kepada asalnya. Pergumulan itu belum selesai, dalam model yang lebih kekinian, adat dan Islam masih mencari model hubungan yang konstruktif.

*Penulis, Peneliti Portal Bangsa
**Image by realyusra from Pixabay 

Next Post

Dilema Pewarisan ABS-SBK di Tengah Marginalisasi Penghulu

Orang Minangkabau yang mengkhianati orang kampungnya sendiri tidak terhitung jumlahnya. Mereka adalah orang yang ingin agar budaya Minangkabau dihilangkan dan diganti dengan budaya lain, tanpa menimbang sisi negatif dan bahaya dari sikap dan keinginannya itu.
Gambar oleh Alvi EKo Pratama dari Pixabay

bakaba terkait