~ Dr.Wendra Yunaldi, S.H., M.H.
Ada faktor eksternal dan internal yang mempengaruhi para pendiri bangsa dalam rapat BPUPK tahun 1945 menegaskan Pancasila sebagai dasar negara. Yamin, Soepomo, Hatta, Ki Bagoes Hadikoesoemo dan Soekarno, sama-sama mengajukan argumen tentang pentingnya penyaduran nilai-nilai bangsa yang telah lama hidup itu sebagai pondasi untuk menyusun dasar negara. Bagi mereka, nilai-nilai itu merupakan dorongan dasar dari sebuah peradaban.
Secara internal, pengadopsian nilai-nilai asli bangsa yang dimulai semenjak terbentuknya masyarakat dengan ragam suku budaya seperti Aceh, Batak, Medan, Melayu, Jawa, Madura, Dayak, Sulawesi, Bali dan Papua serta terstrukturisasi dalam negara, monarchisme seperti Sriwijaya, Samudra Pasai, Majapahit, Mataram, Minangkabau, dan Kutai, dengan proses internalisasi nilai-nilai hukum, sosial, kekeluargaan, dan kemasyarakatan. Nilai-nilai tersebut tumbuh menjadi kebudayaan yang melekat pada suku bangsa tersebut.
Dalam disertasi saya, Wendra Yunaldi, terdapat 15 nilai yang terkandung dalam kebudayaan dalam kesatuan masyarakat hukum adat, seperti; falsafah hidup, identitas, berdaulat, kebersamaan, relegiusitas, kewibawaan, kesusilaan, tepa-slira, kerukunan, gotong-royong, hukum yang dipatuhi, kepemimpinan, kontrol sosial, musyawarah, dan lembaga musyawarah, timbul dari dorongan khas dan substantif dari apa yang dialami masyarakat secara sadar.
Nilai-nilai tersebut direkonstruksi oleh masyarakat berdasarkan kesadaran budi dan akal pikiran. Ia tidak tumbuh sendiri seperti lahirnya tanaman ataupun hewan. Ia tumbuh dengan dorongan dasar kemanusiaan secara normal dalam rangka mempertahankan kehidupan, baik untuk kepentingan individu maupun kepentingan bersama.
Menurut Thomas E. Davit, pertimbangan nilai yang dikonstruksi bisa ditemukan di semua masyarakat manusia. Contohnya, perlindungan dan keamanan yang jelas perlu dipenuhi agar kebutuhan lain terpenuhi sehingga muncul sebuah konsensus tentang pertimbangan nilai yang dikonstruksi bahwa perlindungan dan rasa aman, baik dan diinginkan.
Pertumbuhan nilai yang 15 tersebut pada masyarakat nusantara lahir karena didorong oleh semangat untuk menjaga dan sekaligus memformulasi suatu pola yang tetap dan berlaku umum pada masyarakat. Dengan berlaku umum, maka kemudian nilai-nilai itu membudaya serta melekat dengan konsekuen pada setiap individu dan komunitas masyarakat.
- Baca juga: Pancasila Jiwa Bangsa
Sekalipun, percampuran dengan faktor-faktor eksternal terjadi akibat asimilasi dan kontak individu dalam waktu relatif lama, dorongan-dorongan baik primer maupun sekunder mampu mempertahankan orisinilitas masyarakat dengan kemampuan pemilahan yang lebih jauh, berujung kepada tetap mengamankan nilai-nilai yang sudah ada.
Konflik dan ketegangan dalam mempertahankan antara satu nilai dengan nilai lainnya, yang lama dengan yang baru, berlaku secara masif di tengah-tengah masyarakat, sehingga ia menjadi padu dan baku memperkuat kebenaran masyarakat terhadap nilai yang mereka pertahankan.
Nilai-nilai yang ada kemudian menjadi spirit dan motivasi bagi masyarakat dalam perhubungannya dengan nilai dan kebudayaan lain yang hidup berdampingan. Perbedaan tanpa menegasikan nilai-nilai komunitas lain semakin memperkaya khazanah nilai masyarakat. Dengan penuh kesadaran dan penghormatan, bahwa nilai yang mereka lihat berbeda itu adalah potensi kebudayaan yang menyatakan kehendak mereka secara objektif.
Nilai-nilai yang tumbuh dan berlaku pada masyarakat, mulai dari kebudayaan masyarakat Sabang sampai dengan kebudayaan masyarakat Papua, sebagai keberagaman yang tidak perlu disatukan. Sebab, setiap nilai itu tumbuh berdasarkan perspektif dan pemahaman masyarakat terhadap apa yang mereka alami, rasakan dan simpulkan sehingga kemudian ia menjadi kebenaran.
Nilai-nilai bagi masyarakat nusantara, berbeda dengan filsafat yang dilahirkan oleh Hegel dan Karl Marx sebagai penggagas sosialis-marxisme. Atau juga filsafat individualis-liberalisme dan ataupun kapitalisme. Filsafat ini dilahirkan atas dasar logika berpikir dalam rangka menjawab tantangan dari teori dan filsafat sebelumnya, yang saling kontradiktif.
Filsafat mendorong logika dan cara berpikir manusia agar sesuai dengan realitas yang dihadapi. Dasar pemikiran filsafat yang terpatri pada “kebenaran” realitas maupun idealitas, baik melalui pendekatan akal pikiran maupun jiwa (mind). Kebenaran yang diharapkan diperoleh adalah kebenaran objektif yang tidak bertentangan dengan akal pikiran itu sendiri.
Sekalipun terbatas untuk menemukan kebenaran alamiah filosofis, setidak-tidaknya, apa yang diperoleh oleh temuan dengan menggunakan pemikiran filosofis adalah manusia tidak diperangkap oleh subjektifitas-subjektifitas yang mudah digoyahkan oleh kebenaran relatif yang dibuat oleh kecenderungan sofistik.
Kebenaran nilai (values) oleh karenanya berbeda dengan kebenaran filosofis. Kebenaran nilai bertujuan membentuk karakter, sementara kebenaran filosofis menginginkan manusia tidak salah dalam mempersepsi suatu fenomena alam. Nilai mendorong manusia untuk berlaku, sedangkan hasil filsafat cenderung mengajak manusia untuk menentukan pilihan ilmiah atau tidak.
Nilai tidak bersifat ilmiah, sekalipun nilai-nilai itu dapat dianalisis secara filosofis, namun hasil yang dituju adalah pada keabsahan nilai itu dalam rasionalitas masyarakatnya sendiri. Berbeda dengan temuan-temuan pemikiran. Temuan pemikiran yang ilmiah atau tidak, mengarahkan manusia kepada upaya uji kritik argumen sehingga keyakinan yang timbul dapat dipertanggungjawabkan.
Nilai tidak membutuhkan uji dan kritik ilmiah, sebab, keabsahannya ditentukan oleh sejauh mana nilai itu mampu memberi kepastian dan perlindungan ketika ia dipraktikkan masyarakat. Contoh, nilai gotong-royong, nilai ini tidak membutuhkan argumen-argumen ilmiah untuk menguji validasinya. Sebab, validasi nilai gotong-royong ditentukan oleh kesadaran dan kepatuhan dalam mempraktikkannya.
Nilai menjadi cermin dalam menentukan kepatutan-kepatutan yang mesti dipraktikkan masyarakat. Objektifikasi gotong-royong tidak memerlukan pendekatan filosofis ataupun teoritis. Karena, nilai gotong-royong akan ditentukan sendiri oleh sejauh mana praktiknya dalam masyarakat, sehingga, ketika ditemukan manfaat dan efek dorong positifnya, maka waktu itu nilai gotong-royong akan menjadi nilai umum yang belum tentu bersifat universal. Karena, nilai gotong-royong bertentangan dengan sikap dan nilai individual yang dibangun melalui filsafat eksistensialisme dan individualisme.
*Penulis, Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat
**Gambar fitur stock photos Pixabay, editing Canva