ADA teman dari Komunitas Intro Payakumbuh mengundang saya jadi pembicara. Topiknya; Langgam Urang Awak. Saya iyakan saja, tanpa berpikir panjang.
Setelah itu baru saya berpikir. Langgam Urang Awak? gaya bicara orang Minangkabau kah? Apakah itu kajian bahasa?
Setelah saya pikir, memang hendak dikait-kaitkan dengan bahasa. Dengan perspektif linguistik.
Akhirnya dalam acara diskusi saya mengatakan kepada peserta seperti ini:
Saya bukan pakar bahasa. Saya pembelajar ilmu komunikasi. Sekarang ilmu komunikasi sedang dibersihkan dari linguistik karena berusaha mendominasi dan pendukungnya berusaha menghapus identitas ilmu komunikasi.
Mereka mengatakan ilmu komunikasi itu linguistik terapan. Hukuman atas kelancangan itu adalah mengeluarkan linguistik yang diam-diam sudah bercokol di lingkaran inti ilmu komunikasi.
Ilmu komunikasi itu ilmu sosial, tidak sama dengan linguistik yang humaniora. Objek material ilmu sosial adalah hubungan antar manusia, sementara objek material humaniora adalah budaya, karsa dan karya manusia. Jadi tidak bisa saling menghabisi.
Saya akan abaikan pengertian langgam dari sisi linguistik. Saya harus bicara pada platform ilmu komunikasi.
Apa padanan langgam bicara dalam ilmu komunikasi?
Saya memastikan, tepatnya: gaya komunikasi.
Gaya komunikasi dapat dibahas dalam paradigma atau perspektif yang berbeda: positivisme, konstruktivisme, dan kritis.
Positivisme ; fokus pada gaya-gaya efektif. Konstruktivisme: relasi gaya komunikasi antara manusia dengan budaya. Kritis: relasi gaya dengan struktur sosial dan dominasi. Langgam dapat mencerminkan dominasi sekaligus resistensi. Misalnya cimeeh Piaman.
Saya suka pakai perspektif konstruktivisme dan kritis karena dapat saling melengkapi.
Dalam perspektif konstruktivisme dapat dilihat pada dua kelompok budaya yang berbeda, yaitu budaya balai dan budaya surau.
Dalam perspektif kritis dapat dianalisis bagaimana budaya balai mendominasi budaya surau atau budaya niniak mamak. Budaya surau lahir dari kalangan elite tradisional yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan adat.
Budaya balai menjadi bagian dari budaya pasar, termasuk budaya politik kekuasaan yang berorientasi pasar. Budaya surau semakin tersingkir.
Dari budaya balai lahir langgam balai. Dari budaya surau lahir langgam surau. Artinya gaya komunikasi balai dan gaya komunikasi surau.
Apa itu langgam balai?
Apa bedanya dengan langgam surau?
Baca juga: Emeraldy: Gaya Balai Masuk Surau dan Kampus
Langgam balai adalah komunikasi konteks rendah (low context of communication): lugas/straight to the point, bebas, minim penggunaan perasaan.
Langgam surau adalah komunikasi konteks tinggi (high context of communication): bersampiran, berbelit-belit, tenggang-menenggang. Banyak yang dipertimbangkan sebelum kata diucapkan. Diksi dipilih secara hati-hati.
Bagaimana prosesnya budaya balai mendominasi gaya urang awak, baik dalam bertutur maupun berperilaku?
Tiang-tiang budaya surau pernah mengalami hantaman sangat kuat oleh kekuatan anti agama dan sekuler. Setelah G30S/PKI ruang gerak budaya surau mengalami pengecilan, terjadi dominasi budaya ‘nasional’ dan ‘militeristik’, dan di dalam keadaan itu budaya balai mendapat ruang kebebasan untuk berkembang. Langgam balai masuk ke semua institusi sosial, politik dan budaya, tak ketinggalan lembaga pendidikan.
Langgam balai dapat berkembang karena ditopang oleh institusi pendidikan (terutama dalam gaya penulisan makalah) dan institusi pewarta/media yang mereduksi nilai langgam surau dalam penulisan berita.
Langgam balai menghubungkan mindset pendukungnya pada ideologi kebebasan yang didengungkan di tingkat global. Ia bertemu pula dengan praktik komodifikasi. Semua yang sakral hilang, bertransformasi kepada barang dagangan.
Dalam keadaan itu kebenaran menjadi relatif, tergantung kesepakatan –tapi sebenarnya tidak lepas dari dominasi kelompok kepentingan tertentu yang bersifat noumena. Siapa? Elite global.
Jadi tanpa disadari sebenarnya kontestasi langgam itu adalah bagian dari kontestasi ideologi di tingkat dunia yang dikendalikan oleh kekuatan ekonomi liberal yang ingin mengendalikan dunia melalui kontrol pikiran (mind control) dan perilaku yang diformat.
~ Penulis, Dr. Emeraldy Chatra, Dosen FISIP Universitas Andalas
~ Photo by Outcast India on Unsplash