Persoalan adat yang sampai hari ini menjadi perbincangan menarik di tengah-tengah masyarakat Minangkabau adalah masalah perkawinan dalam satu garis genealogis, yang dalam adat Minangkabau dilekatkan kepada ibu (matrialineal).
Sistem pengelompokan sosial di masyarakat Minangkabau kepada ibu menempatkan peran ibu sebagai kepala dan penguasa seluruh keluarga. Ibu oleh karenanya menjadi entri kepemilikan sako dan pusako yang akan diwariskan kepada anak-anaknya, sako kepada anak laki-laki, dan pusako kepada anak perempuan.
Sistem matrialineal yang telah berlangsung lama dalam peradaban orang Minangkabau dipraktikkan secara konsisten dan konsekuen, sehingga garis suku dan kaum dalam genealogis ibu terpelihara dengan baik, dengan rumah gadang sebagai episentrum kekuasaan ibu. Munculnya silang di tengah-tengah masyarakat, disebabkan oleh dua faktor signifikan, yaitu pertumbuhan keturunan dan masuknya Islam ke Minangkabau.
- Baca juga: Pergumulan Adat dan Islam di Minangkabau
Ketika pertumbuhan keturunan tidak lagi mampu dinaungi oleh rumah gadang, pindah rumah (keluar dari rumah gadang) dan merantau menjadi pola hidup masyarakat yang tidak dapat dielakkan. Dan berakibat kepada keturunan satu paruik itu secara regeneratif meluas dan menyebar ke berbagai daerah, baik dalam satu regional maupun provinsi. Kondisi inilah kemudian menyebabkan terjadinya perluasan keturunan yang kompleks dengan percampuran genetik yang variatif.
Dengan demikian, ketika persilangan perkawinan telah terjadi di berbagai tempat dengan rentang waktu yang panjang, keturunan generasi utama yang tumbuh di rumah gadang telah berasimilasi dengan berbagai kelompok masyarakat Minang maupun non minang.
Percampuran gen XX ibu dengan gen XY bapak yang lebih dekat dengan anak, cenderung memiliki pengaruh lebih kuat daripada gen yang bersifat regeneratif tunggal dari pihak pertama.
Secara replektif pertanyaan dapat diajukan, ketika keturunan 1 sampai dengan 7 menjaga konsistensinya untuk tidak menikah dengan satu kaum, dan persilangan perkawinanpun telah terjadi dengan berbagai ras masyarakat, ketika keturunan ke-8 ingin melakukan perkawinan dengan satu sukunya, apakah keturunan yang ke-8 ini akan mengalami dampak negatif dari perkawinan sedarah.
Adat Minangkabau melarang melangsungkan perkawinan dalam satu garis suku notabene berbeda dengan Islam yang tidak mengenal istilah suku. Namun menetapkan larangan perkawinan dengan konsep mahram. Banyak pendapat menyatakan kaidah larangan perkawinan satu suku berbeda dengan konsep mahram.
Sistem pelarangan perkawinan satu suku, yang oleh Amir M.S sebut dengan eksogami matrilineal meliputi ; sasuku saparuik, sasuku sapayuang, sasuku sakampuang, sasuku-sanagari, dan sasuku sajo. Kelima model perkawinan ini, sekalipun berbeda tingkatannya, namun tetap merupakan perkawinan yang dilarang oleh adat. Dasar pelarangan tersebut adalah: menimbulkan kerancuan garis kemanakan, rumitnya posisi penghulu adat, dan tidak berkembangnya keturunan.
Sistem hukum Islam dengan konsep mahram muncul dalam dua bentuk, pertama; bentuk hurmah mu’abbadah (haram selamanya) dan kedua; hurmah mu’aqqatah (haram dalam waktu tertentu). Hurmah mu’abbadah terjadi oleh sebab kekerabatan yang terdiri dari 7 (tujuh) kelompok: ibu, anak perempuan, saudara perempuan, anak perempuannya saudara laki-laki (keponakan), anak perempuannya saudara perempuan (keponakan), bibi dari ayah, dan bibi dari ibu, sebagaimana telah ditetapkan garis hukumnya dalam Q.S. An-Nisa’ ayat 23, demikian juga sebaliknya, bagi laki-laki.
Larangan lain terkait dengan hubungan permantuan, seperti istri ayah, istri anak laki-laki, ibunya istri (mertua) dan anak perempuannya istri (anak tiri). Demikian juga terhadap sepersusuan, haram menikahi ibu yang menyusui, saudara perempuan susuan, anak perempuan saudara laki-laki susuan, anak perempuan saudara perempuan susuan, bibi susuan, saudara susuan ibu dan perempuan susuan (yang menyusu pada istri). Konsep mahram dengan rumus KPP (keturunan, permantuan, persusuan) tegas dinyatakan menjadi perkawinan yang batal (diharamkan).
Secara teoritis, untuk menguji rumusan kawin dalam rumpun genealogis yang dilarang keras oleh adat Minangkabau, dapat digunakan teori KPP (keturunan, permantuan dan persusuan). Perempuan Minangkabau yang menetap dalam satu rumah gadang, berpotensi untuk saling menyusui anak kakak ataupun anak adik, baik karena tinggal dalam satu rumah gadang maupun berbeda rumah. Faktor-faktor kurangnya air susu, kesibukan karena pekerjaan sering menjadi alasan perempuan dalam satu keluarga minta tolong kepada saudara perempuan lainnya untuk menyusui anak mereka.
Terkait dengan kemungkinan hilangnya pengaruh gen dalam tubuh seseorang, Jenny Graves dari Universitas La Trobe Australia menyimpulkan ada kemungkinan kromosom Y pasti musnah, namun itu masih bersifat perkiraan. Berbeda dengan kelompok Remainers (Kelompok yang ingin Inggris tetap berada dalam Uni Eropa) yang menyimpulkan bahwa mekanisme pertahanan gen melakukan pekerjaan yang luar biasa dan menyelamatkan kromosom Y. Artinya, gen bawaan dalam tubuh seseorang tidak akan hilang dan punah. Dengan demikian, setiap generasi akan membawa gen regeneratif dalam tubuhnya.
Menurut dr. Teguh Haryo Sasongko,Ph.D, ahli genetika molekuler dari Universiti Sains Malaysia, pernikahan dengan sesama kerabat atau consanguineous marriage berpotensi menimbulkan efek negatif kepada keturunan. Bahasan-bahasan terkait dengan efek negatif tersebut sudah sangat banyak dijelaskan oleh berbagai temuan-temuan ahli genetika molekuler.
Relasi adat dengan Islam terkait dengan persoalan perkawinan satu rumpun genealogis ini pada kaidah KPP, tanpa dibatasi oleh jarak regeneratif antara ibu pertama dalam satu rumah gadang, maka larangan yang diberikan oleh adat Minangkabau jelas memberi kemanfaatan guna menyelamatkan generasi Minangkabau agar tumbuh dalam kesempurnaan ciptaan Tuhan.
Dengan menggunakan perspektif ushuliyah, kaidah dar’ul mafasif muqaddam ‘ala jalbih al-masalih (menolak kemudhratan lebih utama dari mengambil manfaat), maka norma pelarangan kawin dalam satu rumpun genealogis termasuk ke dalam tindakan mencegah kemudharatan secara syar’iyyah dan menghilangkan kekacauan tatanan hukum adat secara customary (Kebiasaan adat yang sudah berlaku turun temurun). Kombinasi kaidah inilah kemudian yang menopang kekokohan adat Minangkabau dalam filosofi adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.
*Penulis; Advokat & Peneliti Portal Bangsa Institute
**