bakaba.co | Bukittinggi | Persoalan dilanggarnya hak pedagang di Bukittinggi oleh Pemko dan dilaporkan masyarakat pedagang ke Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Pusat dapat tanggapan serius.
“Komnas HAM merekomendasikan kepada Presiden untuk mengambil kebijakan dan tindakan konkret guna mendorong penyelesaian permasalahan yang dihadapi pedagang berdasarkan prinsip dan norma hak asasi manusia.”
Demikian kutipan kesimpulan dan rekomendasi Komnas HAM Pusat, 30 Januari 2020, atas laporan pengaduan masyarakat pedagang Bukittinggi terkait tindakan, perlakuan dan kebijakan Walikota/Pemerintah Kota Bukittinggi terhadap masyarakat pedagang.
Surat rekomendasi Komnas HAM Pusat nomor: 013/TUA/I/2020 ke Presiden RI itu dengan perihal: Dugaan Pelanggaran HAM dalam Penataan Beberapa Pasar di Kota Bukittinggi. Rekomendasi yang diteken Ketua Komnas HAM Pusat Ahmad Taufan Damanik, ditembuskan ke berbagai lembaga dan pemerintah provinsi di Sumbar, dan beberapa kelompok masyarakat dan pedagang yang mengadu ke Komnas HAM atas tindakan Walikota/Pemerintah Kota Bukittinggi sejak tahun 2018 dan 2019.
Ketua Perhimpunan Pemilik Toko Korban Kebakaran Pasar Atas (PPTKKPA) Bukittinggi Yulius Rustam mengatakan, cukup lama penelitian Komnas HAM atas tindakan Walikota Bukittinggi yang diadukan pedagang.
“Selama ini Walikota, Pemko Bukittinggi menganggap angin lalu semua pengaduan masyarakat ke berbagai lembaga, termasuk pengaduan ke Komnas HAM. Sesuai mekanisme, Komnas HAM akhirnya membuat rekomendasi ke Presiden agar Presiden bertindak konkret atas adanya pelanggaran HAM yang dilakukan Pemko atau walikota terhadap masyarakat pedagang di Bukittinggi,” kata Yulius Rustam kepada bakaba.co
Pengaduan Pedagang
Sejak tahun 2018 masyarakat Bukittinggi, khususnya masyarakat pedagang menghadapi berbagai perlakuan Pemerintah Kota dan Walikota yang tidak mencerminkan pemerintah yang bijak dan berkeadilan. Setiap yang mau dikerjakan tidak memandang adanya hak pedagang.
Ada tiga pengaduan masyarakat pedagang Bukittinggi kepada Komnas HAM Pusat.
Pengaduan pertama oleh pedagang Pasar Aur Kuning yang disampaikan tertulis 30 Maret 2019 dan 11 April 2019 secara langsung.
Pengaduan kedua disampaikan para pedagang Belakang Pasar/Pasar Kumango Bukittinggi tanggal 20 Juni 2018.
Pengaduan ketiga oleh pedagang Pasar Atas terkait nasib pedagang setelah bencana kebakaran. Surat pengaduan disampaikan ke Komnas HAM, 16 April 2018.
Pengaduan pedagang toko di Pasar Aur Kuning Bukittinggi terkait tindakan Walikota yang menerbitkan Perwako nomor 40 dan 41 tahun 2018 tentang tarif retribusi toko.
Tarif retribusi toko, kios dan lapak yang sebelumnya ditetapkan dengan Perda Nomor 15 dan 16 tahun 2013, dinaikkan tarifnya dengan Perwako sampai 600 persen. Menaikkan tarif retribusi tidak dilakukan walikota dengan cara merevisi Perda tetapi mengeluarkan Perwako dengan membatalkan ketentuan besaran tarif retribusi di salah satu pasal Perda retribusi.
Pedagang tidak pernah tahu karena tidak ada sosialisasi oleh Pemko. Tarif retribusi yang dinaikkan dengan Perwako memaksa pedagang membayar. Pedagang yang lalai atau menolak membayar karena tidak bisa menerima tindakan sepihak walikota, toko mereka disegel dengan mengerahkan aparat Satpol PP didampingi polisi dan tentara dengan alasan untuk keamanan.
Sementara pengaduan Pedagang Belakang Pasar terkait tindakan sepihak pemerintah kota membongkar puluhan kios yang dibangun secara swadaya oleh pedagang sebagai tempat berusaha karena sejak kena musibah gempa tahun 2007 mereka tidak pernah dapat izin membangun kembali toko mereka. Tindakan sepihak pemko itu telah mengakibatkan pedagang rugi ratusan juta rupiah.
Pengaduan pedagang Pasar Atas ke Komnas HAM, terkait sikap dan tindakan sepihak Walikota pasca kebakaran Pusat Pertokoan Pasar Atas Bukittinggi. Pemko dan walikota tidak membuka ruang dialog, musyawarah dengan 763 pedagang pemegang kartu kuning korban kebakaran. Bahkan walikota memecah-belah pedagang sehingga di antara pedagang terjadi dualisme dan hak pedagang menyampaikan pendapat ditutup. Sikap dan tindakan walikota telah merugikan pedagang secara moril dan material karena fasilitas penampungan pedagang korban kebakaran dibangun tidak representatif dan strategis. Dua tahun lebih pedagang korban kebakaran Pasar Atas Bukittinggi menanggung keadaan yang sulit secara ekonomi.
Upaya Komnas HAM
Masalah yang dihadapi masyarakat pedagang Pasar Atas, Pasar Aur Kuning dan Pedagang Belakang Pasar, sudah coba dilaporkan ke berbagai pihak terkait. Mulai ke DPRD Kota Bukittinggi, ke DPRD Sumbar, ke Gubernur Sumbar, ke Komisi II DPR-RI, juga ke Mendagri, Sekretariat Kabinet. Semua laporan yang diupayakan pedagang Bukittinggi, tidak ada hasil. Pemko dan walikota Bukittinggi tetap berjalan, melakukan secara sepihak tanpa mengacuhkan keberatan dan aspirasi masyarakat pedagang.
Pengaduan pedagang ke Komnas HAM Pusat dilakukan dan mendapat cukup respon. Hal itu terlihat dari turunnya tim Komnas HAM Pusat ke Bukittinggi. Selain bertemu dengan kelompok pedagang baik Pedagang Pasar Atas, Aur Kuning dan pedagang Belakang Pasar (19 dan 20 April 2018), Komnas HAM juga bertemu aparatur Pemda yang menangani masalah pedagang. Komnas HAM Pusat juga bertemu Walikota Bukittinggi (14 September 2018).
Setelah turun langsung ke lapangan, ke Bukittinggi, Komnas HAM menyurati berbagai pihak dan Walikota Bukittinggi sendiri. Kemudian, finalisasi dari temuan atas pengaduan masyarakat Pedagang Bukittinggi, Komnas HAM Pusat berkesimpulan: 1. Bahwa kebijakan Walikota Bukittinggi mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM sebagaimana diatur pasal 1 angka 6 UU 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi: pelanggaran hak asasi manusia adalah perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja atau tidak sengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, membatasi, menghalangi, dan atau mencabut hak asasi manusia seorang atau sekelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku’.
Potensi pelanggaran HAM oleh walikota atas pedagang terkait hak ekonomi para pedagang untuk mendapatkan penghidupan yang layak, terhalang oleh kebijakan walikota Bukittinggi yang menaikkan tarif retribusi yang sangat tinggi sehingga tidak mampu dijangkau oleh para pedagang maupun relokasi pasar yang secara ekonomis tidak accessible bagi para pedagang.
Harapan Pedagang
Komnas HAM sebagai lembaga yang mandiri, dengan posisi setingkat lembaga negara diberi mandat oleh UU nomor 39 tahun 1999 tentang HAM. Setiap pengaduan masyarakat yang akhirnya ditemukan Komnas HAM yang berindikasi terjadinya pelanggaran HAM, termasuk oleh aparat negara, direkomendasikan ke Presiden untuk ditindaklanjuti. Presiden melalui kementerian terkait akan memproses rekomendasi Komnas HAM Pusat.
“Dengan terbitnya rekomendasi Komnas HAM ke Presiden, bahwa ada potensi pelanggaran HAM oleh walikota, kami para pedagang tidak asal mengadu. Kami pedagang merasakan bagaimana hak-hak kami dilanggar dan diabaikan walikota,” kata Yulius Rustam.
~aFS/bakaba
**Foto Fadhly Reza