Teknologi informasi memaksa kegiatan jurnalistik dibangun dengan sistem yang berlari lintang pukang. Media berlomba-lomba menyiarkan, menjabarkan, ‘memperkosa’ fakta-data untuk kepentingan politik kekuasaan tertentu dari pengguna perangkat jurnalistik. Dipaksakan sebagai seakan-akan kepentingan umum, kepentingan ummat, bahkan kepentingan agama.
Jurnalisme seperti ini sering sekali mengabaikan Kode Etik yang semestinya melekat dalam kegiatan jurnalistik, bahkan seperti sudah benar-benar tidak lagi peduli dan mau menjalankannya. Kegiatan jurnalistik dibaurkan dengan itikad buruk, ditempuh dengan cara-cara tidak profesional, serta menghakimi. Itulah dampak dari jurnalisme lintang pukang mengejar tingkat kunjungan (trafik) ke media bersangkutan. Hal ini jelas melanyau Kode Etik Jurnalistik; 1. Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beriktikad buruk; 2. Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik; 3. Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah;
Baca juga: Menebar Kebencian Memaksa Kebenaran
Inilah kebebasan pers yang kita nikmati. Sering sekali kepentingan politik tertentu itu disandarkan kepada fakta-data dan kebebasan pers, tanpa mempertimbangkan kebaikan-kebenaran untuk publik dan narasumber. Pada konteks ini informasi dicari, diolah, disiapkan, disiarkan hanya sekadar memuaskan ‘nafsu membunuh’ dari pada mendidik, menghibur, dan menjalankan kontrol sosial.
Heboh tentang Arteria Dahlan dan Puan Maharani adalah dua contoh kasus buruknya sistem jurnalistik di era digital ini. Di mana etika dalam mendapatkan informasi untuk diolah menjadi berita, yang diharapkan viral tentunya, telah melanyau kode etik tersebut. Hilangnya unsur kehati-hatian dan kaburnya kepentingan umum. Ketergesa-gesaan dan kepentingan viral lebih utama dari pada unsur-unsur profetik dalam berkegiatan jurnalistik.
Memilih angle agar Puan Maharani tersudut oleh publik padahal itu acara intern satu sisi adalah kecerdasan dalam kegiatan jurnalistik, sayang tidak dibarengi dengan pertimbangkan yang arif dan etik dalam membangun secara utuh peristiwanya sebagai konteks. Seiring dengan itu juga, kasus Arteria Dahlan yang diseret melalui separuh pernyataan dengan menegasikan konteks agar tokoh tersebut tersudut tiada lain memiliki unsur kepentingan politik kekuasaan. Padahal, jika dua peristiwa tersebut di atas diberitakan dengan menyertai konteks agaknya tidak akan membuat gaduh yang berlebihan menghabis energi dan menajam sikap saling benci.
Baca juga: Pilkada di Media Sosial
Kini jurnalisme dipaksakan agar membuat gaduh. Kalau tak gaduh tak keren. Kalau tak viral, tidak hebat. Semangat serupa ini dipaksakan oleh teknologi informasi yang hari ini berada di tangan publik serta didorong oleh kepentingan-kepentingan lain menyaru dalam kegiatan jurnalistik yang profesional. Lini masa dan panggung wacana memaksa harus ada yang gaduh setiap saat, harus dicari, digali dan kapan perlu melanyau etik dan estetik dalam mencari, mengolah, menyimpan, menyiarkan informasi.
Lebih buruk lagi adalah dari situs online ke situs online lain, berita yang sama diolah jauh melenceng dari fakta-data. Dicampuri urusan opini dan kepentingan-kepentingan yang menyaru karena beriringan dengan Pilkada Serentak 2020. Tentu saja bagi kegiatan jurnalistik yang profesional, punya gengsi tersendiri mengutip dari media untuk medianya. Kini itu tidak perlu, karena dipaksakan teknologi untuk menyamakan keyword agar patuh terhadap mesin pencari (search engine) guna menaikkan trafik kunjungan netizen.
Media yang profesional selalu akan mencari perspektif baru dan tidak hanyut mengikuti dari satu isu ke isu lain. Tidak terbawa arus tetap berjuang membuat arus baru dengan kebenaran yang diusungnya. Sayangnya media serupa itu kian menuju jalan yang sepi.
Dimeriahkan dengan kehadiran media sosial, banjir informasi bukan hanya membuat fakta-data menjadi lebih suci tetapi begitu sangat kotor dengan kepentingan-kepentingan lain. Fakta-data, sekali lagi ‘diperkosa’ kepentingan politik kekuasaan baik yang berada di belakang media-media maupun politisi-politisi yang mendapatkan keuntungan politik dari informasi yang bias dan dibiaskan tersebut.
Jurnalis yang memiliki sikap teologis, mengemban misi profetik, dengan menghormati etika dan moral, mempertimbangkan kepentingan umum, akan menjaga diri dan menghormati profesi serta menyadari kekuasaan publik yang berada di tangan agar tak disalahgunakan. Tentu saja pandangan ideal perjalanan kegiatan jurnalistik di negeri Via Vallen ini. Di lapangan, hal serupa ini tiada lain sering dianggap omong kosong belaka.
Bagaimana sikap paling bijak dalam memberitakan kasus Puan Maharani? Ketika pernyataan itu keluar dari mulut Puan, saat memberikan surat dukungan kepada pasangan calon, menjadi keharusan bagi jurnalis selesai acara tersebut untuk mewawancarainya. “Mengkonfirmasi pernyataan kepada narasumber bersangkutan.” Mengambil mengutip apa adanya tanpa kembali mewawancarai ulang adalah kerja jurnalistik yang tergesa-gesa dan serampangan, jika itu menimbulkan masalah besar bagi narasumber. Padahal narasumber harus dilindungi, bukan dihabisi dengan membunuh karakternya. Ini tidak untuk membela, Puan Maharani. Ini untuk membela kerja kegiatan jurnalistik yang menghormati kode etik.
Baca juga: Revitalisasi Kinerja Awak Media
Sementara itu, peristiwa live sebuah televisi dijadikan berita bukanlah dilarang tetapi itu jelas kegiatan jurnalistik yang tidak berpeluh. Sebuah kemestian, mengikuti etika jurnalistik, jurnalis kembali mewawancarai narasumber tersebut. Bukan mengutip langsung dari pernyataannya dari sebuah media. Semestinya awak media yang mengutip dari media menyadari hal tersebut tidak menambah kredibilitas medianya di hadapan publik. Sebab publik sudah dianggap menonton live tersebut. Hal ini senada dengan kegiatan jurnalistik yang mengutip pernyataan tokoh di lini masa. Termasuk kegiatan jurnalistik yang tidak berpeluh. Informasinya dangkal, juga sering menjadi sumber adu domba. Ini juga tidak untuk membela Arteria Dahlan!
Terakhir, siapakah yang peduli dengan keadaan panggung wacana publik yang kian liar seperti sekarang ini? Industri informasi berkembang mengikuti arus pasar, apa saja yang laku akan dijual tanpa memertimbangkan baik buruk dalam berbangsa, bernegara dan beragama.
Atau jangan-jangan memang kita membiarkan negeri ini hancur karena adu domba lewat teknologi informasi serupa di banyak tempat terjadi. Dimulai dari pembuat hoax, berkembang-biaknya fitnah, lalu terjadi rusuh dan seterusnya meruntuhkan sebuah tatanan dan memburukkan keadaan.
Pelajaran penting dari Arab Spring, salah satunya karena persoalan tidak terkelolanya sistem informasi publik dengan baik berdasarkan ketuhanan, keadaban, kemuliaan dan kemanusiaan. Lalu dimainkan oleh kelompok kepentingan untuk merebut kekuasaan. Jurnalisme lintang pukang mendukung ke arah serupa itu jika tidak dikendalikan dengan akal sehat, menegakkan kepentingan umum dengan cara yang beradab. Salam. []
| Penulis, Dosen Pengkajian Islam dan Komunikasi Massa di Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Imam Bonjol Padang
| Gambar oleh Alexas_Fotos dari Pixabay