Ideologi ASN KPK – Akhir-akhir ini kita disibukan lagi dengan “berita seputar KPK”. Persoalannya jika dikatakan sederhana ya bisa sederhana, jika dikatakan tidak sederhana, juga bisa begitu. Sederhana, karena sekaliber lembaga anti rasuah yang besar itu dengan kemampuannya menangkap ‘kakap’ besar, ternyata untuk mempersiapkan tenaga kerjanya hanya melalui pertanyaan sederhana yang tidak membutuhkan otak dan kepintaran.
Sebaliknya, kesibukan itu menjadi sangat tidak sederhana, oleh karena, lembaga anti rasuah yang dibutuhkan untuk mempekerjakan orang-orang teliti, berani dan berdedikasi hanya dibutuhkan kemampuan untuk menjawab masalah jilbab, qunut, FPI dan HRS, LGBT, Islamnya Islam apa, orang-orang liar di KPK, ucapan hari natal, bersedia jadi isteri kedua, dan 29 bentuk pertanyaan lainnya yang lebih “gila lagi”.
Apakah, isi “otak”nya orang Indonesia yang akan ditempatkan di sebuah lembaga besar dengan tanggungjawab besar itu, cukup dengan masalah-masalah sepele yang tidak terkoneksi dengan pekerjaannya. Atau, jangan-jangan kegagalan “membonsai” KPK, baik dari peraturan perundang-undangan dan maupun pimpinannya yang terlalu ribet itu, maka menghancurkan KPK dengan cara mempekerjakan orang-orang yang sibuk dengan qunut, FPI, belum menikah, mempercayai hal gaib, kulit berwarna, demokrasi dan agama harus dipisah, serta pertanyaan-pertanyaan lainnya akan menjadi lebih efektif.
Jika ini yang terjadi, sebenarnya tidak perlu ribet dan bersusah-susah, toh negara dengan rezim terbaik dan terhebat hari ini bisa membubarkan KPK. Jika rezim hari ini bersikeras “menggantung tahi” di wajahnya, menjaga rasa “sok bersih”, dengan menciptakan lembaga yang bekerja tanpa ideologi, maka tidak perlu berpayah-payah membenturkan antara agama, kemanusiaan dan hal-hal yang berbau gaib, karena semuanya itu adalah kebodohan yang konstitusional.
Mungkin kata yang paling tepat dan aman dari “jeratan” laba-laba rezim, kita harus mengatakan, rezim hari ini adalah rezim terbaik yang mampu menerjemahkan konsepsi berideologi rakyatnya dengan sesuatu yang bagi mereka paling benar serta paling mampu dijual di pasaran, sedangkan tafsiran dan otak kebenaran yang ada di rakyat, semuanya salah dan sesat. Atmosfer “erosi” dan “aborsi” karakter dan kepintaran semakin kentara diperlihatkan dengan “moncong” radikalisme, intoleran, dan anti Pancasila.
Baca juga: Menerka Wajah KPK
Terjadinya kerancuan ber-ideologi, tidak saja memasuki ranah “politik” negara, anehnya dan sesuatu yang tidak dapat diterima akal sehat, di mana “orang-orang” yang digaji oleh negara dan menjadi pekerja negara, melakukan upaya terstruktur, sistematis, dan masif, mulai dari mempersiapkan sampai melaksanakan bagaimana Pancasila tidak lagi sebagai spirit berkehidupan kebangsaan, Islam dan demokrasi, mengatakan kebenaran sebagai kejahatan, jilbab, agama dan kekerasan, HRS dan FPI, sex bebas sejenis, dan sampai kepada kegilaan yang luar biasa, agama sebagai pikiran manusia, namun tetap dipandang sebagai upaya melakukan penguatan dan pemantapan ASN di KPK untuk setia dan taat kepada Pancasila dan UUD 1945.
Membina kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila dan UUD 1945, secara sederhana dapat dilakukan dengan cara menunjukkan dan membentuk frame berpikir calon ASN KPK. Dengan mengonstruksi kerangka berpikir yang disusun dengan memperhatikan fakta perkembangan kehidupan kebangsaan, pengenalan terhadap tafsir dan isi Pancasila, memaknai dan menafsirkan konstitusi dalam kehidupan sehari-hari khususnya di KPK, serta menciptakan kerangka berpikir individual dan kelompok dalam melandasi keseluruhan kerja KPK dengan Pancasila dan UUD 1945, adalah lebih elok dan bijak jika hanya dipertanyakan persoalan-persoalan yang sebenarnya itu adalah wilayah privat, bukan negara.
Sebagai negara hukum, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh institusi apapun, baik dalam bentuk pemeriksaan ataupun uji coba kemampuan serta test yang dilakukan, sama sekali tidak boleh merambah ke wilayah pribadi manusia Indonesia. Negara Indonesia bukan negara sosialis dan bukan pula negara komunis, yang dengan sepenuh hak dan otoriter masuk ke dalam wilayah privat setiap orang.
Institution failure, mungkin ini yang tepat diberikan kepada lembaga yang telah menyediakan jenis dan bentuk pertanyaan yang akan diajukan kepada mereka-mereka yang memiliki tanggungjawab berat untuk membersihkan negara ini dari koruptor. Ada kegagalan institusional bagi negara membina karakter “ideologi” pekerja negara di berbagai institusi. Oleh karena kegagalan itu memberi kekuatan untuk melakukan pembusukan, maka coba-coba diinternalisasikan kepada institusi baik lainnya.
| Penulis, Irwan, SHI., MH. Peneliti di Pusat Kajian PORTAL BANGSA