Gambar oleh kalhh dari Pixabay

Radikalisme dan Terorisme: Anak Kandung Rezim Oligarkis

Agama dan kitab suci, adakah mengajarkan sikap radikalisme dan terorisme?

Jika konsep radikalisme dan terorisme dipahami dengan pendekatan sosiologis-politis, dengan mengabaikan bahwa kitab suci pada umumnya memberikan pelajaran untuk menghadapi perlawanan dan situasi yang tidak menguntungkan, maka istilah radikalisme dan terorisme sebenarnya hampir pada seluruh agama dan kitab suci, sangat menentang radikalisme dan terorisme.

Radikalisme dan terorisme merupakan simbol perlawanan politik yang dilakukan oleh kelompok-kelompok sosial politik yang terancam dan diancam oleh kekuatan rezimentalisme. Tidak selalu faktor penggerak dan motivasi mereka adalah agama, kecuali ideologi perlawanan yang dianut. Perlawanan kulit hitam di Afrika Selatan terhadap rezim kulit putih yang merampas hak-hak kebangsaan mereka, tidak saja menghantarkan Nelson Mandela sebagai seorang pahlawan di Afrika Selatan. Bahkan dunia mengakui bahwa perjuangan apartheid mereka mendapatkan tempat di mata dunia internasional.

Peristiwa 11 September 2001 di New York merupakan puncak dari bentuk radikalisme dan terorisme terhadap negara. Kemudian berlanjut ke peristiwa Bom Bali (12/10/2002), Madrid (11/3/2004), London (7/7/2005) dan Paris (13/10/2015), peledakan bom di Sarinah, Riau, dan terakhir tahun 2019 ini di Poltabes Medan.

Sekalipun jauh sebelum itu, McVeigh meledakkan bom di Oklahoma City, 19 April 1995, yang menewaskan 165 orang merupakan upaya balas dendam bagi kelompok Ranting Daud di Waco, Texas sebagai tindakan membalas agen-agen pemerintah federal yang telah membunuh kelompok mereka.

Artinya, movitasi yang mendorong terjadinya radikalisme dan terorisme itu bukanlah agama dan ataupun semagat religius takfir. Akan tetapi, lebih sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah yang cenderung korup dan tidak bersikap adil terhadap masyarakat maupun kelompok-kelompok sosial yang menjadi korban kebijakan negara.

Para radikalis dan teroris menyadari bahwa mereka tidak mungkin melawan negara yang memiliki kekuatan militer. Maka pilihannya dengan mengemukakan gagasan perlawanan melalui tulisan dan leaflet berisi perlawanan, menggugat kegagalan negara, serta menista koruptor. Atau oleh para teroris dengan mengunakan bom, meledakkannya di tempat-tempat umum menunjukkan bahwa mereka menurut Martin van Bruinessen ingin menunjukkan “bentuk pesan perlawan”.

Rezim oligarkis, sekalipun menggunakan jargon-jargon demokratis, dengan penumpukan kekayaan pada sebagian elit politik, dengan terdistribusinya kemiskinan yang merata di seluruh level masyarakat. Walaupun dalam waktu bersamaan, negara melalui program-program kesejahteraan berupaya untuk melaksanakan pembangunan berbasis kerakyatan. Kebijakan developmentalisme itu ternyata tetap hanya menguntungkan segelintir orang yang dekat dengan kekuasaan dan politik.

Demikian juga dengan para diktator demokratis, kekuasaan presiden yang didukung oleh elit pengambil kebijakan di legislatif dan yudikatif, fatsun diktator-kolegial secara soft menunjukkan mereka sebagai pemimpin yang demokratis dan memihak rakyat kecil. Namun menggunakan alat-alat kekuasaan negara untuk kepentingan sang diktator menghadapi lawan-lawan politik yang menggugat otoritas dan kebijakannya. Pembangunan tidak lebih sekedar pandangan positifistik untuk menekan rakyat yang hasil dan keuntungannya dinikmati oleh kolegial sang diktator.

Hegemoni negara dengan menciptakan platform politik akternatif, baik melalui pembiaran seperti terjadi pada rezim Reformasi SBY (www.liputan6.com/komaruddin -hidayat) dengan kesulitan membatasi penyebarluasan media baik tulis maupun cetak, mendorong negara mengambil langkah PTP (potential transfer points) kepada agama.

Tuduhan terhadap agama dan pemeluknya kemudian memindahkan “titik kulminasi” negara kepada masyarakat pemeluk agama. Negara dengan bebas melakukan tindakan-tindakan militeristik dan polisionil.

Di Indonesia dan negara-negara lainnya di dunia, cenderung menjadikan Islam sebagai episentrum. Islam dipandang melalui kitab sucinya berkontribusi besar mendorong semangat radikalisme dan terrorism. Tanpa mempertimbangkan the history of religions dan our function and contents of scripture, dengan menekankan pandangan skripturalistik berlebihan, negara merasa telah menyelesaikan tugasnya untuk menghabisi kelompok radikalisme dan terrorist.

Kesalahan konstruksi berpikir melihat kehadiran kelompok radikalisme dan terrorism, ternyata negara gagal menyelesaikan persoalan penting dari kehadiran kelompok radikalisme maupun terrorism. Negara sebenarnya sedang membiarkan api dalam sekam, yang jika tidak diselesaikan dengan pendekatan dan paradigma yang benar, maka konflik antara negara dengan masyarakat, apalagi kelompok-kelompok agama, khususnya Islam akan terus menerus terjadi.

Kemiskinan, kekuasaan oligarkis dan korupsi-lah sebenarnya yang lebih dahsyat menciptakan solidaritas dan group feeling melawan negara, dibandingkan dengan alasan-alasan skripturalistik yang dipaksakan.**

Penulis, Irwan, SHI, M.H., Peneliti pada Pusat Kajian Portal Bangsa
Gambar oleh kalhh dari Pixabay