Idul Fitri dan Kemerdekaan Diri

redaksi bakaba

Bagi orang-orang beriman, idul fitri merupakan hari kemerdekaan jiwa. Ketika jiwanya telah suci, maka jiwa tersebut terlepas dari perbudakan dan intimidasi egonya.

Idul Fitri - Gambar oleh Gordon Johnson dari Pixabay
Gambar oleh Gordon Johnson dari Pixabay

Idul Fitri – Syawal adalah ending dari proses pengekangan dan pemenjaraan diri dari segala syahwat yang mendorong manusia melakukan kejahatan. Kejahatan yang tidak saja membahayakan orang lain tetapi juga dapat merusak peradaban dan masa depan manusia.

Tidak salah jika Tuhan mengingatkan “kerusakan di daratan dan di lautan semuanya merupakan akibat ulah perbuatan manusia”. Ulah dan perbuatan manusia yang perutnya tidak pernah kosong dan merasakan kesusahan hidup manusia lainnya sebagai sumber kejahatan. Desakan mengumpul kekayaan yang begitu dahsyat mengakibatkan rasa empati dan kepeduliannya menjadi hilang.

Hari Fitri yang jatuh pada tanggal 1 Syawal, merupakan ujung perjalanan dari pengalaman kesusahan, derita dan tangisan kemiskinan yang dilakonkan manusia selama lebih kurang 30 hari, mulai dari waktu imsak sampai dengan waktu berbuka sore hari. Bagi orang-orang yang berpuasa selama Ramadhan, tekanan dan desakan untuk menahan ego dan dirinya dari segala potensi kejahatan yang dapat menghilangkan “huququl insyaniyah” merupakan pekerjaan berat dan luar biasa.

Problem peradaban manusia dewasa ini adalah kehilangan identitas diri. Manusia tidak lagi dihargai atas kemanusiannya, melainkan identitas manusia dilekatkan dengan ornamen-ornamen kapitalistik yang diukur dengan materi dan aset yang dimiliki. Sains yang mengibiri manusia dari jiwanya sendiri lebih menarik dan lebih mengedepan sehingga gagasan “hero” menjadi sesuatu yang aneh dan tidak menarik. Manusia menjadi korban dirinya sendiri. Manusia dipenjara oleh logika dan nafsu kemerdekaanya.

Baca juga: Mengejar Fitrah di Ujung Ramadhan

Dalam salah satu tulisannya Erich Fromm mengatakan, sebuah penyakit mental yang ditandai oleh perasaan keterasingan dari segala sesuatu: sesama manusia, alam, Tuhan, dan jati dirinya sendiri. Hal ini terkait dengan gejala reinifikasi (pembendaan, objektivikasi) bahwa manusia modern menghayati dirinya sendiri sebagai benda, objek; yang pada gilirannya, dunia pun hanya dianggap sebagai kumpulan fakta-fakta kosong (tanpa makna dan nilai)

Menurut Maulana Rumi, dalam sepanjang bulan ramadhan “aku” yang palsu berada di bawah naungan dominasi kesejatian “aku” manusia. Puasa kembali melahirkan dirinya dari aku yang palsu menuju aku yang sejati.

Lebih lanjut dikatakan Maulana Rumi, Idul Fitri adalah hari raya para pecinta kepasrahan sekaligus sebagai hari kesempurnaan dan pertemuan. Sempurna sebagai manusia dan bertemu dengan hakekat kemanusiaan kita sendiri.

Sementara itu, Nurcholis Madjid dalam ‘Pesan-Pesan Takwa Kumpulan Khutbah Jum’at’ di Paramadina memaknai Idul Fitri sebagai hasil dari momen purgatorio atau pertaubatan yang dilaksanakan selama bulan Ramadhan dan Idul Fitri sebagai momen yang lebih tinggi, yakni memasuki paradiso atau surga, dengan syarat tetap menjaga kesucian diri (tazkiyah al-Nafs).

Bagi orang-orang beriman, idul fitri merupakan hari kemerdekaan jiwa. Ketika jiwanya telah suci, maka jiwa tersebut terlepas dari perbudakan dan intimidasi egonya. Jiwanya dikembalikan kepada pengawasan dan binaan Allah. Kemerdekaan dirinya menjadi awal bagi manusia dalam menghadapi kehidupan dan segala problem, baik pribadi maupun sosial.

Kehidupan orang-orang merdeka penuh kebebasan dengan kebenaran. Kebebasannya berada di dalam aura hakekat ke-Tuhan-an. Apapun yang dilakukan merupakan pancaran dari qalbun salim, di mana qalbun salim tersebut selalu memancarkan nilai-nilai positif terhadap manusia.

Dalam qalbun salim itu, menurut Syekh Abdul al-Jailani dalam Tafsir al-Jailani “kebahagiaan hidup manusia tergantung pada kesehatan dan kesucian hatinya, hati atau Qalb memiliki arti berbolak balik yakni tidak konsisten. Maka dari itu, setiap orang harus pandai dalam mengarahkan hatinya pada sesuatu yang baik, dan sesuatu yang baik itu akan menciptakan kemerdekaan jiwa bagi orang-orang yang beriman.

| Irwan, SHI., MH.Peneliti PORTAL BANGSA Institute
| Gambar oleh Gordon Johnson dari Pixabay 

Advertisement
Next Post

Ideologi antara Masa Depan Suram dan Homosex

Ada kegagalan institusional bagi negara membina karakter “ideologi” pekerja negara di berbagai institusi.
Ideologi Pegawai KPK - bakaba.co