Kebebasan berekspresi di negeri ini seringkali melewati batas etika. Asas kepatutan dilanyau hanya karena godaan berlomba-lomba untuk viral. Ini diduga karena kepentingan untuk viral punya hubungkait dengan dampak ekonomi dan politik. Pada kepentingan ekonomi dan politik, keuntungan dari video yang viral didapatkan setelah meraih popularitas. Populisme merupakan kekuatan modal yang dapat diandalkan dalam mencapai tujuan.
Kasus yang menimpa Jerinx, Anji, walikota Mahyeldi vs pedagang, Bupati Agam Indra Catri, berhubungkait dengan populisme. Sungguhpun konteks peristiwa sangat berbeda, namun selalu ada yang menyaru mengambil kepentingan dari kehebohan. Memanfaatkan sistem viral dan lebih dari itu akan mengambil keuntungan dari peristiwa tersebut.
Sebuah video viral akan membangun pro-kontra berkepanjangan. Banyak habis energi untuk membela dan menyerang. Semua itu menciptakan kekeruhan informasi yang akut dan sangat berdampak pada suasana batin publik. Diseret ke ranah hukum, politik hingga ekonomi. Hampir tak ada yang mampu untuk menghentikan ini, termasuk pemerintah sendiri.
Baca juga: Mudharat Medium Informasi
Pada seminar online nasional yang digelar CSRC UIN Syarif Hidayatullah, Rabu (12/8) bertajuk ‘Strategi Menghadapi Hoaks dan Ujaran Kebencian di Era Revolusi Industri 4.0’, Menkominfo Johnny G. Plate, S.E., menyatakan persoalan hoaks, misinformasi, malinformasi dan disinformasi, tak mungkin dibasmi sepihak oleh pemerintah. Pemerintah fokus untuk membangun jaringan ke seluruh pelosok. Masih terdapat 9.113 desa yang belum terjangkau 4G, khususnya di daerah 3T (terdepan, tertinggal, terluar). Bukan hanya itu, masih terdapat 3.435 desa di daerah non 3T yang belum terjangkau 4G.
Impian pemerintah memang patut didorong namun persoalan di daerah administratif yang telah terjangkau internet sebanyak 70.6218 desa/kelurahan sudah menimbulkan masalah tersendiri. Berkembang biak hoaks, misinformasi, malinformasi dan disinformasi hampir tak bisa dibendung. Membentengi dengan UU ITE senyatanya belum mangkus. Euforia kebebasan telah membuat semua persoalan seperti telanjang di ruang publik. UU ITE hanya mampu menjerat pelaku bila memenuhi unsur pidana. Tidak unsur etika. Pada etika inilah batas-batas itu sangat semu.
Berjubah sistem demokrasi yang bebas, negeri ini memberi ruang lapang bagi yang punya modal untuk berkuasa. Segala etika dan kepatutan moral bisa dilogikakan dengan senang hati tanpa memerkirakan betapa bebal dilihat dari sudut kejujuran dan kebenaran. Itulah yang terjadi di ruang maya kita yang salah satunya pesta video viral.
Kebebasan dengan beralasan sistem demokrasi berlangsung di tengah masyarakat yang “lapar” atas segala hal, setelah sekian lama terkungkung rezim tirani telah melahirkan elit baru, raja-raja kecil di daerah, oligarki partai, pengkhianatan terselubung bukannya memerkuatkan berbangsa dan bernegara tetapi hendak meruntuhkan sendi-sendi berbangsa dan bernegara.
Baca juga: Kejahatan Berkembang Serentak dengan Teknologi Informasi
“Kebebasan bertanggungjawab itu senyatanya tidak ada. Ada kebebasan orang lain yang harus juga dihormati. Mari kita mulai dari diri sendiri, kita tularkan kepada orang-orang terdekat, agar hoaks, malinformasi, disinformasi, misinformasi, bisa ditekan,” ajak Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Hj, Amany Lubis, Lc, MA.
Menyimak satu persatu peristiwa Jerinx, Anji, viral video walikota Padang vs pedagang, hingga kasus membuat tersangka Bupati Agam Indra Catri, kita dihantarkan pada kesadaran; ruang internet kita tidaklah produktif dan sehat. Hanya baru sebatas kontes moral yang kadang-kadang membuat kita merasakan begitu lemah batas-batas etika untuk menjaga diri.
Ke depan ini akan masih akan terjadi. Memasuki pesta demokrasi pilkada serentak yang kini sudah dimulai, peristiwa viral berkaitan dengan kepentingan politik akan terjadi lagi. Publik akan disuguhkan atraksi dengan daya kreasi kepentingan politik kekuasaan. Kontestasi politik kekuasaan sering kali menggiring ketegangan sosial daripada menyuguhkan kebahagiaan bersama menatap masa depan. Ia lebih mengedepankan pesta kepentingan kelompok, kemenangan di kelompok lain, kekalahan di sisi lainnya. Benih konflik terus tertanam dan sesekali memercik api. Inilah negeri dengan kontestasi politik paling kerap di sepanjang tahun dan membuahi keruntuhan moral, jika tidak ada peringatan sedini mungkin dari tokoh agama, cendekiawan, pemerintah serta kesadaran elit politik.[]
~ Dr. Abdullah Khusairi, MA. Dosen Pengkajian Islam dan Komunikasi Massa di Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang
~ Gambar oleh mohamed Hassan dari Pixabay