Seorang bapak paruh baya punya gadget baru. Punya akun media sosial. Lalu jepret sana, jepret sini, posting di linimasa. Saban waktu, saban hari terus begitu. Tak dinyana ia telah menjadi reporter paling rajin dari media sosial yang digunakannya.
Foto lagi kongkow ngopi dengan para karib kerabat, makan bersama, pemandangan, sholat ied, kegiatan sosial kemasyarakatan, semua di-upload tanpa banyak sensor. Sedikit caption tentang kegiatan di dalam foto sebagai petunjuk bagi penikmat foto-foto tersebut. Sesekali siaran langsung (live).
Mudah bagi siapapun untuk melacak di mana dan sedang apa bapak tua itu, lihat saja akun media sosialnya. Eksis! Setiap komentar dari sejawat akan dibalas dengan lengkap, serius, tidak serius, juga disukai. Berteman dengan bapak ini, kita akan mendapatkan informasi tentang perjalanan dirinya tanpa halangan apapun.
Baca juga: Bijak Menggunakan Media Sosial
Begitulah satu contoh gejala kaum tua punya gadget baru. Gemar selfie, welfie, serta menjadi wartawan foto akun media sosial anyarnya. Seperti tak ada sedikit pun ia punya pikiran, apa yang dilakukannya mungkin berdampak buruk di kemudian hari. Orang begini, jika rusak atau mungkin hilang gadgetnya akan sangat emosional. Sebab ia tak sempat atau mungkin juga tak tahu bagaimana menyelamatkan foto-foto yang sudah bejibun, termasuk password untuk masuk ke akun media sosialnya.
Kegiatan bapak yang baru punya gadget ini akan terus berlanjut hingga memori penyimpanan penuh, smartphone di tangannya rusak, mungkin juga hilang. Semua ada masanya. Smartphone punya daya tahan yang terbatas. Ini jarang disadari orang.
Mari beralih ke generasi belia, mulai meninggalkan media sosial yang sudah terlalu ramai dipakai. Mencari yang lebih sunyi. Tak mau berteman dengan orang tua, tak mau dipantau, tak pula memakai nama sebenarnya. Seperti tak ada dia di media sosial, padahal punya. Mereka memilih platform yang bisa digunakan seusia. Tidak memilih yang terlalu ramai.
Baca juga: Ironi Era Media Baru di Tangan Milenial
Gejala ini menunjukkan beda generasi beda jalan untuk eksis. Panggung sudah banyak, penonton berbeda pula. Segmentasi telah terjadi lebih awal. Ada media sosial yang digemari orang tua, ada anak muda, ada emak-emak, dst. Ada juga sedikit orang muda memilih untuk tidak punya media sosial sama sekali. Mengganggu privasi, katanya.
Ada media sosial yang jadi alat politik untuk trending topik, ada untuk bisnis, ada hanya untuk foto-foto, ada juga jadi tempat menulis catatan, dst. Tergantung minat masing-masing.
Gejala menjadi reporter media sosial ini bisa dialami oleh siapa saja. Bisa berlanjut lama bisa juga berhenti pada waktunya. Ada yang berkembang dengan membuat akun di platform lain. Mulai menulis komentar foto agak panjang, walau dengan kalimat lisan yang dituliskan, sehingga sedikit sulit dipahami subjek prediketnya. Wabah menjadi relawan (volunteer) media sosial ini belum pernah berhenti sepanjang ada kesadaran dini bagi siapapun yang tahu dampak positif dan negatifnya. Dampak positifnya hanyalah menyalurkan hobi, aktualisasi dan eksistensi, mungkin bisa jadi meningkat menjadi akun bisnis. Dampak negatifnya, mudah diintai orang-orang iseng dan berniat jahat. Orang tahu, bila waktu rumahnya kosong, tahu waktu sedang dimana berada.
Saya sering mengingatkan saudara, kolega, tentang hal-hal menyangkut media sosial. Pernah juga menegur sejawat, agar menghapus fotonya sedang bersama tumpukan uang, komentar pedas dan menyindir personal yang sepertinya memang sedang berkonflik. Singkat kata, “media sosial telah menunjukkan watak dan kemampuan seseorang kepada publik bagaimana ia berpikir tentang suatu hal.” (Abdullah Khusairi, Teologi Informasi: 2020).
Baca juga: Memahami Watak Media Sosial
Seiring waktu, setiap orang akan jenuh sendiri dengan sesuatu yang baru. Mungkin saja setiap orang berbeda waktu jenuh tiba, ada cepat ada yang lambat. Tetapi kegilaan pertama orang memakai gadget, umum terjadi biasa menjadi volunteer dan reporter media sosial. Lupa menggunakan setting hanya dinikmati pada area terbatas.
Hidup kita kian telanjang, sulit mengelak dan bersembunyi karena terlanjur lena dengan barang baru tanpa banyak belajar tentangnya. Hanya belajar cara menggunakan, bukan belajar tentang daya guna yang tepat dan cermat. Pada satu sisi memang ada kebaikan, hanya saja begitu abai dengan keburukan yang mengintai. Bagaimana baiknya setelah ini? Hentikan kegilaan jadi volunteer yang mubazir, tak perlu berlebihan,
Sekadar saja
Selfie, welfie, bisa dan boleh saja, tetapi tak perlulah setiap hari apalagi setiap saat. Diperbudak media sosial untuk terus eksis tentu saja punya pengaruh terhadap kesehatan mental. Pikirkan sebelum upload. Sebentar lagi ada idul adha, jangan upload foto darah hewan kurban, tidak elok. Dulu pernah lebih sadis, kepala orang tergeletak di tengah rel di-upload, korban laka yang remuk dihantam truk di-upload, semoga tak ada lagi dilakukan.
Hematlah paket data, gunakan untuk yang bermanfaat saja. Bukan tidak boleh, tapi jangan berlebihan. Media sosial adalah ajang silaturrahmi, tiada lebih dari itu. Sungguh tak perlu umbar ini-itu sehingga membuat kehidupan personal menjadi telanjang. Tak ada rahasia lagi di media sosial, sedangkan marabahaya selalu mengintai. Salam. []
~ Dr. Abdullah Khusairi, MA. Dosen Pengkajian Islam dan Komunikasi Massa di Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang
~ Image by Sanna Jågas from Pixabay