KITA dihadapkan dengan kenyataan, begitu kaya dengan kata-kata dan begitu miskin dengan data. Kita begitu heboh agar bantuan segera turun, tetapi pemerintah tak punya data yang valid. Rapat sudah berulangkali tetapi laporan tentang mereka yang terdampak Covid-19 belum juga ada. Perlu divalidasi. Sementara waktu terus berjalan, ruang gerak sudah dibatasi.
Kita memang hidup di tengah budaya yang pernah mengagungkan kata-kata, sebagai senjata dalam setiap diplomasi politik zaman. Sastra adalah pakaian kita sehari-hari. Berpantun-pantun sudah kebiasaan. Itu baik pada skala tertentu, tetapi kini itu tak kita butuhkan. Kita butuh data!
Adalah Jane Drakard menuliskan disertasi yang bagus tentang Ranah Minang, berjudul; A Kingdom of Words: Language and Power in Sumatra, di The Australian National University (ANU), Canberra (1993). Sebuah kerajaan kata-kata!
Kata-kata adalah senjata yang menjadi alat adu argumen. Kata-kata menjadi kuasa, orang akan tunduk pada logika yang dibangun dengan kata-kata. Begitulah kita dengan kata-kata. Sudah menjadi bagian dari sejarah yang tak terpisahkan.
Sayangnya, peradaban tidak hanya butuh kata-kata. Jika hendak berkuasa, kata-kata sudah harus dibarengi dengan data-fakta. Kita dihadapkan pada kondisi demikian. Senyatanya, kita agak abai dengan data-fakta dengan segala validitasnya. Hampir saja setiap data-fakta dicurigai hasil dari ketidakjujuran. Oleh karenanya, setiap data-fakta itu harus diverifikasi, divalidasi, sehingga menghentikan jalan keputusan. Keputusan dan kebijakan terhenti karena data-fakta belum juga memenuhi syarat dan rukunnya.
Era teknologi informasi ini berbasis data, dikerjakan oleh algoritma. Kecanggihannya bisa membuat seorang individu laksana bertelanjang di tengah publik. Baru saja turun dari pesawat, kita disuguhkan informasi travel menuju ke mana, ditawarkan makanan enak, promosi hotel segera tiba. Sungguhpun kita turun dari pesawat hendak pulang ke rumah. Algoritma itu tak peduli, ia bekerja sendiri lalu dihidangkan ke android kita. Begitulah data diolah oleh mesin.
Baca juga: Cara Baik Melawan Gempuran Informasi
Kini kita menjerit ke langit, agar bantuan segera datang. Pemerintah bergeming pada posisi belum mau menyalurkan bantuan. Sungguhpun yang menjerit itu bukan yang menerima bantuan, mereka yang memang sudah berada di jalur hobi, tugas, harus, untuk menjalankan mengritik. Entah sampai kapan kondisi ini berlangsung, yang jelas belum dalam waktu dekat, penyaluran bantuan yang tidak seberapa itu ke tengah masyarakat yang kurang mampu terdampak Covid-19.
Kita kaya kata tetapi dengan emosional hampir kehilangan kata-kata. Sehingga yang muncul ke permukaan adalah kata-kata yang bernada amarah, benci, kecewa, makian, cacian, di tengah suasana yang harusnya kita menahan diri untuk itu.
Ibadah puasa adalah menahan hawa nafsu. Bulan suci ramadhan tempat menempa, berperang dalam diri, agar hawa nafsu yang buruk bisa diredam. Menahan lapar dan haus, amarah, benci, kecewa, dst. Kita diajak untuk suci, tobat, sabar, ikhlas, tawaddu’, wara’, hingga ke level sufistik yang paling tinggi seperti yang diterangkan al-Gazali, Ma’rifat dan Rabi’ah al-Adawiyyah, Mahabbah. Sungguh sulit mencapai hal-hal itu, perlu perjuangan dan pengorbanan yang tak cukup sekadar puasa semata. Harus dibarengi dengan kesadaran menjaga kewaspadaan perang batin yang luar biasa hebat.
Pemimpin kita bukanlah pemimpin yang zalim, bengis dan sadis. Mereka sedang dalam dilema yang tingkat perjuangan dan pengorbanan yang harus dilalui lebih tinggi dari kita sebagai warga. Kita bisa melihat mereka dari jauh, dari bawah, tanpa disadari telah begitu zalim, bengis dan sadis. Tidak sigap, tidak awas, tidak segala tidak.
Bila kita melihat dari dekat, mereka telah siang malam bekerja tetapi tak juga selesai. Berat beban kita, lebih berat beban mereka. Teruslah mengritik jangan lupa berilah saran. Jika itu baik, tentunya akan terdengar oleh mereka.
Ada baiknya, ubahlah marah dengan kegiatan, berbuat, sekecil apapun itu, menolong keadaan. Tidakpun dalam skala besar, di tengah keluarga, lingkungan, di mana kita tinggal. Hidup sekali harus segera berarti, alangkah meruginya jika sekadar meluahkan segala rasa tanpa mengingat, segala kata kotor akan kembali ke diri. Hidup adalah cermin, apa yang dilakukan itulah yang didapatkan. “Siapa menabur angin ia akan menuai badai,” begitu petuah sudah berulang-ulang sehingga mengalami erosi makna di tengah kehidupan kita.
Data membutuhkan kejujuran dan keikhlasan, ini sangat berhubungan dengan sikap mental spiritual aparatur. Melebih-lebihkan, demi proyek, mengurang-ngurangkan demi mendapatkan keuntungan, harus dienyahkan. Itu merugikan diri sendiri, bukan orang lain dan menzalimi rakyat. Doa orang yang dizalimi dijamin makbul. Bila bermain data karena politik praktis, itu jelas kejahatan kemanusiaan. Tentu itu bukan politisi sejati.
“Data warga miskin akurat jika kades/lurah dan perangkatnya mendata dengan benar. Tidak nepotisme atau tim sukses,” ujar tokoh daerah Tembilahan, Kartika Roni.
Data yang berbeda, harus dicari titik temu bukan digesek-gosokkan hingga menimbul api konflik. Kita dalam suasana darurat, semua harus menahan diri. Mari akui, selama ini telah bekerja dengan serampangan, abai, asal jadi, sehingga kondisi ini adalah panen raya darinya. Atas pengakuan itulah kita akhirnya bisa selamat dari pertikaian, menang dalam menghadapi wabah, serta mendapat pahala dalam bekerja untuk masyarakat. Semoga. []
~ Penulis, Dosen Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang.
~ Gambar oleh Alexas_Fotos dari Pixabay