Nilai Berita Pembantu Presiden

redaksi bakaba

Ya, siapa wartawan yang mau melacak nama pembantu yang menyiapkan baju presiden di pagi hari itu?

Presiden diwawancara wartawan - courtesy of setneg.go.id
Presiden diwawancara wartawan – courtesy of setneg.go.id
Dr. Abdullah Khusairi, MA
Dr. Abdullah Khusairi, MA.

Kenapa beritanya berkutat seputar ada atau tidaknya Putra Minang jadi menteri?” Pertanyaan ini muncul dari seorang dosen muda, Aidil Aulia dalam suasana ngopi pagi suatu hari. Pertanyaan itu akhirnya melebar tentang bagaimana media massa hari ini di tengah riuh media sosial.

Atas pertanyaan Aidil, saya harus memaparkan, secara santai tentunya, tentang korporasi media massa di Indonesia yang dimiliki hanya beberapa orang saja. Itulah oligopoli industri media massa di negeri Via Vallen ini. Begitu tampak patronase politik dan ekonomi berkelindan di media massa. Media massa menjadi alat politik kekuasaan dan ekonomi.

Sebenarnya, hal itu lumrah saja. Toh, kepercayaan publik terhadap media massa masih memiliki harapan walau media sosial kini sudah menjadi tumpuan baru sebagai wadah suara liyan di tengah suara media mainstream. Trending topik bisa berada di depan dibandingkan rating.

Lalu pertanyaan di atas memang dikhususkan terhadap fenomena lokal. Selalu seperti itu ketika ada penyusunan kabinet. Maklum, putra terbaik Minang selalu ada dalam kabinet. Pada Kabinet Indonesia Maju (KIM) kali ini memang ada namun tidak terlalu kentara. Bahkan cenderung dikait-kaitkan berdarah Minang.

Dulu, setiap periode selalu ada bahkan gubernur Sumbar berturut-turut selalu dipercayakan jadi menteri. Azwar Anas, Hasan Basri Durin, Gamawan Fauzi. Kini, dengan dinamika politik yang ada, itu tidak terjadi lagi. Suara pasangan Joko Widodo – Ma’ruf Amin di Sumbar memang paling kecil di banding provinsi lain.

Soal media massa memberitakan tentang putra Minang atau tidak, ada atau tidak, merupakan aspirasi publik yang disalurkan oleh para jurnalis dan media lokal. Ini merujuk teori nilai berita (news value), proximity, kedekatan. Berita diproduksi berdasarkan nilai ini, karena kedekatan antara publik tempat media itu hidup, harus dipenuhi. Kedekatan emosional, ras, suku, itu perlu secara alamiah, orang akan butuh. Bayangkan kalau tidak ada berita tentang itu?

Dulu, saya Koordinator Liputan (Koorlip) mendapat titah dari pemimpin redaksi agar berita tentang Semen Padang harus ada setiap hari demi pasar. Supporter Semen Padang FC adalah pasar bagi media lokal. Mereka ingin tahu apa yang sedang terjadi di Semen Padang FC. Begitulah kiranya teori berita berkaitan dengan ada tidaknya menteri dari dan berdarah Minang.

“Kesannya sangat berharap dan jika tidak ada, sepertinya ada kekalahan,” tanggap teman yang lain.

Benar. Bagi kalangan tertentu, berita dengan tone mencari-cari seakan-akan seorang menteri baru itu adalah orang Minang, tidak begitu penting. Tetapi bagi sebagian yang lain, sangat penting. Sesuai dengan tingkat kebutuhan terhadap berita.

Saya justru tertarik membahas, masuknya tokoh muda dari media televisi, Wishnutama Kusubandio (NET.TV) dan Angela Herliani Tanoesoedibjo (MNC Group).

Masuknya dua orang media televisi ini, terlepas dari faktor lain-lain, merupakan sejarah berulang semata. Dulu dari kalangan wartawan, Adam Malik jadi Wapres Soeharto, ada Harmoko jadi kader Soeharto jadi Menteri Penerangan. Menjadi jurnalis, memang membuka jalan bagi seseorang untuk mengembangkan diri lebih luas dan jauh. Karena itu, banyak jurnalis bisa masuk ke lini lain, ke legislatif, ke eksekutif dan yudikatif.

Saya sendiri, sempat dibilang tidak bersetia dengan profesi karena beralih setelah 10 tahun berkecimpung di dunia jurnalis. Memilih jadi akademisi, setelah menjadi praktisi. Padahal, saya masih merasa bersetia, hanya saja pindah tempat dan lebih menantang, menjadi guru dan melahirkan para jurnalis. Ini juga karena ada kesempatan untuk itu. Jalan serupa ini tidak baru karena sudah ada pendahulunya, seperti penguji ujian doktor dan promotor saya, Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, CBE, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat dulunya adalah jurnalis. Masih banyak contoh lain.

Nah, kebutuhan terhadap nilai berita bagi setiap orang tidak sama. Walaupun dengan tema yang sama, tentang menteri, namun bisa dari berbagai sisi nilai berita ditelusuri. Seperti saya, yang cenderung ingin membahas Wisnu dan Angela sebagai orang media yang masuk tim kerja periode kedua, Presiden Jokowi. Bagi media lokal, menjadi keharusan menjawab keingintahuan masyarakat lokal, adakah bagian dari mereka yang jadi menteri. Hanya saja, mungkin catatannya adalah; tak perlu diproduksi dengan cara yang terlalu lebay.

Terakhir, jangankan menteri sebagai pembantu presiden, pembantu presiden yang menyiapkan baju presiden setiap hari juga memiliki nilai berita; prominent! Orang terkemuka seperti seorang presiden, selalu memiliki nilai berita yang bisa diberitakan. Termasuk si pembantu yang menyeterika bajunya.

Begitulah teori nilai berita bekerja di dalam diri wartawan sebagai sense of journalism. Ya, siapa wartawan yang mau melacak nama pembantu yang menyiapkan baju presiden di pagi hari itu?

*Doktor Komunikasi dan Pemikiran Islam, dosen di Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang
**Foto fitur courtesy of setneg.go.id

Next Post

Paspor rasa Ijazah

Di India atau Filipina, semua warga negara berhak dapat Paspor, tanpa ditanya macam-macam jika ijazahnya di atas SMA. Sangat mudah. Paspor itu 'kan sama dengan KTP, hanya saja beda kegunaan. Mestinya, saat ini kepemilikan paspor itu bukan sesuatu yang istimewa.
Gambar oleh mohamed Hassan dari Pixabay

bakaba terkait