Nasib Pemda Terkait Omnibus Law

redaksi bakaba

Pembentukan hukum yang tidak responsif dan partisipatif, dapat memicu konflik sosial di daerah dan sengketa kewenangan pusat dan daerah.

Image by Gerd Altmann from Pixabay
Image by Gerd Altmann from Pixabay

~ Dr. Wahyu Nugroho, SH., MH.

Pembahasan regulasi induk yang dibungkus dalam sebuah omnibus law di bidang perpajakan dan cipta lapangan kerja memiliki dampak yang signifikan terhadap keberadaan pemerintah daerah dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya yang diatur dalam UU Pemerintahan Daerah.

Sejauh ini, sejumlah bidang usaha sektoral, khususnya di bidang sumber daya alam masih menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi sebagai wakil dari pemerintah pusat dan sebagian kecil kewenangan pemerintah kabupaten/kota misalnya dalam hal urusan lingkungan hidup, pertanahan, masyarakat desa, dan pajak daerah.

Sebuah pekerjaan besar yang dibahas oleh pemerintah pusat berkaitan dengan omnibus law untuk harmonisasi dan sinkronisasi dengan undang-undang sektoral di bidang sumber daya alam termasuk peraturan daerah berkaitan dengan investasi yang berkaitan dengan sumber daya alam.

Di sisi lain, saat ini DPR masih menyelesaikan sejumlah rancangan undang-undang perubahan dan usulan baru yang juga bertalian erat dengan omnibus law bidang perpajakan dan cipta lapangan kerja, di antaranya yang paling krusial adalah RUU Pertanahan, RUU Masyarakat Hukum Adat dalam konteks penggunaan tanah adat untuk kegiatan usaha, dan RUU Pertambangan Mineral dan Batubara.

Pembahasan sejumlah rancangan undang-undang tersebut juga memiliki kesinambungan dengan pembahasan omnibus law bidang perpajakan dan cipta lapangan kerja dan UMKM.

Libatkan Pemda

Pemerintah pusat semestinya juga melibatkan pemerintah daerah provinsi dalam proses pembahasan omnibus law bidang perpajakan dan cipta lapangan kerja. Ada beberapa alasan pelibatan tersebut: pertama, dalam UU Pemerintah Daerah dikatakan provinsi sebagai wakil pemerintah pusat; kedua, pelaksanaan operasional ada di daerah, sehingga pasti berimplikasi pada kewenangan pemerintah daerah; ketiga, potensi konflik atau sengketa kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah sangat besar jika diputuskan kebijakan omnibus law secara sepihak; keempat, dampak lingkungan berupa pencemaran atau kerusakan lingkungan sedemikian besar, khususnya masyarakat sekitar yang bertalian erat dengan sumber daya alam di bidang kehutanan, perkebunan, pertambangan dan pesisir; dan kelima, pemerintah kabupaten sebenarnya pemilik masyarakat daerah yang juga mendapatkan keuntungan dari kegiatan investasi, bukan justru dirugikan melalui berbagai alih fungsi lahan, perubahan bentang alam lahan warga, kriminalisasi pencemaran sungai dan kerusakan lingkungan dari operasionalisasi kegiatan usaha.

Masalah Lingkungan

Berbagai bentuk atau jenis investasi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari persoalan pertanahan dan lingkungan hidup yang harus mendapatkan persetujuan dari masyarakat sekitar, termasuk tata ruang yang diatur lebih spesifik melalui perda rencana tata ruang kota dan wilayah provinsi hingga kabupaten dan rencana detail tata ruang.

Pemerintah daerah akan bernasib macan ompong secara kewenangan yang diberikan berdasarkan UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah apabila tidak dilibatkan proses pembahasan hingga pelaksanaannya di lapangan berkaitan dengan berbagai jenis investasi. Dalam jangka Panjang, akan melahirkan konflik atau sengketa kewenangan antar lembaga, yakni pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Penetapan sebuah kawasan sebagai objek vital nasional yang secara sepihak ditetapkan oleh pemerintah pusat (kementerian sektoral), tanpa persetujuan atau pembahasan bersama dengan pemerintah daerah, akan berujung pada sengketa antar lembaga.

Dalam konteks pembinaan dan pengawasan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah, kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang dijalankan oleh pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota saat ini semestinya menjadi bagian dari evaluasi untuk dijadikan sebagai pertimbangan dan bahan dalam proses penyusunan omnibus law bidang perpajakan dan bidang cipta lapangan kerja dan UMKM.

Sejumlah instrumen perizinan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten/kota apakah berdampak signifikan terhadap peningkatan perekonomian masyarakat lokal dan ketaatan terhadap instrumen lingkungan. Dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Pemerintahan Daerah menyatakan “pemerintah pusat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh daerah”.

Pembinaan dan pengawasan tersebut bersifat vertikal, di mana pusat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pemerintah daerah provinsi. Sedangkan pemerintah daerah provinsi sebagai wakil pemerintah pusat melakukan pembinaan dan pengawasan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota.

Pemerintah pusat dalam proses penyusunan omnibus law bidang perpajakan dan cipta lapangan kerja harusnya memastikan bahwa kewenangan pemerintah daerah atas kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan dan pengawasan di sektor usaha yang bertalian erat dengan sumber daya alam dan lingkungan hidup telah mencapai keberhasilan dengan beberapa indikator capaian.

Namun sebaliknya, apabila tidak mampu menguraikan hal-hal tersebut, maka akan terjadi kegagalan negara melalui pemerintah pusat dalam melakukan pembinaan dan pengawasan sebagaimana atribusi dalam UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Konflik di Daerah

Kita tahu, sejumlah konflik di sektor sumber daya alam sebagian besar ada di daerah dan hal tersebut masuk ke dalam jenis konflik sosial berdasarkan ketentuan UU No. 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Konflik agraria, lingkungan hidup, dan penyelesaian hak-hak atas tanah karena digunakan untuk kegiatan usaha kehutanan, pertambangan dan perkebunan hingga sekarang sulit terselesaikan karena lemahnya atau bias dikatakan gagalnya negara dalam melakukan pembinaan dan pengawasan.

Sejumlah sektor strategis di bidang kehutanan dan pertambangan mineral dan batubara yang kewenangannya selain pemerintah pusat, juga diberikan kepada pemerintah daerah provinsi perlu dilakukan pengukuran capaian antara lain: pertama, peningkatan pertumbuhan perekonomian masyarakat daerah khususnya di wilayah sumber daya alam; kedua, ketaatan pelaku usaha terhadap sejumlah instrumen perizinan, termasuk perizinan lingkungan; ketiga, pelaksanaan tanggungjawab sosial perusahaan di bidang sosial dan lingkungan dapat dipastikan terimplementasi dengan indikator daya dukung dan daya tampung lingkungan; dan keempat, penyelesaian konflik agraria dapat ditangani secara kolektif sebagai tanggungjawab negara baik pusat maupun daerah karena kaitannya dengan hak-hak atas tanah dalam konteks pengelolaan sumber daya agraria.

Kebijakan pemerintah pusat dalam menyusun omnibus law di bidang perpajakan maupun cipta lapangan kerja dan UMKM diharapkan mampu juga menjawab tantangan permasalahan otonomi daerah khususnya di sektor-sektor kehutanan, pertambangan, pangan, lingkungan hidup, dan pemberdayaan masyarakat dan desa. Pembentukan hukum yang tidak responsif dan partisipatif, dapat memicu konflik sosial di daerah dan sengketa kewenangan pusat dan daerah. Kepatuhan pelaku usaha terhadap sejumlah instrumen perizinan, pengawasan dalam kegiatan usaha di sektor sumber daya alam dan ketegasan dalam pemberian sanksi-sanksi administrasi hingga pidana akan menjadi barometer dalam politik hukum (legal policy) pembentukan maupun pelaksanaannya di daerah.**

*Penulis, Dosen Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta
**Image by Gerd Altmann from Pixabay

Next Post

[2] Minangkabau: Bangsa 'Aad Ats Tsani, Bangsa yang Awal

Mereka berlabuh di Katiagan, memasuki sungai yang mengalir ke barat, sungai Masang dan sampai di suatu dataran tinggi lembah tiga gunung: Tri Arga. Mereka menetap. Mereka itulah nenek moyang pertama orang Minangkabau.
Image by stokpic from Pixabay