~Irwan Rajo Basa
Munculnya ide liberalisme kebudayaan dan ide kapitalisme ekonomi paska hancur leburnya sosialisme-marxisme dan fasisme, banyak kebudayaan kemudian mengalami keguncangan. Nilai-nilai selama ini yang dipercaya sebagai sumber kehidupan masyarakat, tergerus menuju pinggiran untuk kemudian masuk ke dalam jurang kelam masa lalu peradaban.
Salah satu tatanan kebudayaan masyarakat, yaitu Minangkabau, satu tipe kebudayaan besar di Indonesia, mengalami nasib yang sama, yaitu mulai kehilangan identitasnya di hadapan budaya baru yang asing yang dengan penuh semangat dipraktikkan masyarakatnya.
Monoloyalitas yang selama ini dipraktikkan masyarakat Minangkabau, tanpa kemampuan menghadirkan gagasan baru –oleh karena sifatnya yang stagnan– menciptakan inovasi-inovasi kreatif dan aktual. Menjadikan Minangkabau sebagai “batu karang” yang setiap hari dihempas oleh gelombang ombak peradaban.
Kebudayaan dan sejarah masyarakat dunia, cenderung mengalami apa yang dikategori sebagai loncatan-loncatan kreatif mewujudkan masa depan dan dunia baru bagi masyarakatnya. Loncatan itu memberi alternatif pilihan kepada masyarakat secara cerdas dan rasional terkait dengan realitas positif yang ada.
Berbeda dengan kebudayaan Minangkabau, kecenderungan established yang tinggi, dengan mengabaikan persentuhan logisnya dengan kebudayaan masa kini yang dibawa oleh individu-individu masyarakatnya, Minangkabau menjadi mati dan tidak mampu menangkap realitas positifnya.
- Baca juga: Identitas Kultural Orang Minangkabau
Dunia mengalami berbagai benturan fisik dan kematian. Pembunuhan umat manusia yang dimulai dari perang Romawi sampai terus berlanjut pada perang Dunia I dan II. Masing-masing negara, baik secara sendiri-sendiri maupun melalui pembangunan koloni, berupaya menjadi negara besar dan adidaya. Kondisi ini terus berlanjut dengan bentuk perang ekonomi melalui koloni masyarakat ekonomi.
Perang yang tidak kalah pentingnya, adalah perang intelektual dengan dukungan penuh para filosof melahirkan gagasan-gagasan baru.
Penemuan-penemuan ilmiah berhasil mengubah paradigma kebudayaan masyarakat, bahkan cenderung membuat kebudayaan asli masyarakat tidak berkutik. Sampai terjadinya Revolusi Prancis tahun 1776, sejarah tidak lagi milik kebudayaan suatu masyarakat. Sejarah baru hadir dengan menenggelamkan sejarah dan peradaban kuno masyarakat. Sejarah baru adalah sejarah intelektual yang dipenuhi oleh gagasan-gagasan yang dibangun melalui pendekatan rasionalitas dan objektifitas.
Sekali pun Karl Marx mencoba memaksakan materialism untuk membuktikan kekuatan materi dalam perkembangan masyarakat, dengan keberhasilannya melahirkan revolusi industri, pasar pertanian dan televisi di China dan musik-musik rock’n roll di Indonesia menggantikan keroncong. Ide-ide yang diusung Hegel tetap mendapatkan tempat terhormat melalui keberhasilannya dalam menguniversalkan politik, demokrasi, ekonomi dan varian-varian baru dalam peradaban umat manusia.
Tidak terbantahkan, Minangkabau paska perang dunia dengan lahirnya konsep negara-bangsa pada tahun 1945, juga mengalami depresi untuk menciptakan tatanan masyarakat yang bersifat ke-Minangkabauan tanpa digerogoti oleh konsepsi-konsepsi negara bangsa maupun ke-universalan cara hidup masyarakat global.
Indonesia yang dibangun dengan semangat demokrasi berdasarkan peradaban asli dan ekonomi yang berkeadilan serta gagasan-gagasan sosial ideologis lainnya selama perdebatan BPUPK tahun 1945, tetap tidak mampu lepas dari semangat “negara homogen universal” yang terlebih dahulu hadir dari Indonesia.
Dalam negara homogen universal inilah, Minangkabau kemudian tidak dibutuhkan lagi sebagai kekuatan perekat masyarakat. Sebab, negara dengan kekuatan dan dominasinya menjadi penanggunjawab masa depan masyarakat itu sendiri. Penjaga hukum, ekonomi, politik, sampai kepada kesejahteraan masyarakat. Semuanya di cover negara sehingga kepercayaan terhadap konsepsi negara lebih tangguh daripada kepada kebudayaan Minangkabau.
Negara menjadi pintu gerbang masuknya berbagai resources dunia luar, dan sekaligus menyediakan kebutuhan masyarakat dengan semangat NKRI. Masyarakat bersatu dengan semangat kebudayaan negara yang secara otomatis mengeliminir peran-peran cultural yang ada pada masyarakat.
Serangan revolusioner terhadap Minangkabau tidak lagi dilakukan melalui perang senjata, sebagaimana terjadi pada abad 18. Serangan terhadap Minangkabau secara terbuka dan terus menerus dilakukan oleh paham individualisme, liberalisme, demokrasi, dan kapitalisme.
Ritme serangan isme-isme ini tidak bersifat frontal dan keras, akan tetapi dilakukan secara realistis melalui pengujian dan otokritik terhadap nilai-nilai yang dianut masyarakat dan secara kontradiktif langsung menembak pusat kesadaran berkebudayaan masyarakat Minangkabau.
Agama, menurut Fukuyama bukan alternatif untuk menyelesaikan persoalan ini. Sebab, terjadinya kekosongan dan kekeringan spiritualitas inipun sebenarnya adalah akibat dari kegagalan politik agama. Politik agama –dengan orientasi kelompok yang radikal– gagal menciptakan perdamaian dan stabilitas sebagai basis penyediaan ruang publik yang aman dan tenteram.
Semangat berkebudayaan dan ber-nilai Minangkabau, sebagaimana dialami oleh kehancuran ideologi Marxisme-Komunisme di Soviet dan Cina serta imajinasi ideologi dan idealisme di beberapa negara besar dan menengah, termasuk Indonesia, pada akhirnya memperkuat asumsi kita, bahwa pemikiran sejarah baru masa depan umat manusia, tidak lagi nilai, melainkan ekonomi dan kepentingan.
Nostalgia kebudayaan Minangkabau, menjadi sekedar pengisi museum untuk dikenang, jika Minangkabau tidak memiliki agregasi untuk memicu masyarakatnya menjadi pesaing utama dalam dinamika konflik interes global ekonomik. Sejarah Minangkabau akan berakhir dan ditinggalkan masyarakatnya jika tidak memiliki daya tawar yang kuat untuk menyelamatkan masyarakatnya dari himpitan besar peradaban baru yang material-kapitalistik. Jika ini terjadi, maka sejarah Minangkabau, akan berakhir.
*Penulis, Advokat & peneliti pada Portal Bangsa Institute
**Gambar oleh adriankirby dari Pixabay