Guru Digital, Emak Temperamental

redaksi bakaba

Sementara itu, kini guru harus bekerja ekstra dengan alat serba digital. Guru muda di kota, tentu saja sudah terbudaya. Bagaimana dengan guru tua di pelosok?

Guru - Image by Mote Oo Education from Pixabay
Image by Mote Oo Education from Pixabay

Tak mudah menjadi guru, jika itu mudah, semua orang bisa jadi guru. Tak mudah mengajarkan anak sendiri sebab domain komunikasi formal pengajaran tidak akan pernah terjadi antara anak dan emak. Komunikasi informal sejak kecil selalu sulit dibangun antar anak dan emak. Jika itu terjadi, tentulah ia seorang guru hebat yang mampu mereposisi diri antara di rumah dengan di sekolah.

Seorang anak sangat menyadari, bila emaknya bukan seorang guru sangat tidak yakin bisa mengajarkan. Anak biasanya protes dengan emak. Sebab emak tidak berbaju dinas guru, emak baju rumahan sehari-hari. Jadi, proses pengajaran formal di rumah tidak akan pernah efektif antara anak dan emak.

Video seorang perempuan berlogat batak sangat menarik dinikmati, betapa kesalnya ia mengajarkan anaknya. Perempuan itu memang tidak tipe seorang guru, entah apa tipenya, yang jelas dia harus mengajarkan anaknya untuk membuka groups whatapps belajar. Video viral itu mewakili resah gelisah selama peraturan belum juga berubah. Anak-anak masih sekolah online dari rumah. Melibatkan orang tua yang mesti meluangkan waktu untuk mendampingi anaknya. Ini baik tetapi tak efektif jika berlangsung lama.

Sementara itu, kini guru harus bekerja ekstra dengan alat serba digital. Guru muda di kota, tentu saja sudah terbudaya. Bagaimana dengan guru tua di pelosok? Guru bisa belajar cepat tentang perkakas komputer dan android, jika mau. Tetapi persoalan-persoalan selanjutnya, sampai kapan bisa bertahan? Android punya batas dan kapasitas. Menyimpan foto dan video perlu smartphone dengan penyimpanan besar. Umumnya, usia smartphone bertahan tiga empat tahun saja.

Emak kesal, guru apalagi. Mereka rindu murid-murid mereka di kelas. Gemuruh murid masuk dan keluar kelas adalah irama kehidupan mereka. Kini mereka di rumah saja karena pandemi. Emak-emak juga begitu, harus melayani proses pengajaran kepada anaknya tanpa punya waktu untuk sendiri seperti biasa. Ketika semua pergi sekolah, bisa sendiri membersih rumah dan diri.

Maka emak-emak temperamental seperti video yang viral itu begitu banyak. Kekesalan diluahkan di media sosial. Guru yang bijak menahan hati, tak mau menyesali keadaan. Terus menghadapinya dengan baik dan benar. Walau lelah harus memahami proses pengajaran melalui smartphone dengan memerintahkan absensi, foto setiap pagi, foto hasil belajar, foto kegiatan-kegiatan siswa, semua masuk ke smartphone miliknya.

Pengalaman mengajar online selama empat bulan lebih, ada kejenuhan dan efektivitas yang amat lemah. Mahasiswa mengaku sulit mendapat jaringan karena di kampung halaman, mahasiswa tidak bisa masuk ke google meeting, zoom, lalu kuliah dengan sistem chat di google class. Hasilnya tak sesuai target. Hanya menyelesaikan tugas tanpa mendapatkan kepuasan pengajaran seperti biasanya.

Baca juga: Korban Latah Digitalisasi

Kita tak perlu takut dengan pandemi Covid-19, yakinkan diri untuk tidak terpapar dengan cara menjalani protokol kesehatan dan ajaran agama. Hidup bersih dan tidak bersentuhan dengan benda-benda yang dicurigai dapat menularkan pandemi. Selalu waspada untuk bersentuhan dengan orang-orang baru. “Jangan pernah kau lepas dari wudhu’ dalam seluruh keadaan dan aktivitas. Itulah cahaya bagi seorang muslim, senjata bagi orang beriman, pencegah dari segala musibah serta memperlancar rezekimu yang nampak maupun tak nampak,” ujar seorang sufi.

Kini hidup terus dipertarungkan antara sains dan agama. Sains kesehatan mengalami kemajuan dahsyat. Harus diterima dan didengar namun jangan pernah lelah mendalami ajaran kebajikan dari agama. Keduanya adalah sayap-sayap yang saling membutuhkan dalam kehidupan posmodern ini. Hanya mendengar satu dari keduanya adalah sikap yang sering membuat ketidakseimbangan dalam kehidupan.

Kita masih menunggu agar keadaan normal baru bisa membuka mata batin para pengambil kebijakan. Menunggu agar bisa memakai peralatan baru ke sekolah. Beraktivitas seperti semula dengan keadaan yang berbeda. Keadaan yang lebih baik dari sebelumnya. Entah sampai kapan penungguan ini, yang jelas viral demi viral keluhan para emak temperamental kian banyak dan guru yang harus belajar terus menerus, tentang dunia digital dan tak boleh berhenti.

Inilah tikungan tajam zaman yang memaksa hidup harus segera berubah lebih cepat, yang tak berubah akan jauh tertinggal.

~ Dr. Abdullah Khusairi, MA. Dosen Pengkajian Islam dan Komunikasi Massa di Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang.
~ Image by Mote Oo Education from Pixabay

Next Post

Logika Bertauhid sang Khalilullah

Di usia 99 tahun, sang Khalilullah (kekasih Allah) itu menerima dengan ikhlas perintah Allah Ta’ala untuk menyembelih putranya Ismail untuk berqurban (mendekatkan diri) kepada-Nya.
Khalilullah - Gambar oleh john peter dari Pixabay

bakaba terkait