~Dr. Emeraldy Chatra
Kebebasan laki-laki Minangkabau dari cengkraman keluarga istrinya berakhir dengan berkembangnya ideologi perkawinan baru yang mementingkan peranan ayah dalam keluarga. Ideologi ini menawarkan kebebasan baru, yaitu kebebasan mengatur rumah tangganya sendiri, termasuk mengasuh dan mendidik anak.
Laki-laki Minangkabau tidak lagi hanya berfungsi sebagai ayah biologis (pejantan) dengan posisi ibarat abu di atas tunggul, tapi menjadi kepala keluarga (ayah biologis sekaligus ayah sosial) yang bertanggung jawab penuh terhadap kehidupan istri dan anak-anaknya.
Perkembangan ideologi ini oleh sementara kalangan dikaitkan dengan makin besarnya pengaruh Islam terhadap masyarakat Minangkabau. Dalam Islam, sistem pengasuhan silang –seperti pengasuhan mamak terhadap kemenakan yang khas Minangkabau– tidak dikenal.
Namun pandangan ini tidak lepas dari kontradiksi yang layak disikapi secara kritis. Islam memang menempatkan suami sebagai kepala rumah tangga, tapi tidak melarang praktik poligami.
Keluarga dengan kombinasi ‘kepala rumah tangga – monogami’ justru lebih dekat kepada model yang berkembang di Barat yang notabene sangat dipengaruhi ajaran Katolik (menarik untuk dicatat bahwa tidak ada satu pernyataan pun dalam Injil yang menyatakan bahwa Nabi Isa (Yesus) melarang poligami (Jones dan Philips, 1996:2). Bahkan Santo Agustinus secara terbuka menyatakan bahwa dia tidak mengutuk poligami.
Pada tahun 1531, para penganut sekte Kristen Anabaptis secara terang-terangan mengajarkan bahwa orang Kristen yang sejati harus memiliki beberapa orang istri. Konsep monogami baru diperkenalkan sesuai dengan ajaran Paulus yang menyesuaikan filsafat Kristen dengan budaya Yunani-Romawi (ibid, 3). Lihat juga; Mary Ben David, From A Woman’s Place: The Case For Polygamy, http://www.polygamy.com/Practical/From-A-Woman-Place.htm )
Dengan demikian, bila model keluarga yang berkembang sekarang di kalangan orang Minangkabau dikaitkan dengan filsafat Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, maka tampaknya antara model keluarga dengan filsafat adat telah terbentang jarak yang signifikan.
Akibat dari perkembangan monogami yang diikuti dengan menguatnya peranan suami dalam rumah tangga batih Minangkabau melebar kepada peran sumando di dalam kaum istrinya. Istri yang mulanya menjadi koridor bagi sebuah kaum, kini bergeser menjadi pintu masuk bagi suami ke keluarga luas istrinya.
Ketika ketergantungan istri kepada suami cukup besar, pengaruh sumando yang masuk melalui istri bahkan dapat merembes ke dalam paruik. Istri menjadi perpanjangan tangan atau alat bagi suami mencampuri urusan paruik istri.
Melalui jalur inilah para sumando kacang miang memperoleh peluang mencampuri bahkan mengacak-acak keluarga luas istrinya (lihat Chatra, 1999). Tapi di jalur yang sama, para sumando niniak mamak, jika mereka ada, dapat memberi kontribusi lebih besar kepada keluarga luas istrinya.
- Baca juga: Sumando dan Malakok dalam Budaya Minang
Sebaliknya, menguatnya peranan suami justru menyebabkan rumah tangga batih makin aman dari campur tangan keluarga asal suami atau istri. Besarnya kontribusi finansial suami terhadap rumah tangganya sendiri, sehingga membebaskan rumah tangga itu dari penggunaan harta komunal, memperkecil alasan keluarga istri melakukan intervensi.
Garis demarkasi antara ‘rumah tangga batih’ dengan ‘keluarga luas’, bahkan antara ‘rumah tangga batih’ dengan ‘keluarga batih’ jadi demikian tegas, sehingga jalan masuk bagi mamak pun semakin sempit. Kewenangannya memberi arah kepada prilaku dan kehidupan kemenakan terlimpah kepada sumando atau ayah kandung dari kemenakannya.
Bagi mamak, tegasnya garis demarkasi ini cenderung tidak terlalu jadi masalah karena dua alasan. Pertama, mengurusi kemenakan bukan persoalan mudah. Apalagi kalau jumlah kemenakan terus-menerus bertambah. Sehingga menguatnya peranan sumando dalam pengasuhan anak dianggap sebagai pengurangan beban moral dan sosial, bahkan ekonomi mamak.
Kedua, mamak pun memperoleh peran dan kewenangan yang lebih besar dalam rumah tangga batihnya, di mana ia berperan sebagai kepala keluarga. Sekarang ia tidak mungkin lagi meminta kaum istrinya mengurusi istri serta anak-anaknya, melainkan harus memimpin dan menafkahi mereka dengan harta pencahariannya sendiri. Dalam keadaan seperti itu, sangat sukar bagi mamak membagi perhatian antara anak dengan kemenakan.
Kalau dalam pepatah lama dikatakan “anak dipangku, kemenakan di bimbing” (oleh mamak), dalam kapasitasnya kini sebagai kepala rumah tangga ia hanya dapat memangku anaknya. Sedangkan untuk kemanakan urusan sumando pulalah memangkunya.
Dalam konteks kewajiban mamak membimbing kemenakan yang dilakukan dengan hasil kekayaan kolektif, kewajiban itu telah semakin terabaikan sejalan dengan hilangnya kekayaan kolektif tersebut. Tapi kewajiban itu sudah benar-benar berakhir akibat tercurahnya perhatian mamak kepada anak.
Kewajiban sebagai kepala rumah tangga akhirnya yang menyebabkan banyak laki-laki seperti terpenjara dalam rumah tangganya sendiri. Ia kehilangan sebagian besar kebebasannya sebagai laki-laki Minangkabau: terpaksa sembunyi-sembunyi kalau mau kawin lagi atau menjalin hubungan khusus dengan perempuan kedua dan ketiga.
Sebagai mamak, langkahnya juga terhambat ketika hendak mengurusi kemenakan karena di pihaknya ada istri yang mungkin tidak senang, dan di pihak saudara perempuannya ada sumando yang tak menghendaki keterlibatannya.
Ketidakbebasan itu bahkan mungkin sampai ke tingkat yang “memalukan” dalam ukuran tradisional, yaitu berada di bawah komando istri, menjadi sumando lapiak buruak. Dalam gurauan sementara orang muda Minang di Padang ada organisasi imajiner untuk laki-laki demikian, yaitu ISTI, “Ikatan Suami Takut Istri”.
Suami yang takut kepada istrinya dicap sebagai anggota ISTI. Dalam kasus tertentu, ketakutan suami kepada istri ternyata berkaitan dengan prilaku korup karena sang suami dituntut terus menerus memuaskan selera konsumtif istrinya.
Keadaan ini merupakan ironi bagi laki-laki Minangkabau. Mamangan yang berbunyi sigai mancari anau, anau tatap sigai baranjak kehilangan relevansinya dalam masyarakat Minangkabau kontemporer.
Kalau fenomena kekinian hendak dilukiskan dengan mamangan juga, bunyinya kira-kira seperti ini: sigai mancari anau, anau dapek sigai tajarek (sigai mencari anau, anau dapat sigai terjerat). Maknanya, laki-laki tetap lebih aktif melakukan pendekatan kepada perempuan seraya unjuk keperkasaan, wibawa, dan sejumlah janji.
Tapi setelah upayanya berhasil menaklukkan hati perempuan, ia harus memelihara kemenangan dengan membiarkan diri terjerat dalam keinginan-keinginan orang yang ditaklukkannya. Ia terjerat! Fenomena seperti inilah yang dilukiskan secara satiris oleh Asrul Sani dalam film kondangnya “Kejarlah Daku Kau Kutangkap”.
*Penulis, Dosen FISIP Universitas Andalas
**