Gambar oleh Marisa Sias dari Pixabay

Wacana Epistemologi ABS-SBK (3-Selesai)

Ada penafsiran filosofis lainnya tentang kebenaran, sebagaimana dikemukakan oleh William James, dimana dalam doktrin pengetahuan, manusia dapat menggunakan doktrin pragmatisme atau doktrin instrumentalisme.

Doktrin pragmatisme menguji dan mengukur kebenaran adat, dimana kebenaran adat berdasarkan ide manusia untuk mencapai tujuan-tujuan manusia dalam kehidupan praktisnya. Manusia membuat standar norma sendiri dengan merujuk kepada praktik kehidupan sosial yang melingkupi lingkaran keluarga dan masyarakat yang kemudian dijadikan sebagai moral hukum dan moral individu.

Kebenaran wahyu membangun standar moral hukum dan moral individu kepada kebenaran-kebenaran teks yang berasal dari firman Tuhan. Tuhan sebagai “pembuat kebenaran” melalui teks kitab suci menyatakan dengan tegas tentang perbedaan yang benar dengan yang tidak benar.
Yang benar menjadi hukum serta kesadaran moral kolektif, dimana sebagai kebenaran kolektif, pengujian terhadap kebenaran itu tidak diperlukan, bahkan pengujian terhadap kebenaran itu dipandang sebagai suatu pengingkaran.

Kebenaran teks sebagai wahyu bersifat tunggal, tidak memiliki dimensi dialogis, apalagi perdebatan.
Menguji kebenaran adat dengan menggunakan standar kebenaran teks, tentu memerlukan kerangka berpikir yang objektif. Sebaliknya, melihat kebenaran teks dari perspektif kebenaran adat, jelas membutuhkan sebuah keberanian untuk melakukan kontemplasi, atau apa yang oleh teks sebut dengan ‘ilm, tatazakkarun, ta’qilun dan yubshirun’.
Sementara di sisi lain, kaidah adat mengatakan “alam takambang jadi guru” dan “cupak gantang, tuangan limbago”.

Dua model pendekatan terhadap kebenaran di atas, teks wahyu dengan akal pikiran mengikuti alur ‘alam takambang jadi guru’, kebenaran yang terkandung di dalam kaidah “adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah” jelas terdiri dari kebenaran yang saling bersinergi.
Adat Minangkabau tersusun dari akal pikiran yang belajar kepada alam semesta, dengan ukuran dan takaran kebenaran berdasarkan pengalaman dan praktik kehidupan sosial masyarakat Minangkabau. Sementara kebenaran teks wahyu bersumber dari Tuhan.

Lantas apa hakekat kebenaran yang terkandung dalam kaidah ABS-SBK, satu sisi antara adat dan syari’ah dapat digabungkan bahkan dileburkan ke dalam syari’ah. Di sisi lain, kebenaran adat belum tentu mutlak menjadi kebenaran syari’ah.
Sebaliknya, bagi masyarakat Minangkabau, kebenaran adat merupakan keberlangsungan dari praktik kehidupan yang turun temurun yang tak terbantahkan dan terus menerus mengalami perkembangan sebagaimana perkembangan akal pikiran.

Kaidah ABS-SBK secara leterlek bermakna dua sumber kebenaran yang saling mengikatkan diri pada tujuan dan tipologi masyarakat Minangkabau.
Rumusan ‘adat basandi syara” merupakan sebuah pengetahuan tentang adat di Minangkabau bersandi (sandar) kepada syara’ atau teks wahyu.
Pada makna ini terkandung makna luas, yaitu antara adat yang bersandar kepada syari’ah dan adat yang tidak bersandar kepada syari’ah. Artinya, ada pilihan kesesuaian antara adat dan syari’ah.

Sementara, dalam rumuan “syara’ basandi kitabullah” pun memiliki terma multi tafsir. Syara’ jelas telah mengadopsi berbagai kitab suci dengan puncaknya pada al-Qur’an, namun, hal-hal yang bersifat teologis dan ketuhanan berlaku umum tanpa ada perbedaan dalam kitab-kitab suci tersebut.
Jika merujuk kepada makna umum kitabullah, maka kebenaran yang dikukuhkan oleh syari’ah adalah kebenaran yang telah terjadi penyesuaian terhadap konsep monoteisme yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad.

Baca juga: Wacana Epistemologi ABS-SBK (2)

Sejarah pertumbuhan adat dengan syara’, apabila mengacu kepada kebiasaan masyarakat dengan praktik keberagamaan yang diajarkan oleh para nabi, telah terjadi percampurbauran antara pada kebenaran yang terpraktikkan dengan objektif dengan kebenaran yang dikukuhkan dalam teks wahyu sesuai dengan periode kenabian.
Dalam proses sirkulasi kesejarahan inilah kemudian pemikiran tentang ontologi mengemuka dengan terang.

Adat meyakini kebenaran yang terlihat dengan kasat mata serta sesuatu yang di atas mereka yang tidak dapat mereka jangkau, menjadi sumber pengetahuan dan alat ukur menentukan sesuatu itu benar atau tidak benar.
Sementara di syari’ah, kebenaran Ketuhanan berjalan terus menerus mengikuti alur praktik kehidupan kenabian yang mengajarkan tentang berkehidupan dan secara khusus memperkenalkan tentang Tuhan yang Esa (monoteisme), ukurannya adalah apa yang tertulis dan menjadi teks.

Berdasarkan keseluruhan tulisan ini, kesimpulan yang muncul adalah dua kebenaran dalam kaidah ABS-SBK, di mana kebenaran adat bersifat alamiah dengan alam sebagai sumber pengetahuan. Kebenaran adat ada yang bersifat permanen dan konstan serta ada pula yang mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman dan tingkat kecerdasan masyarakat.

Sementara kebenaran syari’ah mengacu kebenaran kepada teks wahyu yang telah tersusun sedemikian rupa sehingga tidak mengalami perubahan. Perubahan hanya terjadi pada aspek-aspek yang dimungkinkan sendiri di dalam teks mengenai perubahan untuk menstimulasi kehidupan masyarakat yang terus mengalami pasang surut.
Teksnya tidak berubah, akan tetapi tafsir penyesuaian terhadap kehidupan masyarakat terus bergerak dinamis agar teks menjadi kontekstual dan hidup.

Kebenaran-kebenaran kontekstual yang berasal dari adat sebagai bentuk pengakuan atas nilai-nilai kehidupan yang terbenarkan, dijalankan dengan cara-cara yang terbiasakan, selama tidak bertentangan dengan kemanusiaan dan ke-Tuhanan, maka adat tersebut benar dengan sendirinya. Kebenarannya tidak perlu dilegitimasi dengan kebenaran lainnya.

Sama halnya dengan kebenaran yang terdapat pada teks wahyu, filsafat ke-Tuhanan yang yang abadi yang oleh adat disebut sebagai “alam takambang jadi guru”. Semenatara dalam teks disebut dengan kebenaran syar’i, juga tidak membutuhkan logika dan argumentasi untuk membenarkannya. Teks wahyu menjadi fondasi bagi tatanan kehidupan dan tujuan kehidupan manusia, ia benar dengan sendirinya.

Dua kebenaran dalam satu rumusan ABS-SBK, sebagaimana uraian di atas, apakah salah satu harus meleburkan diri atau kedua-duanya sama-sama menjadi sumber pengetahuan. Jika keduanya tetap pada pandangan dunianya masing-masing, maka kebenarannya akan saling menguatkan dan mengukuhkan.
Sebaliknya, jika kebenaran salah satu yang menjadi sumber utama, maka tentu karakteristik masyarakat Minangkabau yang terkandung dalam kaidah ABS-SBK menjadi pincang.

Konsep epistemologi pengetahuan ABS-SBK meniscayakan kebenaran bersifat jamak, dengan perbedaan pemaknaannya dalam tataran praktis pengetahuan dan prilaku masyarakat, kebenaran yang dirujuk untuk menguatkan makna pada kaidah ABS-SBK haruslah terang dan tegas. Sebab, tidak mungkin untuk menetapkan sebuah pengetahuan dengan konsepsi dasar yang tidak jelas dan tegas.

Kebenaran yang terkandung dalam “ragam wajah” adat dan syari’ah harus mampu dikemas sedemikian rupa, sehingga kesan “determinasi” tidak menjadi polemik baru dalam perujukan masyarakat adat minangkabau terhadap kebenaran.
Artinya, ketika mereka menjalankan kebenaran adat, hal itu tidak lantas mereka mengabaikan syari’ahnya. Sebaliknya juga begitu, ketika mereka menerapkan syari’ah, maka pada waktu bersamaan adat tetap terpelihara dengan baik. (*)

Penulis, Irwan. SHI. MH. CMLC.CTLC. | Peneliti pada PORTAL BANGSA institute
Gambar oleh Marisa Sias dari Pixabay