“SAYA ingin menjadi Barbie sejati. Dan, saya sungguh ingin menjadi orang yang tak punya otak,” kata Blondie Bennet (43), perempuan asal California AS, dalam sebuah wawancara dengan Barcroft TV, 2014 silam.
Blondie adalah salah satu dari sekian banyak perempuan yang terobsesi menjadi Barbie, boneka wanita pirang dan bertubuh langsing, temuan Ruth Handler (1916-2012).
“Saya tidak suka menjadi manusia. Menjadi alamiah itu membosankan. Saya akan senang sekali, bila kelak berubah sempurna menjadi plastik,” kata Blondie, menegaskan betapa tak bahagianya ia hidup sebagai manusia.
Blondie telah menjalani lima kali operasi implan payudara, yang dalam laporan Daily Mail, menghabiskan 25.000 euro atau sekitar 400 juta rupiah. Ia juga secara teratur melakukan tanning pada kulit agar kulitnya mirip Barbie, dan menyuntik botox pada bibirnya, agar tampak lebih berisi. Tak sampai di situ, tampilan Barbie tampak luar belum memadai. Baginya kesejatian sebagai boneka harus dituntaskan dengan mencapai kebodohan, alias meniadakan kesibukan berpikir.
Guna merengkuh titik bodoh itu, Blondie menjalani lebih kurang 20 sesi terapi. Ia mengaku –setelah menjalani terapi kepandiran– ia kebingungan sepanjang hari. “Suatu hari saya menjemput teman di bandara, dan saya tidak dapat mengingat apakah saya akan menunggu di area kedatangan atau keberangkatan. Saya juga tersesat 3 jam saat berkendara ke rumah ibu saya. Rumah tempat saya dibesarkan,” kata Blondie, sebagaimana dikutip Daily Mail (19/2/14).
Cita-cita ingin menjadi boneka, bukan impian Blondie seorang. Adalah Katie Lawrence, mahasiswi seni di London, juga punya kebiasaan ganjil.
Hampir setiap hari ia menggunakan gaun Lolita dan riasan ala boneka layaknya wanita Jepang. Katie punya rencana, kelak akan melakukan operasi plastik, mengubah bentuk telinganya seperti elf. Ia juga mengejek gadis Barbie Valeria Lukyanova, yang menurutnya terlalu membosankan.
Mungkin itu sebabnya ia hendak memberi warna lain bagi penampilan boneka pada lazimnya. Dalam hal kecantikan, Katie tak bersaing dengan keindahan tubuh manusia lainnya, tapi ingin melampaui kecantikan boneka. Guna memenuhi obsesi itu, Katie juga menghabiskan banyak uang setiap bulannya, untuk berbelanja pakaian, kosmetik, dan aksesoris pendukung, hingga ia tampil sempurna sebagai boneka.
Lain Blondie dan Katie, lain pula obsesi Celso Santebanes, laki-laki asal Brasil yang berjulukan Human Ken Doll. Celso mengubah penampilannya menjadi sosok boneka Ken, pasangan boneka Barbie. Disebut-sebut, ia telah menjalani operasi hidung, dagu, rahang, dan implan silikon di dada (agar tampak lebih bidang).
Setelah mendapatkan pengakuan dari banyak orang bahwa penampilannya mirip boneka, ia melakukan operasi lanjutan hingga betul-betul ternobat sebagai boneka. Santebanes mulai mengoperasi wajahnya setelah ia memenangkan kontes model pada usia 16 tahun.
Setelah tenar sebagai Human Ken Doll, Celso dikontrak sebagai sebagai presenter talk show di Sao Paolo dengan imbalan besar. Ia meluncurkan produk boneka dirinya dengan merek Celso Dolls di Los Angeles, sebelum jatuh sakit, dan akhirnya meninggal pada 2015 silam. “Orang-orang kadang takut dengan penampilan saya, dan mencoba menghentikan saya berpenampilan seperti boneka,” kata Celso, sebagaimana dikutip tempo.co (7/6/15). “Saya menderita karena prasangka.
Tapi dunia ini memang penuh dengan orang-orang yang suka menghakimi, saya sudah tidak peduli.” Sebelum meninggal dalam usia 21 tahun karena leukemia, Celso mengatakan, “Saya baru mencapai 90 persen dari apa yang saya inginkan.” Tak ada yang tahu 10 persen pencapaian yang belum diraih Celso.
Tapi mungkin itu harapan yang sama dengan apa yang kini diperjuangkan Blondie Bennet; boneka sempurna, tanpa otak di kepalanya. Dari sekian banyak orang yang ingin tampil sebagai boneka dalam hidup keseharian, mungkin belum ada yang setinggi Blondie Bennet cita-citanya; meraih kepandiran.
Atmosfer politik Indonesia juga tak asing dengan istilah “boneka”. Kelompok oposisi kerap menggunakannya sebagai alegori dari etos kepemimpinan yang tak mandiri, lantaran dikemudikan oleh kekuatan tak kasat mata di luar kekuasaan.
Baca juga: Keajaiban Negeri Kita
Belantika dunia hiburan kini sedang riuh oleh obrolan seputar boneka, tepatnya boneka Barbie yang identik dengan penampilan seorang artis. Sedemikian terobsesinya ia pada kemolekan tubuh boneka berpinggang ramping itu, ia mengubah namanya menjadi Barbie. Namun, yang menjadi perhatian, bukanlah perkara kecantikan itu, melainkan soal keganjilan-keganjilan yang makin lama makin terasa menghibur.
Sebutlah misalnya, tentang biaya perawatan tubuh yang mencapai 4 miliar rupiah, hingga wajar bila penampilannya jauh lebih mewah dari sebelumnya. Tapi warganet tak bisa percaya, mereka tetap nyinyir dan berupaya mengumpulkan jejak digital tentang berapa sesungguhnya total ongkos untuk sekian kali operasi plastik, implan payudara, dan semacamnya.
Barbie versi +62 juga mengaku pernah tinggal di Nevada AS, tapi dalam jawaban atas pertanyaan jebakan tentang durasi penerbangan dari Indonesia ke AS, ia keceplosan bilang; 8 jam dengan penerbangan kelas bisnis. Seolah-olah penerbangan kelas bisnis berbeda pesawat dengan kelas ekonomi, hingga waktu tiba di bandara tujuan, juga berbeda. Keganjilan-keganjilan ini membuat warganet semakin gigih memparodikannya.
Tak berhenti di situ, sebuah akun media sosial dengan pengikut ratusan ribu, sampai menelusuri daftar nama mahasiswa di sebuah perguruan tinggi, lantaran yang bersangkutan mengaku telah bertitel Sarjana Hukum dan kini punya kesibukan baru sebagai pengacara. Alhasil, ditemukan nama asli Barbie versi +62 dalam status sebagai mahasiswi, berikut keterangan tentang mata kuliah yang belum lulus.
Sekali lagi, warganet membuat kabar viral, dan kita semua tertawa dibuatnya. Apa yang sedang diperankan oleh Barbie +62 seperti sindiran dalam bahasa yang kentara, atas perilaku kita di era pasca fakta ini. Mengabarkan peristiwa yang belum terang duduk perkaranya, menyebarluaskan informasi yang tak jelas sumbernya, bersemangat menyala-nyala dalam setiap obrolan di linimasa, yang kita tidak tahu pokok soalnya.
Pokoknya ikut saja bicara, agar tak dikira kudet alias “kurang update.” Saban hari bahasa kita mengundang tanya, mendulang curiga, dan memuncak pada hina dan cerca, lalu kita tertawa menikmati viralitasnya.
Kontroversi Barbie +62 mungkin masih menjadi objek tertawaan, dan ia cuek belaka, bahkan tampak cukup menikmatinya. Jangan-jangan, ia tak sedang membuat sensasi, tapi sedang “latihan membuang pikiran,” seperti terapi yang dijalani Blondie Bennet, guna mencampakkan akal dari hidup manusiawinya.
Obsesi Katie Lawrence, Celso Santebannes, Blondie Bennet, dan Barbie +62 boleh jadi adalah juga obsesi kita. Menjadi boneka yang saban hari dikendalikan oleh algoritma big data, rasanya belum cukup. Itu baru mirip boneka, belum boneka sungguhan.
“Siapakah yang tak mau jadi Barbie? Hidupnya menyenangkan, hanya perlu berbelanja setiap hari, dan membuat dirinya selalu tampak cantik, tanpa harus memikirkan apapun,” kata Blondie Bennet. Pikiran hanya membebani. Kewarasan telah membosankan. Marilah kita mencapai kepandiran yang paripurna…(*)
*)Damhuri Muhammad, Sastrawan, Pengajar Filsafat Universitas Darma Persada, Jakarta. email: telah.insyaf@gmail.com
**)