Prof. Drs. K.H. Yudian Wahyudi, M.A., Ph.D

Prof. Yudian, dari Kampus ke Istana

~ Delianur

Sebagai Guru Besar, setidaknya forum terbesar tempat Prof. Yudian Wahyudi pernah unjuk ucapan adalah forum penetapan anugerah gelar Guru Besarnya. Akan ada ratusan orang untuk mendengarkan pemikirannya. Meski yang datang beragam, namun secara garis besar ada kesamaan yang bisa diprediksi; kesamaan latar pendidikan dan perhatian. Bila Kepala BPIP mendapat anugerah Guru Besar dari kampus studi keislaman, bisa dipastikan bila yang hadir cenderung orang yang mempunyai perhatian sama.

Pada momen akademis seperti ini, Prof. Yudian tidak hanya mempunyai keleluasaan berbicara dalam waktu panjang untuk mengurai ide-ide nya secara lebih mendalam, tapi juga mempertajam dan memperjelas ulasannya dengan membagikan tulisan dari apa yang dibacarakan.

Begitu juga sebaliknya. Pendengar tidak hanya bisa menggunakan indra pendengaran untuk mencerna ucapannya, tapi juga penglihatan. Tidak hanya bisa melihat gesture Prof. Yudian ketika berbicara, tetapi juga membaca tulisan yang disajikan.

Lebih kecil dari forum di atas, seminar atau diskusi berskala adalah forum yang biasa dihadiri seorang Guru Besar. Seperti forum di atas, Prof. Yudian juga mempunyai keleluasaan waktu mengurai pendapat-pendapatnya secara lisan maupun tulisan. Bila ada penyimak yang kurang memahami, selalu ada sesi tanya jawab untuk memperjelas atau mempertegas.

Baca juga: Sepakbola, Ancaman Banjir dan Buzzer Hamdalah

Selain itu, forum seperti ini selalu lebih homogen dan jumlah audiens yang terbatas dan lebih spesifik. Karena sedikit kemungkinan orang yang sehari-harinya tertarik dengan semi konduktor, ingin menghadiri seminar filsafat Islam yang kadang sering menjelimet dan merumitkan itu.

Begitu juga ruang kuliah tempat seorang Guru Besar mengajar. Forum lebih kecil dari seminar atau diskusi. Jumlah yang hadir bisa jadi tidak lebih dari 20 orang sehingga pembicaraan jadi lebih intens dan fokus. Tema pembicaraan pun bisa diangkat pada level yang lebih tinggi diluar rata-rata pemahaman publik.

Karena yang hadir adalah para pembelajar yang tidak hanya mempunyai minat pada disiplin studi yang dipelajari, tetapi juga sudah mempunyai referensi sebelumnya untuk dibicarakan.

Setelah forum di atas, maka sidang kelulusan adalah forum terkecil seorang Guru Besar. Berbanding terbalik dengan forum-forum sebelumnya, pada moment ini bukan Guru Besar yang jadi pusat perhatian, mahasiswa lah yang menjadi pusat perhatian. Mengeluarkan pertanyaan adalah tugas utamanya, bukan mengeluarkan pernyataan.

Setelah forum-forum yang mengandalkan kemampuan oral seperti di atas, maka buku, jurnal, makalah dan artikel adalah medium komunikasi tulisan yang sering dipakai seorang akademisi. Dalam piramida banyaknya pembaca, secara berurutan buku berada pada puncak piramida dan artikel berada paling bawah. Sedikit yang membaca buku. Karena orang butuh perhatian pada sebuah tema tertentu, familiar dengan bahasa buku yang memiliki bahasa yang spesifik, juga butuh keluasan keluasan waktu untuk menikmatinya.

Sementara jurnal atau makalah, meski selalu tampil dengan bahasa yang detail dan spesifik sehingga hanya bisa dipahami sebagian kalangan, orang membutuhkan waktu yang lebih singkat untuk menikmati keduanya ketimbang menikmati buku. Sementara artikel, adalah bacaan yang hanya butuh waktu singkat untuk dibaca. Artikel juga selalu mengupayakan bahasa umum yang bisa dimengerti publik meski membicarakan sebuah sub tema tertentu.

Kemewahan mendapat ruang berkomunikasi seperti diatas, sulit dialami pejabat publik seperti Kepala BPIP. Dominan ruang berbicara yang tersedia buat seorang pejabat publik bukan lagi public lecture, seminar apalagi limited discussion, tapi dia dihadang wawancara door step wartawan.

Pada ruang seperti ini, jawaban yang mumpuni dan jernih bukan hanya mesti ditopang oleh pengetahuan dan pemahaman terhadap pertanyaan yang diajukan, tetapi juga penguasaan kondisi. Bila hal-hal itu tidak dipenuhi, alih-alih memberikan kejelasan pada publik, maka pasti akan menimbulkan kekisruhan dan ketidak jelasan.

Pada moment wawancara door step, hitungannya bukan lagi menit apalagi jam, tapi orang hanya memiliki waktu sepersekian detik untuk memahami pertanyaan dan merumuskan jawaban yang tepat. Rumitnya, jawaban yang mesti dirumuskan dalam sepersekian detik itu, akan menjadi bacaan dan rujukan jutaan orang dengan latar belakang beragam.

Hal yang tidak mudah. Kesalahan memberikan jawaban, akan berakibat sangat fatal. Karenanya wajar bila di Hari Pers Nasional, alih-alih mengurai peran penting media dan guidance kepada Pers dalam menjalankan perannya di era digital, Presiden justru berbicara betapa jerihnya menghadapi door step wartawan.

Mungkin medium lebih luas dari seorang pejabat publik untuk berkomunikasi dengan publik adalah sesi interview khusus dengan wartawan. Namun seperti juga diatas, orang yang menyerap ucapannya jumlahnya jutaan dengan tingkat heterogonitas yang tinggi. Masalahnya semakin kompleks manakala berhadapan dengan politik media di era digital.

Apa yang penting menurut pembicara tapi tidak menarik secara ekonomis bagi media, tidak akan menjadi highlight atau muncul ke permukaan. Mencantumkan bahwa Agama sebagai ancaman Pancasila pastinya akan lebih meningkatkan jumlah visitors, ketimbang mencantumkan bahwa pemahaman agama yang keliru sebagai sesuatu yang berbahaya dan mengancam Pancasila

Paparan di atas tentunya adalah upaya untuk mengajak supaya lebih detail dan komprehensif lagi memahami dalam ucapan BPIP. Ketimbang mempertanyakan dan menggugat ucapan Kepala BPIP perihal Agama dan Pancasila, uraian diatas lebih berusaha untuk memahami kenapa uraian seperti itu muncul dalam sudut pandang komunikasi. Bila kemudian ada yang menganggap bahwa uraian diatas adalah pembelaan untuk Kepala BPIP, maka anggapan itu sepenuhnya mesti diterima dan tidak keliru.

Namun sejatinya paparan di atas gagal untuk memahami kontroversi lain dan lanjutan dari statement Kepala BPIP.
Adalah sebuah pertanyaan besar manakala berkaitan dengan Pancasila, maka tema dominan adalah penghadapan Pancasila dengan masyarakat. Bukan Pancasila dengan penyelenggara negara atau Pancasila dengan politisi senayan misalnya.

Meski sama-sama bertugas menegakkan nilai-nilai Pancasila, BPIP pada masa sekarang berbeda dengan BP-7 pada masa Orde Baru. Dasar pendirian BP-7 adalah SU MPR sementara pendirian BPIP adalah Keputusan Presiden. Artinya, BPIP adalah lembaga yang bertugas menopang kerja-kerja Kepresidenan.

Karenanya tugas terbesar BPIP itu sejatinya bukan mempertanyakan kadar kepancasilaan masyarakat, tapi institusionalisasi nilai-nilai Pancasila kepada kebijakan Presiden dan program pemerintah. Seperti apakah derasnya investasi luar negeri, privatisasi sumber daya air dan sumber daya manusia, regulasi tentang kepemilikan tanah bagi WNI dan WNA itu semua sudah sesuai dengan nilai-nilai Pancasila? Lagipula bukankah kita kerap menyebut Pancasila sebagai Dasar Negara yang berarti Pancasila merupakan guidance bagi aparat negara.

Paparan di atas juga gagal memahami munculnya statement “kontroversial” lanjutan Kepala BPIP yang menyatakan bahwa dalam bernegara, rujukannya adalah konstitusi bukan agama.

Secara logic (Intelektual) sebetulnya tidak ada yang aneh dengan pernyataan Kepala BPIP tersebut. Dalam sejarah Islam, Nabi sendiri menunjukkan bahwa konstitusi adalah hal yang mesti dipegang teguh dalam bernegara. Ketika Nabi hijrah ke Madinah dan memulai kehidupan baru dengan masyarakat yang lebih heterogen di Madinah, hal pertama dibuat Nabi adalah menandatangani Piagam Madinah. Kesepakatan yang menjadi patokan kehidupan bersama semua kalangan di Madinah. Sebuah konstitusi yang bagi pakar politik berabad berikutnya disebut terlalu canggih dan modern untuk zamannya. Pemikiran yang melampui zamannya.

Karenanya secara logic, intelektual tidak ada yang aneh dengan pernyataan tersebut. Ada rujukan keilmuan untuk menyatakan itu. Permasalahannya dalam kehidupan manusia, logic adalah satu sisi kebutuhan hidup manusia disamping etik dan estetik.

Logic itu berkaitan dengan benar dan salah. Sementara etik dan estetik itu berkaitan dengan baik-buruk dan indah-jelek. Sebagai intelektual, mungkin patokannya adalah logic.

Karena begitulah kehidupan intelektual. Bergulat dengan benar dan salah. Namun pejabat publik mestinya juga melengkapi dengan etik dan estetik. Karena masalah yang dihadapi lebih kompleks.

Tidak keliru mengatakan bahwa Konstitusi adalah patokan bernegara. Namun menjadi sebuah permasalahan ketika mengatakan bahwa konstitusi di atas agama dalam masyarakat yang melihat agama sebagai variable penting dalam kehidupannya. Mengatakan konstitusi di atas agama dalam masa sentimen keagamaan sedang menaik, itu seperti menyalakan korek api di hutan yang kering kerontang di musim panas. Tidak salah mempertanyakan kadar kepancasilaan masyarakat, namun ada problem etis ketika pertanyaan itu muncul ketika publik secara vulgar melihat pelemahan pemberantasan korupsi.**

*Penulis, mantan Ketua PB PII, berasal dari Agam
**Photo courtesy kpi.go.id