~ Nofel Nofiadri
Bahasa Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 berfungsi sebagai jati diri bangsa, kebanggaan nasional, sarana pemersatu berbagai suku bangsa, serta sarana komunikasi antardaerah dan antarbudaya daerah.
Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi negara dan berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, pengantar pendidikan, komunikasi tingkat nasional, pengembangan kebudayaan nasional, transaksi dan dokumentasi niaga, serta sarana pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan bahasa media massa.
Di sisi lain, undang-undang tersebut juga mendorong pemeliharaan Bahasa daerah dan juga penguasaan Bahasa asing. Lalu bagaimana perilaku anak bangsa dalam berbahasa saat ini?
Kita tahu dan menyaksikan bahwa bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa asing hidup berdampingan. Mereka hidup berdampingan dalam jiwa anak bangsa. Secara umum Bahasa daerah dipakai dalam lingkungan rumah. Bahasa Indonesia lebih dominan pada ranah formal. Sedangkan Bahasa asing sebenarnya tidak digunakan secara utuh. Di ruang kelas bahasa asing pun, guru dan murid juga tidak sepenuhnya berbahasa asing.
Bahasa asing hanya dipakai sebagai dekorasi seperti pada beberapa penggalan kata. Penggunaan yang cukup banyak adalah pada bidang bisnis, terutama iklan. Penamaan toko, jenis usaha, slogan, dan nama-nama acara sangat dominan menggunakan Bahasa asing, terutama bahasa Inggris.
- Baca juga: Bahasa dan Hegemoni
Kelemahan Intelektual
Bahasa Inggris ini nampaknya diberi peluang besar oleh anak bangsa. Beberapa acara sastra nasional ataupun sastra tradisional dilabeli dengan bahasa Inggris. Tidak saja penamaannya, tema acara juga dibuat dalam bahasa Inggris. Bahkan ada yang lebih ekstrim karena hampir tidak ada potongan kata dalam Bahasa Indonesia. Teman saya yang menjual pakaian dalam pun melabeli warung dan iklannya dengan memakai Bahasa Inggris. Ada yang lucu juga. Sebuah kedai kopi baru di kota Padang mencoba menggunakan slogan berbahasa Inggris tapi kalimatnya tidak sesuai dengan kaidah Bahasa Inggris. Mungkin pemiliknya ingin menanamkan kesan elegan dan kelas tinggi pada kedai kopinya. Namun yang didapat malah sebaliknya. Kelemahan intelektual.
Ada beberapa alasan penggunaan bahasa asing. Penggunaan Bahasa Inggris dianggap mencerminkan intelektual yang lebih baik. Bahasa Inggris dianggap lebih keren. Mungkin juga Bahasa Inggris seperti mampu menaikan kelas sosial seseorang. Kita bisa perhatikan bagaimana prilaku anak bangsa di media sosial. Meski pun tidak sesuai kaidah, tapi itu tetap membangun percaya diri pemakainya. Berulang-ulang. Ada juga yang beralasan bahwa produk mereka telah dirancang untuk sekala internasional, sehinga Bahasa Inggris adalah keharusan. Penggunaan Bahasa asing juga lazim karena masuknya produk asing dan belum di-Indonesiakan, seperti kata stunting. Kesimpulan sementara alasan-alasan tersebut bagaimanapun juga telah menunjukan ketidak-banggaan pada Bahasa sendiri.
Paradoks
Kenyataan lain. Anak-anak bangsa yang sedang kuliah di luar negeri seperti di Australia malah aneh. Untuk bisa keluar negeri mereka harus mengambil ujian kemampuan berbahasa Inggris. Jika gagal, mereka akan ulang lagi. Berkali-kali. Namun setelah berada di lingkungan asli berbahasa Inggris, mereka merasa kurang percaya diri dalam berbahasa Inggris. Lebih banyak diam dan cendrung tinggal dan berkumpul di perkampungan Melayu. Berteman sesama mereka saja. Termasuk juga anak-anak bangsa yang dulu semasa di Indonesia bersekolah di sekolah internasional. Ke mana-mana cendrung sesama orang Indonesia dan berbahasa separuh-separuh. Separuh bahasa gaul Indonsia dan separuh lagi Bahasa Inggris. Ada juga yang janggal. Walaupun dia muslim, biar kelihatan keren dia bilang ‘O Jesus’, pengganti ungkapan ‘ya Allah.’ Aneh. Ada juga beberapa mahasiswa Indonesia yang memiliki pergaulan bagus dengan orang Australia maupun bangsa lain. Ternyata yang membuat mereka bisa diterima pada pergaulan akademik internasional bukan pada kemampuan berbahasa Inggris. Kepribadian, intelektual, dan prestasi merupakan hal yang lebih berperan.
Gaya Pejabat
Tapi ada yang lebih lucu dan aneh. Pejabat negara. Pejabat-pejabat itu sepertinya juga merasa lebih hebat jika mampu menuturkan istilah-istilah bahasa Inggris. Beberapa acara resmi dari jawatannya pun dilabeli dengan bahasa Inggris.
Beberapa waktu lalu seorang menteri menggunakan banyak sekali istilah bahasa asing dalam pidatonya di hadapan guru-guru sekolah. Tidak hanya satu pidato, di beberapa pidatonya yang lain juga banyak terselip istilah-istilah bahasa asing.
Begitu juga seorang walikota yang memotivasi camat-camat terpilih dengan menggunakan istilah-istilah bahasa Inggris. Bedanya, walikota itu tidak alumni Amerika.
Hal yang membuat khawatir adalah tentang tujuan utama berpidato, apalagi pidato yang bertujuan untuk memberi motivasi dan petunjuk. Apa yakin pemahaman bawahannya lebih baik jika digunakan bahasa asing, padahal istilah-istilah itu ada bahasa Indonesia. Kalau bawahan tidak paham, mungkin dia marah lagi ke bawahannya. Itu kan lucu.
Beberapa prilaku bahasa di atas tidak sesuai dengan perintah undang-undang, bahkan ada yang bertentangan. Namun perlu kita sadari bahwa pergulatan antara bahasa Indonesia dengan bahasa asing di panggung publik membuat bahasa daerah semakin terjepit. Anak-anak bangsa yang baru lahir cendrung mendapatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertamanya. Bukan bahasa ibu atau bahasa daerah. Hal ini juga tidak sesuai dengan undang-undang. Lalu apakah ini berbahaya?
Konsepsi Tradisional
Melupakan bahasa daerah artinya adalah melupakan konsepsi-konsepsi tradisionalitas. Konsepsi-konsepsi yang berharga adalah pengetahuan tradisional yang hanya elok disampaikan dalam bahasa daerah tersebut, seperti yang terkandung di dalam peribahasa, pantun dan kaba.
Kita kemudian menyadari betapa sulitnya memahami sejarah masa lalu kita tanpa memahami bahasa Sangsekerta. Bukan sekedar memahami, kita tidak punya akses lagi kepada kekayaan intelektual nenek moyang kita.
Melemahkan bahasa Indonesia artinya adalah melemahkan kesatuan suku-suku bangsa yang ada dalam satu bingkai NKRI. Bahasa asing yang dipakai pejabat negara tidak mampu merekatkan jiwa antara pejabat dengan rakyat. Bahasa Indonesia-lah sejatinya pemersatu keragaman suku dan bahasa yang ada di Nusantara. Penggunaan istilah-istilah asing tentu membuat anak-anak bangsa merasa terasing. Rasa Indonesia itu hanya dapat dibangun dengan penggunaan bahasa Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Tidak ada lagi yang lain.
Penguasaan bahasa Asing itu penting. Penting sekali, tapi bukan pada ekspresi diri sebagai orang Melayu yang kurang percaya diri. Lebih merasa hebat jika memakai bahasa (budaya) asing. Penguasaan bahasa asing sangat penting untuk menyerap keilmuan karena banyak sumber-sumber ilmu pengetahun ditulis dan disampaikan dalam bahasa asing. Ingat, kita bisa lepas dari penjajahan berkaitan dengan semakin banyaknya anak bangsa kala itu yang masuk sekolah Belanda. Artinya menguasai bahasa Belanda. Bahasa yang diperlukan untuk cerdas dan merdeka adalah bahasa Belanda seperti pengalaman Hatta dan Tan Malaka. Hendaknya saat ini, semakin kuat bahasa Indonesia digunakan maka semakin kuat negara kita.
Namun hari ini lucu sekali. Negara kita membiayai penelitian-penelitian yang dilakukan oleh akademisi namun kemudian penelitian itu dipublikasikan di jurnal-jurnal berbahasa Inggris yang dikonsumsi oleh orang asing. Sebaliknya, untuk dapat membaca ilmu-ilmu dari luar negeri, negara kita membayar lagi agar bisa diakses oleh anak bangsa. Itupun dalam bahasa Inggris. Agar bisa dipahami tentu perlu penguasaan bahasa Inggris. Satu hal, mereka yang tidak bangga berbahasa daerah dan berbahasa Indonesia karena mereka sadar sekali bahwa tidak ada yang dapat dibanggakan dari dirinya, dari daerahnya, dan dari bangsanya.**
*Penulis, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Imam Bonjol Padang, kandidat PhD., Deakin University Australia
**