PADA dinding tebing di lembah Nachsi, sebelah utara Palestina, sebuah relief terpahat: seorang pria bertopi tiara dengan pedang tersampir di pinggang, duduk di punggung kuda. Di depan penunggang kuda itu seorang laki-laki bersimpuh. Relief itu menggambarkan Alexander (Raja Yunani) sedang duduk di atas kuda.
Laki-laki yang bersimpuh itu adalah Darius, Raja Parsi yang takluk. Relief itu dibuat setelah perang Issus, tahun 333 SM, di lembah Nachsi Rustam. Dalam perang itu, pasukan Darius, kerajaan Parsi dikalahkan pasukan Alexander Agung.
Setelah menyatukan Ptolemayus, tahun 336 SM dengan pasukan besar Alexander Agung berangkat dari Macedonia, Yunani menuju Asia untuk misi penaklukan sekaligus mengembangkan budaya dan ajaran Plato, Platoisme. Setelah menaklukkan Afrika Utara: Mesir, Libya, Alexander Agung melanjutkan penaklukan Irak, Iran, Afganistan sampai perbatasan India.
Tahun 325 SM, Alexander Agung meninggal dunia dalam umur muda, 36 tahun, tanpa meninggalkan seorang anak pun.
Setelah Alexander Agung meninggal, kerajaan yang sangat luas itu dibagi oleh tiga orang panglima kerajaan. Prokorus, Antiokhus dan Ptolemayus membagi wilayah dan kekuasaan: Eropa dan Asia kecil sampai pantai barat laut Kaspi berada di bawah kekuasaan Prokorus dengan ibukota Korintus.
Antiokhus Nikator mendapat wilayah dari pantai timur laut tengah sampai perbatasan India dengan ibukotanya Antiokhia. Dan Ptolemayus mendapat kekuasaan di wilayah Afrika utara dengan ibu kota Alexandria.
Tahun 120 SM bendungan Ma’arib rubuh. Kota Ma’arib yang indah, berikut desa-desa pertaniannya hancur luluh dihantam banjir. Penduduk banyak yang mati. Sisanya bercerai-berai <baca: Q.S 34: 16> menyingkirkan diri ke Mekah, Madinah, padang Aram dan Hirrah.
Akibat runtuhnya bendungan Ma’arib, pasokan rempah-rempah dari negeri timur terhenti. Terhentinya suplai rempah-rempah membuat Dinasti Ptolemy mengutus rombongan pergi berlayar ke negeri sumber bahan rempah-rempah. Negeri penghasil rempah: kampher dan lada adalah Barosai/Barus dan Karpura Dwipa/ Minanga Kambwa, Sumatra bagian Tengah.
Dinasti Ptolemy merupakan kelompok penguasa peninggalan kekuasaan Alexander, bangsa Yunani yang berkuasa di Mesir.
Penguasa Mesir yang banyak membutuhkan rempah-rempah, sangat merasakan kekurangan ketika suplai rempah macet.
Utusan Dinasti Ptolemy yang berlayar ke negeri rempah-rempah itu, ikut juga para pembesar kerajaan. Sebagian mereka menetap. Kejadian itu diperkirakan abad ke-1 SM. Sejak itu, selain bangsa Arab, orang Mesir pun ikut membeli rempah di Sumatra ini.
Berbeda dari orang Arab yang datang sebelumnya, mereka datang untuk berdagang dan tidak menetap. Sementara utusan dan keluarga Dinasti Ptolemy bermukim di pusat kerajaan penghasil kampher dan lada: di Pariangan.
Masyarakat Dinasti Ptolemy, Mesir, telah biasa hidup bermukim, bersawah ladang dengan pengairan, memelihara ternak, telah menambang emas, berkolam tebat ikan dan telah berpemerintahan berbudaya sangat tinggi.
Dinasti Ptolemy yang berasal dari bangsa Yunani, yang datang dan bermukim di Pariangan mengajar penduduk bercocok tanam menetap, menanam padi sawah dengan pengairan sebagaimana mereka di Mesir. Masyarakat di Pariangan juga diajarkan cara beternak dan berladang. Lada yang selama ini sebagai tanaman liar, mulai dibudidayakan. Semenjak itu lada sebagai hasil pertanian dengan produksi meningkat.
Masyarakat di Pariangan yang hidup berkelompok, setiap kelompok dipimpin kepala kaum atau penghulu kaum. Orang dari Dinasti Ptolemy juga mengembangkan ajaran Plato, Platoisme. Beberapa penghulu kaum yang ada di Pariangan dikoordinir menjadi sebuah dewan yang disebut Kerapatan. Orang Yunani mengangkat dirinya menjadi ketua Kerapatan yang disebut Kapalo Polis. Polis pertama yang dibentuk adalah Polis Pasumayan Kotobatu dengan pusat Pariangan.
Setelah itu dibentuk polis kedua Padang Panjang. Polis ketiga mereka namakan Bungo Setangkai dengan pusat Sungai Tarab. Polis keempat mereka namakan Dusun Tuo dengan pusat Limo Kaum. Polis kelima Batipuah.
Pada kelima polis itu duduk sebagai pimpinan orang Yunani. Sebagai koordinator pimpinan dari pimpinan lima polis adalah Polis Pasumayan Kotobatu.
Para pimpinan polis melakukan perjalanan keliling, memberikan penjelasan agar di seluruh lembah tiga gunung, Triarga: Marapi, Singgalang, Sago dibagi-bagi dalam bentuk polis-polis. Tidak setapak pun wilayah yang tidak terbagi. Terbentuk ratusan polis, di mana pimpinan polis-polis itu diangkat dari pemuka lima polis yang dibentuk pertama.
Minangkabau pedalaman di kawasan tiga gunung, para pimpinan polis dari Dinasti Ptolemy mencium bumi Sumatra bagian Tengah banyak mengandung emas. Penduduk ditunjukkan cara mendapatkan emas dengan mendulang memakai kayu. Batu aluvial, jenis tanah yang mengeras karena endapan di aliran sungai atau dataran rendah, ditumbuk kemudian didulang. Tidak semua batu dan tanah yang mengandung emas, mereka tunjukkan jenis batu apa yang mengandung emas.
Selain di aliran sungai, pada lereng bukit yang batunya mengandung emas, dibuat parit-parit berlubuk-lubuk. Ke dalam lubuk tersebut dimasukkan ijuk dan sabut kelapa. Batu batu gunung yang mengandung emas dipecah-pecah dan ditumbuk sampai halus.
Sewaktu hujan turun, batu yang dipecah bergelindingan melalui parit, pasir yang mengandung emas ditangkap ijuk dan sabut kelapa yang telah disediakan dalam kolam. Pasir yang mengandung emas itu didulang.
Mencari emas dengan cara tradisional itu orang Agam yang paling banyak mengerjakannya sehingga tersebut tambang emas orang Agam.
Sistem tambang tersebut hanya terdapat di Mesir dan Minangkabau. Akhirnya, Minangkabau selain jadi negeri penghasil kampher dan lada juga penghasil emas. Dalam wilayah lebih luas, Sumatra menjadi dikenal sebagai Swarna Dwipa (negeri penghasil emas), Kapura Dwipa (negeri penghasil kampher) dan Pepera Dwipa (negeri penghasil lada).
Tambo
Kedatangan bangsa Yunani ke Minangkabau diceritakan dalam Tambo lama dan dipidatokan pada waktu baralek gadang (perhelatan melewakan penghulu) semalam suntuk, tambo Minangkabau.
Dalam pidato adat itu diceritakan: Iskandar Zulkarnaini atau Alexander de Great, mempunyai anak tiga orang yaitu Maharaja Alif, Maharaja Depun dan Sri Maharaja Diraja.
Pada suatu waktu ketika Maharaja Alif dan Maharaja Depun bangun dilihatnya saudaranya yang paling muda telah mengenakan mahkota kerajaan. Timbulah rasa kurang senang dalam hati kedua orang saudara itu. Walaupun tidak terjadi pertengkaran ketiga mereka berpisah.
Baca juga: Sejarah Minangkabau dengan Metodologi Ilmu Pengetahuan
Maharaja Alif berangkat ke benua Ruhum dan menjadi raja di sana. Dari keturunannyalah raja-raja di benua Ruhum, Roma tersebut berasal.
Maharaja Depun berangkat ke benua Cina menjadi raja di sana. Dari keturunannyalah raja-raja di benua Cina tersebut bersumber.
Sri Maharajo Dirajo terus di laut dengan kapalnya bersama isterinya Puti Indo Jalito, seorang pembantu ahli bernama Cati Bilang Pandai dan beberapa perempuan, di antaranya Harimau Campo, Kucing Siam, Kambiang Hutan dan Anjing Mualim. Nama-nama pembantu Sri Maharajo Dirajo itu menunjukkan sifat dari perempuan itu dan keturunannya pun memakai sifat tersebut.
Harimau Campo menurunkan orang Agam, Kuciang Siam menurunkan orang Tanah Data, Kambiang Hutan menurunkan orang 50 Koto dan Anjing Mualim menurunkan orang orang rantau lainnya.
Dalam perjalanan kapal Sri Maharajo Dirajo, yang berisi puluhan orang tersekat di karang laut yang disangka hanya sebuah buih laut yang terapung. Kemudian ‘bumi basentak naiak aia basentak turun’. Dari karang yang kecil itu muncul sebuah gunung. Air pun terus ‘basentak’ turun dan bumi ‘basentak’ naik, terbentuklah pulau Paco (perca/sumatra). Sri Maharajo Dirajo pun menetap di pulau Paco, di sebuah negeri bernama Pariangan.
~Penulis: Asbir Dt. Rajo Mangkuto
~Editor: Asraferi Sabri
*Gambar oleh Jacqueline Schmid dari Pixabay