Pikirkan Ciptaan, Jangan Pikirkan Pencipta

redaksi bakaba

Hadits ini dinukil dari kitab al-‘Azhamah karya Abu asy-Syaikh. Para pengkaji hadits tentu tahu bahwa derajat hadits di dalam kitab ini cukup banyak yang lemah.

ciptaan Tuhan - Image by My pictures are CC0. When doing composings: from Pixabay
Image by My pictures are CC0. When doing composings: from Pixabay

Mencermati diskusi para asatidz, guru laki-laki seputar akidah, terutama yang terkait dengan titik beda antara Asy’airah dengan Ibnu Taimiyah –رحم الله الجميع- , saya jadi teringat dengan hadits yang pertama kali saya pelajari sewaktu menjadi santri di Perguruan Thawalib Padang Panjang. Hampir bisa dipastikan setiap santri Thawalib hafal hadits ini karena ia merupakan hadits nomor satu dalam kitab hadits yang menjadi buku pokok bagi setiap santri baru di Thawalib.

Kitab itu berjudul al-Ahadits al-Mukhtarah karya Buya Mawardi Muhammad –رحمه الله-, Pimpinan Thawalib Ketiga yang merupakan murid dari Angku Mudo Abdul Hamid Hakim; murid dari Syekh Abdul Karim Amrullah (atau yang akrab dipanggil Inyiak Rasul) ayah dari Buya Hamka.

Berbeda dengan kebanyakan kitab hadits yang mencantumkan hadits masyhur ; إنما الأعمال بالنيات sebagai hadits pertama, Buya Mawardi lebih memilih mencantumkan hadits ini sebagai hadits nomor satu:

تَفَكَّرُوا فِي الْخَلْقِ وَلَا تَفَكَّرُوا فِي الْخَالِقِ فَإِنَّكُمْ لَا تَقْدُرُونَ قَدْرَهَ

“Berpikirlah tentang ciptaan dan jangan berpikir tentang Pencipta, karena kamu tidak akan mampu memikirkan-Nya.”

Hadits ini dinukil dari kitab al-‘Azhamah karya Abu asy-Syaikh. Para pengkaji hadits tentu tahu bahwa derajat hadits di dalam kitab ini cukup banyak yang lemah. Dan memang, sekilas hadits ini adalah lemah karena ada rawi yang majhul antara Amru bin Murrah dengan rawi tertingginya; Ibnu Abbas –رضي الله عنهما- .

Baca juga: Nabi dan Spirit Keilmuan

Tapi saya kira Buya Mawardi punya alasan tertentu kenapa mencantumkan hadits yang lemah ini dalam kitab haditsnya. Karena ini adalah hadits pertama yang diajarkan pada santri baru maka hampir semua santri Thawalib hafal hadits ini. Di samping pendek, redaksinya juga ‘unik’.

Namun, bukankah untuk masalah akidah tidak boleh digunakan hadits yang lemah? Benar. Tapi hadits ini tidak untuk menetapkan (taqrir) sebuah akidah. Konteksnya adalah dorongan untuk lebih memikirkan makhluk ciptaan Allah, bukan Allah- nya.

Memang, apa yang didiskusikan para asatidz tujuannya adalah untuk tanzih (mensucikan) Allah dari hal-hal yang dapat dipahami sebagai naqsh (kekurangan) pada Dzat Allah Yang Mulia, atau untuk meluruskan pemahaman akidah sebagian orang yang dinilai telah menyimpang.

Namun, tanpa disadari, kesibukan kita dalam hal ini membuat kita mengabaikan sesuatu yang mungkin tak kalah pentingnya, yaitu memikirkan ciptaan Allah. Inilah yang akan melahirkan berbagai penemuan yang bermanfaat bagi manusia secara luas.

Wallahu a’lam.

~ Penulis, Yendri Junaidi, LC, MA. alumnus Universitas Al Azhar Mesir, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Diniyyah Puteri Padang Panjang.
~ Image by My pictures are CC0. When doing composings: from Pixabay

Next Post

Haji Abdul Latif Syakur: Ulama Inovatif dan Penulis

Haji Abdul Latif Syakur dikenal sebagai ulama yang produktif yang telah melahirkan banyak karya buku sebagai khazanah Islam.
Haji Abdul Latif Syakur

bakaba terkait