bakaba.co | Bukittinggi | Somasi yang dikirimkan Tim Kuasa Hukum Kaum Suku Guci Tangah Sawah Kamis (28/11) terkait permasalahan sisa pembayaran tanah yang belum diselesaikan pada Rumah Dinas Walikota, tidak ditanggapi secara serius Pemerintah Kota Bukittinggi.
“Apa pemerintah Kota Bukittinggi tidak memahami tata cara administrasi hukum. Surat somasi itu merupakan teguran secara tertulis agar pihak Pemko bisa menelaah serta mencermati permasalahan yang terjadi.
Hal itu disampaikan Zulhefrimen, SH., Kuasa Hukum Suku Guci saat diwawancara bakaba.co, Sabtu (7/12) di Bukittinggi.
Kaum Guci dalam menghadapi Pemko Bukittinggi untuk menyelesaikan sisa pembayaran tanah rumah Dinas Walikota yang dibeli tahun 1974, memberi kuasa kepada tim pengacara Zulhefrimen, SH., Ahmad Zacky, SH, Cori Amanda,SH.,MH.
“Jangan surat somasi tersebut dibalas dengan opini oleh Walikota Bukittinggi Kami telah mengirim surat somasi, langsung ditujukan pada walikota. Sebagai seorang Walikota seharusnya menghargai dan tahu tata cara administratif dalam menyikapi surat somasi,” ujar Zulhefrimen.
Masalah antara kaum Guci Tangah Sawah dengan Pemko Bukittinggi bermula sejak tanggal 13 Mei 1974. Waktu itu Pemerintah Kota Bukittinggi mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 29/wako/1974 untuk membebaskan tanah kaum suku Guci Lui St.Maruhun dan memberikan ganti rugi, luas tanah adalah 2.708 m2
Pemko pada tahun 1974 tersebut menetapkan ganti rugi tanah Lui St. Maruhun Kaum Suku Guci Tangah Sawah senilai Rp. 400 per meter. Untuk pembayaran tahap I, Pemko melalui ahli waris telah membayarkan ganti rugi tanah senilai Rp. 406.200,-
Pembayaran tahap I itu artinya Pemko Bukittinggi baru menyelesaikan nilai ganti rugi tanah untuk seluas 1.015,5 m pada Lui St.Maruhun, dari total tanah yang akan diganti rugi pada tahun 1974. Namun Setelah tahun 1974 hingga 2019, Pemko tidak pernah melakukan pembayaran sisa tanah seluas 1.692,5 m2 lagi.
Tanya Walikota
Wakil Ketua DPRD Kota Bukittinggi Rusdy Nurman dari Fraksi Demokrat, Sabtu (7/12) yang ditanya bakaba.co mengatakan, selaku anggota DPRD sudah menanyakan terkait sisa pembayaran tanah suku Guci tersebut dan segala permasalahannya pada Pemko Bukittinggi.
“Kalau anggaran yang telah diajukan tidak sesuai dengan pihak pemilik tanah Kaum Suku Guci tentu akan menjadi permasalahan hukum nantinya,” kata Rusdy Nurman.
Lebih jauh Rusdy Nurman mengatakan, dia menanyakan pada Pemko kenapa sisa pembayaran Tanah Suku Guci ini dalam pengajuan anggaran sangat tidak masuk akal. Apalagi, Pemko mengatakan surat rekomendasi DPRD itu hanya selembar kertas, itu juga tidak pantas.
“Surat Rekomendasi itu legal dan sah secara lembaga. Mungkin Pemko lupa bahwa DPRD itu memiliki hak dalam penganggaran APBD,” ujar Rusdy Nurman.
Alasan Wako
Walikota Bukittinggi Ramlan Nurmatias ketika mendampingi mantan Wapres RI Jusuf Kalla saat meninjau pembangunan Pasar Atas, Kamis (5/12) yang diwawancarai bakaba.co mengatakan, bahwa permasalahan sisa pembayaran tanah Kaum Suku Guci tersebut telah dimintai legal opini dari kejaksaan.
Baca juga: Rumah Dinas Walikota Bukittinggi “Disegel” Kaum Guci
Sementara dokumen berupa SK DPRD-PGR Tahun 68 berbunyi: membentuk tim penyelesaian tanah eks. Jepang di Balakang Balok. Tanah eks.jepang ini sesuai aturan bernegara dikuasai oleh Pemerintah. Adapun tugas dari tim sesuai SK tersebut adalah : Pertama, Tim menghitung penambahan ganti kerugian seharga Rp. 150/meter. Ke-dua, apabila tanah untuk penambahan ganti kerugian di atas tahun 1968 itu dikonversikan dengan harga emas. Terkait harga ganti tanah pada SK DPRD-PGR Tahun 1968 tersebut senilai Rp. 150 ditambah lagi melalui SK Walikota tahun 1974 menjadi Rp. 400/meter. Dalam hal ini jelas bahwa Pemerintah tidak melakukan jual beli pada masyarakat.
“Pemda dalam hal ini akan melakukan pembayaran berapapun nilainya sesuai aturan. Kalau pihak Suku Guci tidak puas dengan mekanisme pembayaran yang ada silahkan lakukan gugatan di pengadilan saja. Saya hormati langkah yang diambil oleh Suku Guci kalau nantinya menempuh jalur hukum,” ungkap Ramlan Nurmatias.
Eks. Jepang?
Saksi mata, yang juga anak dari Lui St. Maruhun, Jusna Luih (79) saat diwawancara bakaba.co, Sabtu (7/12) menepis apa yang disampaikan Walikota Bukittinggi Ramlan Nurmatias bahwa tanah Lui St. Maruhun adalah tanah Eks. Jepang.
Pada tahun 1974 kata Jusna, dia melihat orangtuanya Lui St. Maruhun membawa uang bersama kaumnya ke Bank BPD untuk menyimpan uang, ditabung.
“Saya kebetulan karyawan bank daerah tersebut. Ayah saya mengatakan uang yang ditabung itu adalah uang hasil dari jual beli tanah di Belakang Balok. Jadi jelas tanah tersebut bukan tanah eks. Jepang.
“Penjajah membeli tanah di kota ini? Para penjajah itu mengambil paksa tanah masyarakat atau ulayat adat. Tanah di Belakang Balok itu merupakan sawah tempat menanam padi bagi kami di saat itu,” ujar Jusna.
Tak ada Damai
Sementara itu N. Dt. Indomo selaku Kuasa Kaum Suku Guci Tangah Sawah menjelaskan pada bakaba.co melalui telpon selularnya, Jumat (6/12), dia menepis isu bahwa Kaum Suku Guci telah berdamai dengan Pemko. Selaku Niniak Mamak tidak mungkin gegabah dalam mengambil keputusan terkait masalah yang sedang dihadapi oleh Kaum Suku Guci Tangah Sawah.
“Isu itu merebak ketika saya menghadiri acara Niniak Mamak yang diadakan Walikota Ramlan Nurmatias di Rumah Dinas. Secara pribadi saya hadir selaku undangan Niniak Mamak saja. Akan tetapi masalah Tanah Kaum Suku Guci tidak bisa selesai begitu saja. Kalau tidak ada kejelasan nilai pembayaran oleh Pemko, kami akan gugat pada jalur hukum nantinya,” kata N. Dt. Indomo.
Fadhly Reza | bakaba