Beberapa hari lalu, saya menerima telepon dari seorang junior yang selama ini sangat aktif, peduli, dan berdedikasi sesuai kemampuan dan kapasitasnya di kampung halamannya. Dia dikenal karena dedikasinya yang tinggi dan integritas yang luar biasa. Selalu menolak setiap godaan finansial, meskipun di tengah gempuran pragmatisme dari rekan seprofesinya. Beberapa waktu lalu, dia memberi tahu saya bahwa pada kontestasi pemilu 2024, dia berencana ikut sebagai salah satu peserta pemilihan legislatif. Saya setuju dan yakin bahwa jika terpilih, ia akan mampu berbuat lebih baik dan amanah.
Dalam obrolan via seluler, saya menanyakan perkembangan pergerakan pencalonannya saat ini. Namun, saya sangat terkejut mendengar cerita junior tersebut tentang seberapa masifnya politik uang saat ini. Perebutan suara rakyat terkadang didasari oleh berbagai motif, tapi “uang atau barang” tampaknya sudah menjadi hal wajib yang harus disediakan oleh calon ketika bersosialisasi untuk meraih suara rakyat.
Dia menceritakan bahwa rasanya rekam jejak menjadi tidak lagi berarti. Uang telah menentukan, sebagaimana dipopulerkan oleh Nucholis Madjid ketika ikut konvensi Capres di partai berlambang beringin, bahwa “gizi” lebih penting dari segalanya. Junior tersebut menceritakan bahwa beberapa calon legislatif yang memiliki “gizi” cukup banyak sudah mulai membagi-bagikan sejumlah dana kepada tim sukses atau kepada masyarakat. Bahkan untuk pertemuan-pertemuan kecil, mereka harus menyiapkan sejumlah dana. Jika tidak, mereka tidak hanya tidak akan dipilih, tetapi malah akan dianggap sebagai calon kere atau calon dhuafa.
Intrigued dengan cerita junior tersebut, saya mencoba mencari informasi dari beberapa kolega atau kenalan yang juga sedang ikut sebagai kontestan pemilu 2024. Dari beberapa komunikasi dengan mereka, saya mendengar bahwa semakin beratnya pemilu saat ini karena semua harus menguras energi dan juga isi saku.
Mereka menceritakan bahwa hubungan kekerabatan, emosional, dan budi seakan tidak berarti lagi karena pemilih sudah sangat pragmatis. Serangan fajar pada pemilu 2019 sangat fantastis angkanya. Ini merupakan hal yang buruk bagi sistem demokrasi kita. Memilih para calon legislatif yang bersedia mengundi diri dengan modal uang, bukan dengan kecakapan intelektual.
Benar, dalam politik ada biaya politik yang secara hukum dibenarkan, namun masalahnya muncul ketika jumlah suara yang diperoleh berbanding dengan jumlah dana yang harus disediakan. Sangat naif jika itu terjadi, karena bagaimana kita bisa menitipkan aspirasi rakyat kepada para calon yang sedang berjuang, jika transaksi uang terjadi dalam perolehan suara.
Sah-sah saja para calon membuat spanduk, baliho, dan berbagai alat sosialisasi sebagai media kampanye, namun jika ukuran keperluan calon hanya karena sebaran baliho atau kampanye massif di media sosial tanpa melihat rekam jejak, integritas, serta kemampuan sang calon, maka pemilu hanya akan menjadi seperti membeli kucing dalam karung.
Jika kekuatan uang menjadi ukuran, maka orang-orang cerdas, berintegritas, dan bermoral jelas tidak akan terpilih karena politik uang melawan nilai-nilai keilmuan dan moral yang mereka jaga selama ini. Ini menyedihkan.
Saya merenung mendengar keluhan junior dan beberapa kolega tersebut karena sebagai akademisi yang pernah ikut kontestasi pemilu 2009 dan pilkada 2017 (meskipun keduanya kalah), saya merasakan dan menikmati perjuangan politik karena masih banyak pemilih yang ikhlas memilih tanpa embel-embel uang. Saya terus menjual ide dan rekam jejak.
Saya pernah berpendapat bahwa puncak politik uang terjadi pada pemilu 2019, mengingat salah satu calon yang terpilih bercerita bahwa dia ditagih oleh pemilih, sehingga terpaksa harus mengeluarkan uang karena lawan lebih banyak dalam jumlahnya. Namun, melihat kondisi saat ini dan melihat pencoblosan 14 Februari, praktek politik uang semakin luar biasa dengan berbagai cara. Pendapat saya bahwa puncak politik uang terjadi pada pemilu 2019 ternyata sangat salah, karena modus dan motif politik uang 2024 jauh lebih luar biasa.
Berbagai pertanyaan muncul dalam pikiran saya di tengah-tengah sengkarut ketatanegaraan dan beban ekonomi rakyat yang berat. Bagaimana negara ini akan baik jika politik sudah sangat transaksional ini? Naif jika para wakil yang terpilih berasal dari transaksi ratusan ribu per orang. Apakah mereka masih memiliki harga diri? Ini menyedihkan.
Saya teringat cerita seorang bapak tua (yang sudah berpulang beberapa tahun lalu) yang saat agresi Belanda kedua dan saat PDRI 1948-1949, adalah seorang pemuda dari nagari Halaban. Dia bercerita bahwa saat pasukan republik dan Mr. Syafruddin Prawiranegara berada di Halaban, masyarakat secara bersama-sama mengumpulkan makanan (beras dan lainnya) meskipun kondisi rakyat saat itu sangat sulit. Mereka berprinsip, “Biarkan beras dan makanan kami berikan pada pasukan republik. Kalau kami harus menahan lapar atau mati karena kelaparan, biarlah. Yang penting pasukan republik bisa makan dan tetap kuat angkat senjata untuk memerdekan negeri ini.”
Setiap kali saya teringat cerita bapak tersebut dan saat mengajar mata kuliah konstitusi di kelas, air mata ini selalu akan keluar bercucuran mengingat kata-kata Bapak tersebut. Betapa cintanya rakyat yang dalam keadaan miskin dan lapar tetap mencintai negerinya dan juga para pemimpinnya. Entah apa yang salah dengan negeri ini dan kepemimpinan saat ini, jika rakyat hanya dihargai sekali dalam lima tahun dengan selembar kertas rupiah.
Negeri ini tidak akan merdeka jika rakyat dan para pemimpin kemerdekaan tidak bersatu padu berjuang demi kemerdekaan negeri ini. Jika pun saat ini kita merdeka, rasanya malu pada calon pemimpin yang hanya menghargai rakyat dengan sejumlah uang. Bangunlah ketokohan dengan rekam jejak dan integritas. Begitu juga pada rakyat, janganlah menerima uang untuk memilih peserta pemilu. Rakyat harus tegas menolak dan melaporkan pelakunya, karena itu merupakan penghinaan pada kedaulatan rakyat.
Malulah pada tokoh bangsa dan rakyat yang dulu sudah memerdekan bangsa ini dengan cucuran air mata dan darah. Harusnya, jika negeri ini ingin menjadi baik, saat menjadi calon yang berintegritas dan juga pemilih yang cerdas serta berintegritas. Bagaimana negeri ini akan maju dan rakyatnya sejahtera jika cara-cara yang tidak beradab dan mengkhianati nilai-nilai demokrasi terus terjadi.
Pemilu yang demokratis dan jujur tidak hanya bisa ditumpangkan pada penyelenggara pemilu, tapi karena ini adalah negeri kita, menjadi tanggung jawab semua warga negara agar terpilih orang-orang baik dan yang terbaik. Jika selama ini politik uang itu seperti “kentut”, dimana baunya ada tapi susah dibuktikan, mari kita lawan “kentut” demokrasi tersebut dengan mengawal pemilu ini agar bersih dari politik uang dengan tagar #Tolak_politik_uang #Lawan_politik_uang #Laporkan_pelakunya. Jika semua sadar bahwa politik uang dalam meraih suara rakyat adalah “kentut dan sampah demokrasi”, maka insyaallah akan menghasilkan orang-orang terpilih. Jika tidak, tunggulah kehancuran negeri ini karena yang terpilih dengan kekuatan uang akan berusaha mengembalikan modalnya dengan berbagai cara, termasuk cara-cara koruptif.
Penulis | Wendra Yunaldi, Dr,SH.,MH, | Dekan Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat
Gambar oleh Marc Hatot dari Pixabay