Menghalalkan segala cara sepertinya telah lumrah dalam setiap perhelatan demokrasi di Indonesia, mulai dari pemilihan kepala desa, walikota dan bupati, gubernur sampai kepada pemilihan anggota legislatif dan presiden. Menghalalkan segala cara seakan-akan menjadi bagian penting dari sebuah model kepolitikan yang berstrategi jitu.
Menghalalkan segala cara merupakan prinsip dasar bekerjanya pelintiran kebencian. Menurut Cherian George penulis buku “Pelintiran Kebencian, Rekayasa Ketersinggunan Agama dan Ancamannya bagi Demokrasi”, telah berhasil mengungkap berbagai “kesesatan” pemahaman berbagai lapisan masyarakat, baik yang terdidik ataupun tidak, memiliki pengetahuan agama yang baik maupun yang tidak. Pelintiran yang dilakukan ternyata berhasil merusak “kesehatan” demokrasi.
Dalam penelitian Cherian George di Indonesia, India dan Amerika, hasutan dan ketersinggungan ternyata telah menjadi sebuah “kultur” politik untuk menentukan sikap perlawanan vis a vis permusuhan, kami dan kamu, kita dan mereka. Adapun argumen-argumen sentral George adalah;
Pertama, pelintiran kebencian adalah teknik politik pertikaian yang secara strategis memainkan hasutan dan keterhasutan, penghinaan dan ketersinggungan, secara strategis. Pelintiran kebencian mengeksploitasi kebebasan dalam demokrasi dengan memperkuat identitas-identitas kelompok sebagai sumber daya dalam aksi-aksi kolektif yang tujuannya tidak prodemokrasi.
Baca juga : Relawan, Pilpres dan Partai
Kedua, pelintiran kebencian perlu dilawan guna melestarikan pilar kembar demokrasi: kebebasan (liberty), termasuk kebebasan berbagi gagasan-gagasan provokatif; dan kesetaraan (equality), termasuk kapasitas untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik, tanpa dihambat oleh diskriminasi atau intimidasi.
Ketiga, minimnya regulasi ujaran kebencian memungkinkan impunitas terhadap aktor-aktor yang menghasut tindak kekerasan terhadap kelompok-kelompok rentan. Norma hak asasi manusia internasional mengharuskan negara melindungi masyarakat dari hasutan yang menyerukan diskriminasi dan kekerasan.
Keempat, regulasi yang terlalu ketat memungkinkan munculnya ketersinggungan yang dibuat-buat, yang pada akhirnya dipakai sebagai senjata politik. Penghinaan yang disengaja dapat dikatakan sebagai tindakan amoral, namun terlalu subyektif untuk dapat dinyatakan ilegal.
Kelima, cara terbaik untuk menjunjung penghormatan terhadap nilai-nilai agama adalah dengan melindungi hak-hak kebebasan beragama dan menganut kepercayaan, serta membuatnya terjamin bagi setiap individu. Upaya-upaya meningkatkan kesetaraan dan mendorong anti-diskriminasi –dan pelarangan tindak kejahatan kebencian (hate crime)– akan lebih efektif dari aturan yang melarang penghinaan terhadap agama.
Dan terakhir; keenam, yaitu penghinaan terhadap agama tidak dapat dimusnahkan, namun dapat disingkirkan dari arus utama politik dengan menerapkan pluralisme asertif yang menggabungkan mekanisme hukum, kepemimpinan politik, aktivisme kewargaan, dan kerja sama media.
Argumen pertama tentang pelintiran kebencian adalah teknik politik pertikaian yang secara strategis memainkan hasutan dan keterhasutan, penghinaan dan ketersinggungan, secara strategis. Isu agama, ras, dan kultur sering menjadi alat memicu terjadinya konflik, pertikaian dan bahkan persekusi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda.
Kelompok sunni dan syi’ah, kepentingan NU dan Muhammadiyah, santri dan abangan, Jawa dan luar Jawa, penganut qunut dan bukan, bid’ah dan bukan bid’ah, serta modern dan tradisional, sering efektif untuk mengkotak-kotakan masyarakat sipil dalam pertikaian yang berketerusan, dan cenderung tidak berkesudahan. Kesan ini menunjukkan seperti dipelihara sebagai aset politik untuk menentukan tipologi politik masing-masing pihak.
Pengalaman Indonesia dengan karakter agama dan budaya yang multikompleks seakan-akan tidak mampu disatukan dalam bingkai bhineka tunggal ika. Pancasila sebagai kalimatun-sawa yang mewakili keberagaman, seakan-akan tidak memiliki kekuatan untuk merekat perbedaan yang ada. Pancasila hanya indah dalam ungkapan, namun sulit untuk diterapkan sebagaimana dikemukakan alm. Buya Ahmad Syafi’ Ma’arif.
Eksploitasi terhadap potensi yang terdapat pada setiap kelompok agama, budaya dan pandangan hidup masyarakat Indonesia, bukan menjadi puzle-puzle penguat demokrasi dan dinamika kepolitikan Indonesia yang Pancasilais, akan tetapi seperti api dalam sekam yang dapat digerakkan menjadi legitimasi untuk membunuh dan membungkam kemerdekaan serta hak-hak kemanusiaan untuk berbeda.
Kita harus akui, ketiadaan wadah yang mumpuni serta kedewasaan berpolitik, dengan mengabaikan pengalaman-pengalaman politik untuk kepentingan sesaat, sebagaimana terlihat pada pilkades, pilkada, pileg dan maupun pilpres yang dilaksanakan. Hal ini menunjukkan sedang terjadi demoralisasi kebangsaan, yang pada akhirnya menjadi penghalang untuk tumbuhnya demokrasi. (bersambung)
Oleh : Irwan, SHI, MH. CMLC.CTLC. | Penulis Peneliti pada PORTAL BANGSA institute
Gambar Ilustrasi oleh Wokandapix dari Pixabay