bakaba.co ~ Pakaian kebesaran seorang Pangulu, pemimpin kaum, pemangku/pemegang adat/sako di Minangkabau, setiap bagian dan atribusinya memiliki makna, arti dan filosofi. Mulai baju, celana, selempang, deta atau penutup kepala, keris sampai ke terompa atau alas kaki.
Dari semua itu, keberadaan keris sesuatu yang menarik untuk diketahui. Menurut paparan Yulfian Azrial dalam buku ‘Menjadi Pangulu’, karih; keris yang menjadi atribut seorang pangulu memiliki makna simbolik, fungsi dan filosofi tersendiri. “Dari sisi makna simbolik, karih melambangkan fungsi sebagai hakim, sebagai penyelesai sengketa atau persoalan di dalam kaum dan nagari,” tulis Yulfian Azrial.
Keris juga sebuah senjata, dan menjadi simbol keberadaan Pangulu. Berbeda dengan keris dari daerah lain, jenis karih Pangulu tidak bermata bengkok atau berliku. Tetapi lurus. “Karih Pangulu di Minangkabau jika dipegang dalam posisi tegak lurus ke atas, dia seperti alif dalam aksara Arab,” Yulfian Azrial menjelaskan.
Ahli adat di Minangkabau memahami hakekat alif sebagai cerminan, dan saripati ajaran tauhid tentang keberadaan Allah SWT sebagai Yang Esa dan penguasa tunggal alam semesta.
“Pangulu di Minangkabau sebagai pemegang hulu karih, dia harus sadar bahwa dia adalah pemegang huruf alif. Pangulu itu khalifah, dia dipercaya sebagai pemimpin dari para pemimpin,” tulis Yulfian dalam bab tentang Keris Pangulu.
Seorang Pangulu, ketika dia mengambil suatu kebijakan atau keputusan, harus dimaknai sebagai kebijakan dan keputusan selaku khalifah. Yulfian menekankan, “Konsekuensi atas kebijakan, keputusan seorang Pangulu, nantinya dia akan mempertanggungjawabkan di hari berhisab, di yaumil hisab.”
Simbol hakim
Keris kata Yulfian mengandung makna simbolis berkaitan dengan fungsi Pangulu sebagai hakim. Seorang Pangulu berfungsi sebagai penyelesai atas suatu sengketa atau persoalan lain dalam kaum, juga nagari.
Di dalam budaya Jawa penempatan keris di bagian belakang badan. Ada juga keris pada suku lain diletakkan di bagian depan sebelah kanan. Beda dengan karih Pangulu di Minangkabau, yang ditempatkan di bagian depan badan dan disisipkan ke sebelah kiri. Secara teknis, dengan gagang miring ke sebelah kiri, keris tersebut tidak bisa langsung dicabut (kecuali pemiliknya kidal –red).
Baca juga: Dilema Pewarisan ABS-SBK di Tengah Marginalisasi Penghulu
Posisi keris Pangulu seperti itu, tulis Yulfian Azrial, jika ingin mencabut, harus diputar dulu ke arah kanan. Makna yang terkandung dari penempatan keris tersebut, seorang Pangulu tidak boleh ceroboh, apalagi emosional. Interval ketika memutar keris ke arah kanan memberi ruang untuk berpikir. Artinya, tidak ada tindak spontan atau langsung seorang Pangulu.
“Pangulu dituntut sabar dan bijak menimbang akibat dari tindakannya. Setiap tindakan Pangulu harus ‘mancancang balandasan, maniti bapamacik’.”
Lahir dan batin
Di sisi lain, karih Pangulu memiliki makna lahiriah dan batiniah. Secara lahiriah, karih menyimbolkan hubungan Pangulu dengan anak-kemenakan yang dipimpinnya. Hal itu terlihat dari unsur ‘ulu’ dan ‘punting karih’. Ada istilah untuk hubungan kedua unsur ini yakni ‘ulu tumpuan punting’. Di mana ‘ulu’ sebagai ikutan karena ‘punting’ masuk ke ‘ulu karih’. Ulu keris dipegang oleh orang yang akan menggunakan. Jadi, ‘ulu’ akan berfungsi jika ‘punting’-nya ada. ‘Ulu’ dalam hal ini simbol Pangulu, ‘punting’ simbol kemenakan atau orang yang dipimpinnya.
Makna secara batiniah atau tampak batin pada karih Pangulu di Minangkabau berkaitan dengan keberadaan ‘ulu’ dengan mata (keris), dan ‘punting’ dengan tali. Makna batiniah keris sejak dulu menjadi sumber ajaran utama bagi setiap pewaris sako atau calon pemimpin di Minangkabau. Ulu, punting dan tali pada keris menjadi simbol dari formulasi tiga unsur di Minang yakni tiga limbago adat yang dirumuskan sebagai ajaran utama bagi setiap Pangulu. Ajaran tersebut adalah adat sambah- manyambah, adat baso jo basi serta adat siriah jo pinang.
Adat ‘sambah-manyambah’ menurut Yulfian Azrial disimbolkan dengan ‘punting’ pada keris. Dalam adat ini dirumuskan tentang tata cara manusia berhubungan dengan Sang Pencipta, Allah SWT. Di sini diatur hal-hal terkait tata-krama, sikap, perilaku, atau adab sopan-santun manusia sebagai makhluk saat berhubungan dengan Sang Khalik.
Adat ‘baso jo basi’ merupakan adat yang dirumuskan untuk mengatur hubungan antar-manusia. Hal-hal yang diatur terkait tata-cara, adab sopan-santun antara manusia dengan manusia lain. Sementara adat ‘siriah jo pinang’, sirih dengan pinang, yang disimbolkan dengan ‘ulu’ pada karih Pangulu merumuskan tata-krama dalam menyampaikan sesuatu yang berlangsung dalam satu kolompok orang.
»asraferi sabri