Perang Padri !, Inilah episode periode pertengahan sejarah Minangkabau. Perang ini merupakan puncak dari gejolak pembaharuan gelombang pertama di negeri seribu datuk di sekitar tahun 1803 hingga 1838.
Mendengar dan membaca Padri, sebagian besar percakapan netizen di dunia maya sepertinya terhubung dengan radikalisme Wahabi di Saudi Arabia yang memicu perang saudara berkuah darah. Bahkan cara berpakaiannya pun kearab-araban seperti pakaian Tuanku Imam Bonjol itu.
“Apakah ada atau tidak ada hubungan langsung antara “timing’ antara gerakan Padri Sumatera Barat dan gerakan pembaharuan Wahabi di Arab adalah soal lain yang sering diperdebatkan,” kata Elizabet E Graves dalam bukunya The Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule Nineteenth Century (1981)
Sesungguhnya ada banyak sumber untuk mengetahui bagaimana gambaran orang-orang Padri sebagaimana digambarkan oleh para peneliti atau penulis yang hidup se-zaman dengan peristiwa tersebut. Pada umumnya sumber itu berasal dari pejabat militer dan administratur kolonial Belanda.
Di antaranya yang paling rajin mencatat adalah Jenderal De Stuers yang menjabat sebagai komandan militer dan residen kolonial Belanda di Padang 1824-1829, Jenderal AV Michiels yang menjabat gubernur Belanda untuk Pantai Barat Sumatera (1837).
Selain itu, ada juga Letnan J.C. Boelhouwer, seorang komandan perang Belanda yang akan dibahas tulisan ini. Apa katanya tentang orang-orang Padri?
Tentang J.C. Boelhouwer
Letnan I Infanteri Joannis Cornelis (J.C) Boelhouwer adalah tentara Belanda yang pernah bertugas sebagai Komandan Sipil dan Militer di Pariaman, Sumatera Barat (Civiele en Militaire Kommandant van Pariaman). Dr. Suryadi Sunuri menulis bahwa ia bertugas di Pariaman selama kurang lebih tiga tahun (1831-1834) dan menjabat Komandan sipil dan militer hanya satu tahun. J.C. Boelhouwer lahir pada 14 Mei 1809 di Didam Nederland dan meninggal di Leiden Provinsi Zuid Holland pada 10 Januari 1883 dalam usia 72 tahun.
Pokok pembahasan tentang Boelhouwer yang akan dibahas di sini adalah pandangan dan catatannya tentang orang Minangkabau terutama di daerah Rantau Minangkabau yaitu Pariaman dan Pasaman, serta beberapa daerah di Tanah Batak.
Catatan itu ia tuangkan dalam bukunya “Kenang-kenangan di Sumatera Barat selama tahun-tahun 1831-1834. Judul asli: Herrineringen van mijn verblijf op Sumatera Weskust gedurende 1831-1834. Penerbit, Lembaga Kajian Gerakan Padri 1803-1838, Padang, 2009.
J.C. Boelhouwer termasuk jajaran tentara Belanda yang bertugas di “Indonesia” yang menulis catatan selama bertugas. Catatannya selama bertugas di Hindia Belanda terutama dalam tulisan yang akan dibahas di sini adalah daerah Minangkabau alias Sumatera Barat.
Sebagaimana sudah ditulis di atas, ia adalah Komandan Sipil dan Militer di Pariaman, Sumatera Barat (Civiele en Militaire Kommandant van Pariaman) selama 1831-1834. Ia bertugas dalam rangkaian aksi untuk memadamkan perlawananan rakyat selama perang Padri di Minangkabau.
Catatan yang ia buat sangat menarik dan ringan, sekaligus menunjukkan sikap humanis dari seorang serdadu yang berada di garis depan dalam pertempuran. Sikap ini menurut Suryadi dalam tulisan pengantar untuk buku Boelhouwer ini karena ia adalah pejabat militer tingkat menengah ke bawah yang tentu saja lebih sering berada di lapangan dan banyak bergaul dengan penduduk pribumi dimana ia ditugaskan.
Boelhouwer pun tak segan-segan makan bajamba tanpa sendok dan garpu bersama para pemimpin pribumi. Berikut disarikan beberapa ceritanya tentang orang-orang Padri yang katanya “Wahabi” itu.
Orang Padri Tak bercelana Cingkrang
Boelhouwer sepertinya membagi orang Minangkabau sesuai dengan kepentingan tugasnya dengan sebutan orang pribumi (Melayu) dan orang Padri. Pembagian itu agak aneh karena, Boelhouwer menyebutkan orang Padri itu sebenarnya orang Melayu juga.
Katanya, “orang Padri adalah orang pribumi, tetapi kira-kira 50 tahun yang lalu seorang pemuka agama yang kembali dari Mekah memberi penerangan bahwa agama yang dianut sekarang sudah menyimpang dari yang seharusnya dan banyak bercampur dengan agama berhala, karena itu harus diperbaiki.” Lebih lanjut, Boelhouwer menjelaskan asal-usul kata Padri. Katanya “pemuka agama dalam bahasa Melayu dinamakan penduduk Padri.”
Ia juga membedakan orang Melayu dengan Padri. Ia menjelaskan, “Dalam segala hal, orang Padri berbeda dengan orang Melayu. Pakaiannya lebih sopan, ia malu bercelana pendek seperti orang Melayu. Celananya sampai ke mata kaki [ternyata tidak itsbal]. Bagian atas ditutup dengan kain, kepala yang botak ditutup dengan sorban putih, janggut dibiarkan panjang.”
Perempuan Padri memakai Cadar
Bagaimana penampilan perempuan-perempuan Padri? Boelhouwer menulis “perempuan-perempuan mereka memakai kudung yang hanya mempunyai lobang untuk mata. Seluruh badan ditutup dengan kain hitam.
Nah, lho? Apakah ada alasan-alasan syar’i yang menyebabkan perempuan Padri memakai cadar? Secara teori pasti ada. Orang-orang Padri pasti paham arti aurat dan aneka ketentuan dalam berpakaian.
Baca juga: Pakaian Orang Minangkabau
Tetapi bagaimana jika alasan mereka menggunakan cadar hanya untuk menjaga perasaan suami mereka? Simaklah tulisan Boelhower berikut, “Orang Padri sangat cemburu terhadap istri mereka, karena itu kita hanya menemukan anak dan perempuan-perempuan tua saja. Orang Padri hanya beristri seorang saja, jadi tidak seperti orang Melayu (Minangkabau).
Orang Padri Membawa Tasbih
Tasbih biasanya digunakan oleh orang Islam untuk menghitung jumlah zikir. Perhatikanlah, “Orang Padri sangat suka membawa Tasbih. “Tasbih tidak pernah dilupakan dan begitu juga sembahyang,” kata Boelhouwer. Lho, bukankah tasbih itu termasuk yang tidak disukai oleh sebagian besar faksi keagamaan yang disebut terhubung dengan orang-orang Wahabi?
Tasbih itu bid’ah kata orang-orang yang konon dituduh Wahabi oleh orang-orang moderat dan washatiyah. Alasannya, tasbih bila digunakan untuk pamer kesalehan adalah haram. Menghitung jumlah zikir juga dianggap sebagai perbuatan tak sopan kepada Allah, yaitu bersengaja menghitung-hitung kebaikan kepada Allah. Selain itu, tasbih merupakan benda ritual agama budha, seperti yang dipakai oleh pendeta-pendeta shaolin.
Orang Padri Percaya Jimat
Wahai, Wahabi Apa ini? Bolehlah meragukan motif Boelhouwer menulis fenomena ini. Ia bercerita, “Orang Padri langsung akan kehilangan nyali begitu mengetahui pemimpin mereka terluka atau terbunuh. Mereka akan kocar-kacir melarikan diri, walaupun sebenarnya mereka hampir mencapai kemenangan.”
Menurut analisa Boelhouwer, hal itu mungkin ada hubungannya dengan kepercayaan di kalangan orang Padri bahwa seorang pemimpin punya tuah dan kekebalan, dan apabila si pemimpin itu terkena tembakan musuh berarti kekebalannya hilang dan itu dianggap sebagai ‘hukuman’ Tuhan karena ia telah melakukan sesuatu.
Itulah di antara keunikan dan kadar ke-Wahabi-an yang dapat disimpulkan dari laporan J.C. Boelhouwer. Terlepas benar atau tidaknya informasi Letnan Belanda itu, ditakar sajalah sendiri. Sebagai pembaca, ada baiknya disimak cara orang Minangkabau menyikapi sebuah berita. Tabik!
Banda urang kami bandakan
banda urang ampek koto
gubalo itiak ka batupalano
Kaba urang kami kabakan
duto urang kami ndak sato,
diambiak sajo nan paguno
*Penulis: Muhamad Nasir, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Imam Bonjol, Padang
**Gambar fitur cover buku Herrineringen van mijn verblijf op Sumatera Weskust gedurende 1831-1834 – google books