Membangun Model Politik Islam Kultural di Indonesia [1]

redaksi bakaba

Presiden Joko Widodo pada tahun 2018 juga pernah dinobatkan sebagai salah satu dari 500 muslim yang berpengaruh di dunia versi Royal Islamic Strategic Studies Centre yang bermarkas di Amman, Yordania.

politik islam Image by Khusen Rustamov from Pixabay
politik islam Image by Khusen Rustamov from Pixabay

Membaca politik Islam di Indonesia, setidak-tidaknya ada dua asumsi penting yang perlu ditegaskan. Pertama, respon negara terhadap Islam cenderung dipengaruhi oleh politik rezim dan pola serta model kekuasaan yang diterapkan. Kedua, respon umat Islam terhadap negara dan pemerintah, cenderung didasari oleh perilaku dan sikap pemerintah serta negara terhadap umat Islam.

Asumsi pertama terkait dengan respon negara terhadap Islam yang cenderung dipengaruhi oleh rezim politik dan pola serta model kekuasaan yang diterapkan. Hal itu terlihat kentara pada rezim Soeharto dengan Orde Barunya dan rezim Jokowi dengan rezim New Orde Baru-nya.

Membandingkan antara rezim Orde Baru era Soeharto dengan New Orde Baru era Joko Widodo mengenai respon politik kekuasaan terhadap umat Islam dan kebijakan mereka terhadap Islam, jelas terdapat kemiripan. Adapun faktor kemiripan tersebut dipengaruhi oleh adanya dukungan militer dan pengaruh elit politik militer terhadap kekuasaan. Soeharto dan maupun Joko Widodo sama-sama menggunakan jaringan pengaruh militer dalam kekuasaanya.

Kuatnya pengaruh militer tentu tidak serta merta tanpa adanya garansi politik yang diberikan oleh militer, tidak saja berupa dukungan elit politiknya, institusinya mulai dari pusat sampai ke desa dan kelurahan sangat kentara. Apalagi, dukungan yang amat kentara diberikan oleh kepolisian untuk mengegolkan program pemerintah pusat.

Baca juga: Arah Baru Kelompok Islam Politik di Indonesia

Sekalipun partai politik bersama-sama dengan politik eksternal yang cukup berhasil bekerja membangun citra dan opini positif terhadap kinerja Joko Widodo serta dukungan konkrit terhadap program-programnya di legislatif. Dukungan partai politik, kecuali PKS, tetap tidak cukup memuaskan rezim untuk mendapatkan suara bulat dalam kekuasaannya.

Besarnya pengaruh “politik eksternal” yaitu para buzzer dan penguasa media informasi yang serba “melindungi” potensi informasi negatif terhadap rezim hal itu ternyata belum mampu meyakinkan rezim untuk tetap menggunakan militer sebagai alat utama penjaga kekuasaan dan termasuk personal presiden sendiri.

Beberapa kasus terkait dengan penghinaan terhadap Islam dan maupun tokoh-tokoh Islam, isu SARA ternyata tidak mampu ditegakkan secara berimbang. Pengaruh sentilan tokoh Islam terhadap rezim dan kebijakannya yang tidak “peduli Islam”, sering dikaitkan dengan sikap politik pemerintah dan negara, sehingga respon negara cenderung reaktif “NKRI Minded”.

Sebaliknya, komentar dan penghinaan yang jelas dan terang ditujukan terhadap Islam dan maupun tokoh-tokohnya oleh mereka-mereka yang cenderung pelaku “politik eksternal” rezim, cenderung tidak diperlakukan sesuai hukum. Mereka dibiarkan berpendapat dengan alasan kebebasan penyampaian informasi yang notabene bagian dari hak asasi manusia.

Politik Belah Bambu

Politik belah bambu yang diberlakukan rezim, disadari sepenuhnya oleh karena kuatnya dukungan politik militer, partai politik dan maupun “politik eksternal”. Kemampuan menutupi lorong suara dan corong kebenaran yang disampaikan oleh pegiat politik sipil Islam, cukup berhasil mengendapkan negara berdasarkan atas hukum dan demokrasi.

Lantas jika asumsi di atas benar, maka tentu semestinya respon politik yang lahir itu adalah semakin menguatkan kecenderungan demokrasi, kebebasan berpendapat dan keterbukaan informasi, baik melalui media online, cetak dan maupun televisi. Akan tetapi, yang terjadi sebaliknya, keberhasilan rezim mematikan gairah kebangsaan dan kenegaraan ber-Indonesia yang demokratis, ternyata didukung cukup banyak masyarakat.

Menarik membaca tulisan di bawah judul “PKS-Jokowi tak Anti-Islam, Tapi Ada Catatan” yang dikutip dalam artikel detiknews, 29 September 2020, ditulis: PKS merespons pandangan profesor dari Australian National University, Greg Fealy, yang menuding pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) anti-Islam. PKS menilai Jokowi tidak anti-Islam, tapi punya sejumlah catatan. “(Jokowi) tidak anti-Islam, tapi ada catatan. Kehidupan berislam di Indonesia baik menurut saya. Tapi bahwa indeks demokrasi punya catatan, iya,” kata Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera kepada wartawan, Selasa (29/9/2020).

Catatan dimaksud Mardani antara lain terkait dengan respons terhadap pelaporan dari umat Islam. Menurut Mardani, ada kesan tidak adil yang timbul saat salah satu kelompok umat lebih diutamakan dari kelompok umat yang lain. Terang-terangan Mardani Ali Sera menegaskan, Joko Widodo “tak anti Islam”, namun kemudian dikatakan ada kesan tidak adil yang timbul saat salah satu kelompok umat lebih diutamakan dari kelompok umat yang lain.

Presiden Joko Widodo pada tahun 2018 juga pernah dinobatkan sebagai salah satu dari 500 muslim yang berpengaruh di dunia versi Royal Islamic Strategic Studies Centre yang bermarkas di Amman, Yordania. Lembaga ini memandang Jokowi sebagai seorang pemimpin yang sangat populis, tidak didukung ulama, tidak berlatar belakang militer ataupun kalangan berada. Semua itu berkat keberhasilan Jokowi dalam membangun sikap keberagaman di antara warga bangsa, yang multikultural.

Tentu dalam persfekif model politik Islam kultural dan pendekatan demokrasi, maka rezim new orde baru tetap memiliki sikap yang ambigu terhadap Islam dan tokoh-tokoh Islam yang populis dan memiliki pengaruh luas di tengah-tengah masyarakat.

Apabila rezim orde baru era Soeharto secara terang-terangan berlawanan dengan Islam dan tokoh-tokohnya, serta secara nyata memperlakukan Islam dan umat Islam secara represif, maka rezim new orde baru era Joko Widodo tidak bersikap represif, sebaliknya cenderung menciptakan model keberagaman yang dibangun di atas keberagaman. Model tersebut ternyata sangat berbahaya oleh karena membunuh Idealisme Beragama dan menghidupkan praktik beragama yang sekular dan nusantara.*

| Irwan. SHI, MH. CMLC. CTLC., Peneliti di Portal Bangsa INSTITUTE
| Image by Khusen Rustamov from Pixabay 

Next Post

Bawaslu 50 Kota Gandeng KI Sumbar

Keterbukaan informasi publik menjadi suatu kewajiban setiap lembaga publik, begitu juga dengan Bawaslu Lima Puluh Kota.