MEMPOSISIKAN KPK sebagai subyek hukum, sebagaimana dilakukan Panitia Hak Angket DPR, adalah bentuk pelanggaran terhadap pelaksanaan suatu UU ( Pasal 79 ayat (3) UU No.17 Tahun 2014 Sebagaimana Telah Diubah dengan UU No. 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD – Selanjutnya disebut UU MD3 dan Pasal 3 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi – Selanjutnya disebut UU KPK)
Menanggapi bahwa KPK adalah lembaga yang menjadi subyek hak angket DPR, karena KPK bagian dari pemerintah, perlu dijelaskan beberapa hal:
Pertama, Independensi KPK:
Dalam Pasal 3 UU KPK, secara tegas menyatakan bahwa : “Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun”.
Terhadap ketentuan kekuasaan manapun, dalam bagian penjelasan Pasal 3 dijelaskan bahwa : “Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “kekuasaan manapun”, adalah kekuatan yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi atau anggota Komisi secara individual, dari pihak eksekutif, yudikatif, legislatif, pihak-pihak lain, yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan dan situasi ataupun dengan alasan apapun.”
Sehingga apabila Hak Angket diberlakukan kepada KPK, maka dapat mengganggu independensi serta tugas KPK dalam memberantas korupsi, karena dalam ketentuan Pasal 205 UU MD3 menyatakan :
(1) Dalam melaksanakan hak angket, panitia khusus berhak meminta pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan.
(2) Panitia khusus, meminta kehadiran pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat meminta secara tertulis, dalam jangka waktu yang cukup dengan menyebutkan maksud permintaan tersebut dan jadwal pelaksanaannya.
(3) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib hadir untuk memberikan keterangan, termasuk menunjukkan, dan/atau menyerahkan, segala dokumen yang diperlukan kepada panitia khusus.
(4) Panitia khusus dapat menunda pelaksanaan rapat akibat ketidakhadiran pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) karena suatu alasan yang sah.
(5) Dalam hal pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak hadir tanpa alasan yang sah, atau menolak hadir, panitia khusus dapat meminta satu kali lagi kehadiran yang bersangkutan pada jadwal yang ditentukan.
(6) Dalam hal pihak sebagaiman dimaksud pada ayat (1) tidak memenuhi permintaan kehadiran yang kedua tanpa alasan yang sah atau menolak hadir, yang bersangkutan dikenai panggilan paksa oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia atas permintaan panitia khusus.
(7) Dalam hal panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah, yang bersangkutan dapat disandera paling lama 15 (lima belas) hari, oleh aparat yang berwajib, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Jika mengacu pada ketentuan Pasal 205 di atas, maka Pansus Angket dapat meminta dokumen-dokumen apapun, termasuk dokumen yang menyangkut tentang penanganan kasus-kasus yang dalam pemahaman subyektif Pansus, bahwa pelaksanaan dalam penanganan kasus tersebut diduga bertentangan dengan undang-undang (misalnya: bertentangan dengan KUHAP).
Baca juga: Laporan terhadap Ketua & Wakil Ketua KPK harus segera dihentikan
Hal ini jelas mengganggu independensi KPK, dari pengaruh kekuasaan legislatif, sebagai pihak yang terkait dengan Tindak Pidana Korupsi yang sedang ditangani oleh KPK, yakni kasus E-KTP.
Artinya pembentukan Pansus Angket KPK telah melanggar Pasal 3 UU KPK.
Kedua, Pertanggungjawaban KPK kepada Publik :
Apabila kita lihat bentuk pertanggungjawaban KPK, dalam pasal 20 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2002 secara tegas menyatakan bahwa: “Komisi Pemberantasan Korupsi bertanggung jawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan.”
Artinya jika kita mengacu pada ketentuan norma di atas, jelas dan tegas dinyatakan bahwa KPK bertanggung jawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya berdasarkan asas kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas (vide Pasal 5).
Bahwa terhadap Presiden dan DPR serta BPK, KPK menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden, DPR, dan BPK (Pasal 20 ayat (1) UU KPK).
Bentuk laporan tersebut misalnya seperti progres/pencapaian KPK dalam pemberantasan korupsi, tentang permasalahan/hambatan yang dihadapi KPK dalam upayanya memberantas korupsi sehingga Presiden dan DPR dapat ikut sermembantu KPK mengatasi hambatan tersebut yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan (Penguatan UU KPK atau Perpres), serta laporan penggunaan keuangan, bukan tentang teknis penegakan hukum yang sedang dilakukan oleh KPK. Karena mekanisme check terhadap proses penegakan hukum ada di ruang pengadilan bukan ruang politik.
Ketiga, Ruang Lingkup Hak Angket:
Menurut saya ada ketidakcermatan dalam membaca pasal yang mengatur tentang Hak Angket DPR.
Pasal 79 ayat 3 UU MD3 menyatakan bahwa: “Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan”.
Jika kita hanya membaca ketentuan dalam pasal 79 ayat (3) memang akan menimbulkan pemaknaan yang berbeda, beda khususnya terhadap frasa “pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah” oleh karenanya pada bagian penjelasan dijelaskan bahwa: “Pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah dapat berupa kebijakan yang dilaksanakan sendiri oleh Presiden, Wakil Presiden, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, ATAU Pimpinan lembaga pemerintaham non kementerian”
Dalam penjelasan tersebut ada beberapa hal yang harus dicermati, yakni
- Penjelasan tersebut bersifat limitatif, artinya tidak bisa ditambahkan tanpa mengubah penjelasan dari pasal 79 ayat (3) tersebut, dan kita dapat melihat bahwa KPK tidak disebutkan dalam penjelasan tersebut. Artinya KPK bukan subyek dari hak angket yang dimiliki oleh DPR.
- Subyek dari pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah adalah terhadap individu bukan lembaga, artinya pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden, Wapres sebagai pimpinan lembaga eksekutif, menteri negara sebagai pimpinan tertinggi kementerian, Panglima TNI sebagai pimpinan tertinggi lembaga TNI, Kapolri sebagai pimpinan tertinggi POLRI, Jaksa Agung sebagai pimpinan tertinggi Kejaksaan, atau pimpinan lembaga pemerintah non-kementerian.
- Subyek dari pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah diberikan pilihan limitatif, yaitu selain Presiden, Wakil Presiden, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung ADALAH : “Pimpinan lembaga pemerintah non kementerian”, dan dan KPK bukanlah lembaga pemerintah non-kementerian.
Untuk mengetahui lembaga-lembaga yang merupakan lembaga pemerintah non-kementerian yang bisa dilihat di website Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN & RB).
Apabila DPR tetap memaksakan menggunakan hak angket untuk KPK, maka sebenarnya DPR telah melakukan pelanggaran terhadap suatu undang-undang, yakni Pasal 79 ayat (3) UU MD3. Karena telah menambahkan KPK sebagai subyek dari hak angket, tanpa melakukan perubahan UU MD3.
Oleh karena itu agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum, maka kami menguji pasal 79 ayat (3) ke MK, untuk meminta penegasan (konstitusionalitas bersyarat) dengan memaknai norma tersebut tetap konstitusional, sepanjang dimaknai tidak lain dari yang telah dijelaskan secara eksplisit, apabila dimaknai lain akan menjadi inkonstitusional.
#Jakarta, 11 Juli 2017
#Penulis; Victor Santoso Tandiasa, S.H., M.H., adalah praktisi Hukum dan Konstitusi dan Kuasa Pemohon JR Pasal 79 ayat (3) UU MD3