~ Dr. Wendra Yunaldi, SH, MH.
Perdebatan mengenai landasan filosofis tentang Pancasila, apakah sebagai weltanschauung atau ideology, masih sering mengemuka, baik di kalangan akademisi maupun praktisi dan masyarakat.
Perdebatan itu disebabkan kompleksitas impact yang terkandung dalam kedudukan Pancasila, jika ditempatkan tidak sesuai dengan konstruksi filosofisnya.
Dalam sejarah awal lahirnya Pancasila pada 28 Mei – 1 Juni 1945, gagasan yang dikemukakan lima orang tokoh seperti Yamin, Soepomo, Hatta, Ki Bagoes Hadikoesoemo dan Soekarno sebagaimana terbaca dalam risalah sidang dan catatan Yamin sendiri, bahwa gagasan tentang dasar negara yang dikemukakan secara filosofis sama sekali tidak bermaksud untuk menciptakan sebuah ideologi baru bagi masyarakat.
Sebagai dasar negara, sebagaimana juga negara-negara lain, seperti China yang dirumuskan Sun Yat Sen dengan 3 prinsip, Amerika memiliki prinsip tugas warga negara, demokrasi, kesamaan dan kebebasan, seperti dikemukakan Lincoln, Bill of Rights dan makalah federalis. Sedangkan Prancis populer dengan Liberté, égalité, fraternité. Artinya, setiap negara memiliki pandangan dunianya terkait dengan kehidupan berbangsa dan bernegara.
- Baca juga: Pandangan Dunia atas Pancasila
Dua istilah besar yang sering bertolak belakang digunakan terkait dengan dasar dan frasa pandangan duniawi bernegara yaitu weltanschauung dan ideologi. Weltanshcauung adalah orientasi kognitif mendasar suatu individu atau masyarakat yang mencakup seluruh pengetahuan dan sudut pandang individu atau masyarakat, termasuk filsafat alami; anggapan fundamental, eksistensial, dan normatif; atau tema, nilai, emosi, dan etika. Pengertian ini menempatkan nilai sebagai hasil tafsiran terhadap dunia dan bagaimana berintegrasi dengannya.
Berbeda dengan istilah ideologi. Ideologi yang diperkenalkan oleh filsuf Prancis Destutt de Tracy pada tahun 1796, yang berasal dari bahasa Prancis idéologie yakni gabungan 2 kata yaitu, idéo yang mengacu kepada gagasan dan logie yang mengacu kepada logos, kata dalam bahasa Yunani untuk menjelaskan logika dan rasio. Destutt de Tracy menggunakan kata ini dalam pengertian etimologinya, sebagai “ilmu yang meliputi kajian tentang asal usul dan hakikat ide atau gagasan.
Mengacu kepada konsep weltanschauung dan ideologi, konsep weltanschauung merupakan cara serta penafsiran terhadap realitas duniawi. Penafsiran itu dapat berwujud theistik, pantheistik ataupun atheistik. Jenis-jenis weltanschauung meliputi materialis dan idealis serta pra ilmiah dan ilmiah maupun rasional dan irasional.
Dalam konteks weltanschauung, tafsiran dan pandangannya tergantung kepada persepsi yang dibangun, di mana terdapat perbedaan antara pandangan orang yang beragama dengan tidak beragama. Pandangan dunia tersebut dipengaruhi oleh tafsiran atas realitas material maupun ideal. Bagi orang beragama, persepsi dan tafsiran mereka sesuai dengan pandangan agama yang mereka terima.
Ideologi bagi Francis Bacon merupakan sintesa pemikiran mendasar dari suatu konsep hidup. Menurut Ali Syariati, ideologi merupakan keyakinan-keyakinan dan gagasan-gagasan yang ditaati oleh suatu kelompok, suatu kelas sosial, suatu bangsa atau ras tertentu. Dengan demikian, ideologi dekat dengan gagasan yang bersumber dari pemikiran tertentu yang dijadikan sebagai nilai atau pun konsep hidup untuk kemudian diterapkan baik oleh pribadi maupun kelompok sosial tertentu.
Lantas bagaimanakah dengan Pancasila? Apakah Pancasila weltanschauung atau ideologi. Mengacu kepada gagasan pendiri awal bangsa, bahwa Pancasila tidak dibentuk dengan idea-idea individu Yamin, Soepomo, Hatta, Hadikoesoemo dan maupun Soekarno Tetapi sepenuhnya dikonstruksi dari tatanan nilai yang hidup pada masyarakat nusantara, baik dari adat, agama, dan budaya yang tidak dimapankan sebagai pandangan dan pengetahuan baru tanpa memaksakan penyesuaian terhadap nilai adat, agama dan budaya.
Pancasila bukan ideologi, sebab ia tidak lahir dari gagasan individual yang tersistematis secara ilmu pengetahuan. Pancasila tidak pernah dijadikan teori ilmu pengetahuan untuk menutupi kelemahan-kelemahan ideologi lainnya. Ketika Pancasila dijadikan sebagai ideologi, maka Pancasila akan menjadi pikiran baku dan beku untuk dapat beradaptasi dengan dinamika perkembangan sosial. Sebab, inti dari gagasan ideologi adalah tertumpu pada sisi anti-tesanya terhadap paham-paham lain, termasuk agama.
Pancasila dengan pengakuannya terhadap Tuhan dan nilai-nilai asli kultural bangsa, membedakannya dengan ideologi yang cenderung menyandarkan kebenarannya kepada realitas idea-idea abstraktif inderawi. Matinya ideologi fasisme dan komunisme serta membabi- butanya ideologi kapitalisme dan liberalisme semakin memperkuat keyakinan kita untuk menempatkan Pancasila pada posisi tafsiran world view yang terbuka dengan dasar nilai adat, agama dan budaya.
Jika Pancasila dipaksakan menjadi ideologi bangsa, maka kebenaran-kebenaran tafsirannya tidak lagi pada sistem nilai dasarnya yang hidup pada masyarakat. Melainkan beralih kepada kebenaran-kebenaran subektif irasional negara dan kekuasaan. Akibatnya, Pancasila tidak lagi sebagai alat melainkan telah menjadi tujuan menggantikan adat, agama dan budaya yang hidup pada masyarakat.*
*Penulis, Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Barat
**Image by Stefan Keller from Pixabay