Bantiang Ketek Gadang Languah

redaksi bakaba

Suara bantiang, sapi itu entah telah berapa kali melenguh memekakkan telinga. Malam berkabut asap, membuntal dari setiap sudut kandang bantiang milik Tan Tojeh.

Bantiang Ketek - Anak Sapi - Gambar oleh ndemello dari Pixabay
Gambar oleh ndemello dari Pixabay

“Moooaaaahhhh…”
“Moooaaaahhhh…”
“Moooaaaahhhh…”

Suara bantiang, sapi itu entah telah berapa kali melenguh memekakkan telinga. Malam berkabut asap, membuntal dari setiap sudut kandang bantiang milik Tan Tojeh. Lelaki berumur pinang lacah ikua; usia matang, masih muda dan menarik, yang akhir-akhir ini agaknya mulai paneh; iri, panas hatinya, melihat kulikat, perangai Nyiak Ngunguah yang selalu mahajan tuah, memuji muji jawi balang puntuangnya.

Baca juga: [1] Jawi Balang Puntuang

Tan Tojeh biasanya adalah lelaki sabar dan tidak begitu memperturutkan lonjak dunia urang, gaya hidup dengan konotasi hedonisme tak urung palak; gerah dalam makna marah dan muak, dan tabik simbabau, seperti orang kesetanan.

Pada suatu hari, pergilah ia ke pasar ternak hendak membeli jawi apapun, asalkan ia juga punya ternak yang dapat pula ia perlanggakkan untuk maatehi, mengalahkan cerita-cerita Nyiak Ngunguah dan jawi balang puntuangnya. Tepatlah bak pepatah orang tua, jikok sadang mujua, dari Jao bareh datang (adagium; jika sedang beruntung, tak perlu bersusah payah, rezeki akan datang dari tempat yang tak terduga).

Pagi ketika Tan Tojeh baru saja turun janjang rumahnya, menghamburlah Angah Mian sembari tersedu. Perempuan paruh baya itu menghiba-hiba, berurai air mata. Walhasil, bantiang ketek perempuan gemuk itu berpindah tangan. Entah apalah derita Angah Mian, perempuan cilako, celaka, yang telah tersebut ke seantero negeri sebagai perempuan si jua-jua, si gadai- gadai (perempuan yang tak hemat, apapun harta kekayaannya akan dijual atau digadaikan hanya demi berfoya-foya).

Tan Tojeh tak ambil peduli dengan janda si jua-jua dan si gadai-gadai itu. Baru purnama yang lalu perempuan itu terdengar menggadaikan antene TVnya. Sekarang terpaksalah perempuan itu membayar sejumlah uang kepada tetangganya, agar tetap bisa anak-anaknya menonton siaran televisi. Caranya menyambungkan seutas kabel dari TVnya ke antene teve tetangga. Sepekan setelah itu, Angah Mian juga telah menjual sampan kaciak, perahu kecil, kepada Mak Kuman. Dua pekan yang lampau, pulau kecil, eh… munggu lalaian parak (tanah sempit yang terpisah selokan kecil dari tanah kebunnya) telah pula menjadi milik Kak Pitok Silok. Seorang rentenir albino bermata sipit dengan perkataan yang amat sangat batangguli; semacam gula tebu yang kental dan amat manis, sudi meminjamkan uang pada siapapun yang membutuhkan. Lalu, dengan kejam merampas tanah atau emas dan perak milik orang yang berutang apabila tak sanggup membayar, bunganya mencekik leher pula. Tiga hari yang lalu, sawah silupak warisan nenek moyang Angah Mian yang tergadai kepada entah siapa, pendek kata singkat cerita, telah tergadai sawah jo banda-bandanya (adagium; semacam telah menjual toko beserta isinya lengkap dengan jaringan bisnis yang semula dibangun dengan susah payah) oleh jando cilako (janda celaka, janda sial) itu.

Tan Tojeh tak ambil pusing, yang penting ia telah memiliki seekor jawi muda degan tubuh sedang, bibirnya merah sensual dan jika berjalan, terlihat lincah maunggek-unggek (megal megol kiri kanan). Sayangnya, bantiang ketek itu jika dilihat baik-baik, amat sangat mengecewakan. Mata bulatnya terlihat bodoh dan idiot. Jika dipasangkan bajak ke kuduknya, ia akan berjalan dengan lutut menggigil, tak kuat ia berjalan lurus. Hasil bajakan sawah menjadi berkelok-kelok serupa ular ditokok kepala. Jika dipasangkan pedati, ia akan terpepeh-pepeh menghela bebannya. Makannya saja yang banyak, perut kecilnya itu tak ubahnya Ngarai Sianok, entah telah berapa truk sampah bertimbun-timbun masuk perutnya, eh… masuk Ngarai Sianok. Tapi ngarai yang indah itu tak juga kunjung penuh.

Untuk si bantiang ketek dengan suara besar itu, tak kurang dari empat rajuk (wadah rumput khas Minangkabau) aneka macam rumput disiapkan Tan Tojeh setiap hari. Tiga belek (kaleng persegi) minyak goreng merek arrow air minum untuk sekali minum telah pula disorongkan ke lawak-lawaknya (alas makanan ternak yang dibuat khusus di pinggir kandang). Tetap saja bantiang ketek cama, sapi kecil rakus itu tak kunjung kenyang dan tubuhnya tetap saja kecil. Hanya suaranya saja yang semakin hari semakin besar, genap sudah dua pekan dipelihara Tan Tojeh. Telah tabik suga (naik pitam) pula Bainar istri Tan Tojeh mainehi (mengurus) selera si jawi. Setiap bantiang ketek itu hendak manyasok (minum tegukan besar) Bainar selalu menggerutu.

“Ndeh, untuang den. Co iko bana lapa gau goh aaa. manyasok ndak sadang sabelek duo sakali manyasok. Seso den ah, lah maneneh-neneh aia ka katiak den ah dek manjujuang belek ka kandang kau. Cah malanguah, cah lah malanguah, litak malanguah, auh malanguah, dingin malanguah lo, manyeso den sen aaaa….” 1)­.

Begitulah Bainar menggerutu, hiruk pikuklah suara di kandang bantiang ketek, entah mana suara lenguh bantiang ketek entah mana suara racauan Bainar.

Bantiang ketek itu hanya melenguh sambil sesekali mengedip-ngedipkan mata bodohnya. Bainar akhirnya hanya mendengus kesal, berlalu dengan hati bak sirangkak ditungkuh 2).

Syahdan, tengah malam pekat. Hujan sedang turun rinai renyai, kilat sesekali merobek langit, ya… malam berkabut asap terbuntal api sebagaimana yang tersebut di awal hikayat ini. Sungguh malam yang mencekam, karena hampir semua penduduk Negeri Jurai Bajiruek sedang dirundung nestapa, pasalnya, Engku Kepala Negeri, telah meletakkan jabatan, entah apalah sebabnya. Menurut desas-desus yang berhembus, tak kurang dari Tek Suna si sanduak pambao kuah (baca kakobeh: Sanduak Pambao Kuah) telah bermandi peluh menghambur dari satu jenjang rumah ke jenjang rumah lain, manete-nete (terseok seok) dari satu tamporo (pintu masuk halaman khas Minangkabau) ke tamporo lain mendesiskan cerita berbisa bahwa Engku Kepala Negeri meletakkan jabatannya tak lain atas desakan Angah Mian yang amat bernafsu untuk mendudukkan anak kesayangannya Buyuang Tabuang sebagai Kepala Negeri Jurai Bajiruek yang baru.

Buncahlah negeri kecil yang semula tenteram itu. Orang banyak mulai kasak-kusuk, lepau kopi penuh sesak oleh ota, obrolan yang berkepusu mengejar-ngejar asap pisok, rokok daun nipah dengan santo, tembakau nomor sebelas. Gelas gelas kopi masih penuh tetapi telah sedingin es. Sesekali ota itu melesat kencang dan tajam, terkadang memercikkan api kemarahan dan kebencian yang kemudian terbang menelusup ke balik atok rumbio, atap rumbia, lepau kopi Tan Tarulaik. Untunglah lepau kopi Tan Tarulaik tidak kumabun (terbakar diamuk api, kebakaran yang tak dapat diatasi). Desas desus yang semula hanya menjadi ota lapau, obrolan ringan, dalam waktu kurang dari sepekan telah menjadi Sigulambai (semacam inti api dalam mistik Minangkabau) yang mengintai siang dan malam. Setiap rumah telah waspada, setiap lelaki mengasah ladiang dan kalewangnya (semacam golok). Menyisipkan sirauik (pisau berkeluk khas pesilat Minangkabau) jika melangkah turun janjang (pergi keluar rumah untuk suatu keperluan) baik siang ataupun malam.

Dalam masa mencekam itulah, bantiang ketek milik Tan Tojeh kembali melenguh memecah malam. Tan Tojeh sontak terhumbalang dari kursi rotan yang ia duduki di beranda rumahnya. Bainar yang sedang menisik baju tergagau, pinjaik manyiak (jarum jahit ukuran paling halus) yang ia pegang tampaknya ikut terkejut. Pinjaik manyiak itu bergegas menyuruk ke dalam telunjuk lentik Bainar. Tan Tojeh terbang turun janjang, Bainar dengan langkah bapetai-petai, terbirit-birit mengejar di belakang sembari mengacung-acungkan telunjuknya yang bergelimang darah, memekik mekik, meracau tak berkeputusan.

Braaakkk. Pintu kandang bantiang ketek ditendang Tan Tojeh, napasnya memburu, kalewangnya teracung-acung, pintu kandang terayun-ayun berkeriutan menggidikkan. Kandang itu gelap gulita tentu, gebrakan pintu, napas Tan Tojeh yang mendengus- dengus serupa napas apak jawi (sapi jantan dewasa) ternyata semakin membuat bantiang ketek itu menggila, menghentak-hentakkan keempat kaki, melenguh-lenguh tak berkeputusan. Bainar manyalese, berjalan pelan sembari bersandar ke dinding, melewati pintu kandang yang tagalede (tergantung hampir lepas), tangan kirinya teracung, bergelimang darah, tangan kanannya memegang lampu cimporong (lampu minyak tanah dengan cerobong kaca bening penahan angin) mulutnya masih melolong-lolong tinggi rendah.

“Ndeeeee… iyo ajab den aaaa… iyo sabana maniayo bana kau yo bantiang. Ndak tantu siang malam, malanguah-languah juo kau aaaa… a lih nan kurang??” 3). Bainar benar benar tabik simbabau (naik pitam), matanya tabulaliak bulaliak (mendelik seperti orang kesurupan).

Tan Tojeh meraih lampu cimporong dari tangan istrinya, menyorongkan ke arah bantiang keteknya. Mulutnya mendesis-desis pelan, terkadang mendecap-decap. Mata bantiang ketek itu sesaat mengerjap senang, detik berikutnya kembali ia melenguh-lenguh. Kedua kaki depannya melejang-lejang, mulutnya berbuih.
“Wayaaiikkk.. dek a kau ko ntiang? Anto co diantu jaek ko kau goh?” 4)

Suara Tan Tojeh terdengar amat kuatir. Bainar menjebikan bibirnya, merutuk habis-habisan. Telah payah ia mengacung-acungkan jarinya ke arah Tan Tojeh, tetapi apa daya, telunjuk lentik berselomotan darah itu tak menarik perhatian Tan Tojeh.

“Tan iyo sajadino yoh? Caliaklah tunjuak ambo, lah bacilomok di darah, pinjaik manyiak cako tarajok juo di dalam tunjuak ambo baru. Aaaaa…. Indak pareha sen Tuan doh, bantiang cinapiah ko juo nan Tuan rusuahan, lalok banalah Tuan jo bantiang ko tidak, nyak mbo taek an kain gaba cah, kasua bialah indak, lalok sen lah di pungguang bantiang ko, ka ganti kasua” 5)

Bainar meracau, bercampur desis sakit, terkadang merintih, terkadang melengking habis-habisan.
“Dek a no goh bantiang ko kiro-kiro Nan? Litak? Auh? Dingin? Lai kau agiah makan cako goh? Manyasok no bagai lai saso go?” 6)

Tan Tojeh mematut-matut batiang keteknya. Semburan kemarahan Bainar seolah hanya desau angin malam saja bagi lelaki gempal itu.
“Ndeeee… Biyai deenn. To mangko bana den dapek laki go? Caro bapambayan jo bantiang den lai bulo taraso aaa…” 7)

Bainar semakin kejat-kejut tak karuan. Bantiang ketek yang sedang melenguh-lenguh sambil menghonjak-honjak itu semakin menggila, entah kenapa. Dari beberapa kandang mulai terdengar lenguh yang bersahutan. Lenguh sapi jantan yang sedang dalam masa birahi.

Mendadak kaki depan bantiang ketek milik Tan Tojeh tergelincir karena terinjak onggokan kotorannya sendiri. Bantiang ketek itu tersirumbam (jatuh dengan posisi muka menghantam lantai), menguik kencang, matanya mengerjap lalu kembali melenguh panjang memekakkan telinga dalam kondisi rebah.

Bainar terhumbalang (jatuh terhempas dengan sedikit terpuntir) akibat guncangan kandang yang ditimpa tubuh si bantiang, muka Bainar persis menancap pada pantat bantiang ketek Tan Tojeh. Kasihan perempuan malang itu, ia gelagapan, tangannya menggapai gapai, kakinya berkelojotan, amat malang nasib Bainar. Belum lagi reda lelahnya mainehi sapi kesayangan suaminya selama tiga dua pekan, telunjuknya ditusuk jarum. Belum lagi selomotan darah itu kering, sekarang mukanya menancap pada belahan pantat sapi betina muda peliharaan suaminya. Sungguh tak putus Bainar dirundung malang.

“Oyayai, iyo bele kau mau Inan, manga du kau sungok i bulo ikua bantiang tun aaaa. Ukan kajo kau koooo…” 8) Tan Tojeh gusar, menarik paksa sanggul istrinya, Bainar terjengit, pipinya menghijau sebelah karena dilumuri kotoran sapi.

“Oooo… sadang manuntuk bantiang ko mah Inan, patuk menah malanguh languah yo co angko ah, basigilan-gilan yo ah. Apak Jawi sialah ka den salang go tangah malam ko eh? Ibo wak ah, lah sasak angok bantiang ko ah”. 9)

Tan Tojeh menghela napas pelan, lega karena telah mengetahui sabab musabab kenapa bantiang keteknya melenguh-lenguh seperti kesetanan.
“Bantiang ko sen lah isi agak agak Tuan yoh, ambo ko indak usah Tuan acuahgan, kalo bantiang Tuan manuntuk, ka Tuan carigan apak jawino tangah malam ko, kalo ambo lah sajak cako tapeda peda (terseok seok limbung) mairiangan Tuan, ndak manjadi agak agak sen di Tuan doh.”

Bainar sekarang telah tabik sijundai (kerasukan sijundai, sebangsa jin dalam mistik Minangkabau yang dapat membuat orang menjadi gila), matanya merah, air liurnya berceceran, rambutnya kusut masai.

“Eh…? Dek a kau Inan? Manuntuk pulo kau? Ka den carigan bulo apak jawi untuak kau?” 10)

Tan Tojeh terlongong, takjub.
Bainar mulai menjambak-jambak rambutnya, memekik-mekik putus asa. Kain sarungnya telah tanggal, baju kurungnya sobek di sana-sini akibat dihentak-hentak oleh kemarahan yang tak lagi dapat ia tanggung. Akhirnya Bainar hanya melolong tinggi merobek langit. Tan Tojeh dan bantiang ketek terlongong menatap Bainar.
“Usah Tuan carigan bulo apak jawi untuak bantiang Tuan ko lai… kana du ka seso bana Tuan mancari ka kandang urang tangah malam ko, nan ado ko se lah, bialah ciek baduo sen ambo jo jawi ko a, rilah ambo bapambayan jo bantiang ketek Tuan ko no goh”.

Bainar semakin menggila, napasnya mendengus serupa bantiang ketek di sampingnya, Tan Tojeh semakin ternganga. Malam meninggi, suara bantiang melenguh semakin bersahutan dari satu kandang ke kandang lain, ditingkahi dengus dan lenguh Bainar, berjawab-jawaban, bertalu serupa gandang katindik (gendang khas Minangkabau). Penduduk Negeri Jurai Bajiruek dilanda kecemasan. Selama dunia terkembang, baru sekali inilah ada suara languah bantiang yang bersahutan dari satu kandang ke kendang lain. Apalagi suara languah yang amat menakjubkan seperti kali ini, berirama syahdu, bercampur desah dan lenguh merdu perempuan yang dihoyak gampo (diguncang gempa) malam pertama. Orang-orang meringkuk ke bawah selimut. Bahkan Inyiak Ngunguah menyungging di bawah kasurnya, saking takut.

~ Penulis seorang aktivis sosial, relawan kebencanaan, penggiat seni tradisi dan budaya Minangkabau, Advokat di SAHATI Law Office, Bukittinggi.

#Catatan:
1). Duhai nasib burukku, rakus sekali engkau rupanya, minummu banyak, tak cukup sekaleng, dua. Lelah sekali aku, ketiakku sudah kuyup karena tetesan air yang ku jujung. Engkau masih saja melenguh setiap saat. Lapar haus, dingin engkau melenguh, benar-benar menyiksaku saja.

2). Keadaan di mana seseorang marah, gelisah, geram, gemas, dadanya sesak tapi tak dapat berbuat apa-apa.

3). Astagaaa… habis sudah akalku, benar-benar menyiksa engkau rupanya, siang, malam engau melenguh juga, apa lagi maumu??

4). Waduh… kenapa engkau? Kenapa seperti kesetanan begini?

5). Abang, benar-benar tega ya? Lihatlah telunjukku, berselemotan darah, jarum jahit tadi masih tertancap di dalam jariku, abang tak peduli sama sekali. Sapi sialam ini saja yang abang khawatirkan, tidur sajalah abang dengan sapi ini, biarlah saya ambilkan selimut, kasur tak perlu, abang bisa tidur di punggungnya sebagai pengganti kasur.

6). Menurutmu kenapa sapi ini Nan? Laparkah? Haus? Dingin? Tadi kau beri makan bukan? Minumnya cukup bukan?

7). Aduh maakkk… kenapa terlalu sekali abang ini? Kenapa begini suamiku? Seperti bermadu dengan sapi saja aku rasanya.

8). Aiihhh..bodoh sekali kau Inan, kenapa kau cium pantat sapi itu? Ada ada saja kelakuanmu.

9). Oooo… sedang birahi sapi ini kiranya Inan, patutlah ia melenguh-lenguh begini, mulai menggila ia. Pejantan siapakah yang bisa kupinjam malam ini? Kasihan sapi ini, sesak sekali napasnya menahan birahi.

10). Eh… kenapa kau Inan??? Apa kau juga sedang birahi seperti sapi ini? Apa perlu pula aku carikan sapi jantan untukmu?

| Gambar oleh ndemello dari Pixabay 

Next Post

Semarak, Pendukung Antar Erman Safar - Marfendi ke KPU

UAS juga berpesan, para pendukung, relawan kandidat Bukittinggi Hebat agar menjalankan protokol Covid. "Jika ada sampah, ambil dan masukkan ke tong sampah. Tunjukkan bahwa kita orang yang beradab, beradat, beragama. Dan yang paling penting kita adalah masyarakat yang paling Pancasilais," kata UAS.
Pendukung Erman Safar ikut iringi ke KPU Bukittinggi foto ist.

bakaba terkait