bakaba.co | Omnibus Law suatu terminologi hukum yang sedang jadi buah bibir, setelah Presiden Joko Widodo mengapungkan gagasan yang berhubungan dengan konsep hukum perundang-undangan.
“Omnibus Law adalah semata-mata untuk merampingkan regulasi, khususnya yang terkait dalam hal investasi.”
Demikian disampaikan Dr. Ahmad Redi, Tim Perumus Omnibus Law dan Direktur Eksekutif Kolegium Jurist Institute (KJ Institute), dalam diskusi media bertajuk “Omnibus law, Untuk Apa dan Siapa?” yang diadakan Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (Mahutama), Senin, 25 November 2019 di Gedung Dakwah Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Jakarta.
Selain Dr. Ahmad Redi sebagai pembicara, juga hadir beberapa tokoh seperti Prof. Aidul Fitriciada selaku komisioner KY dan Ketua Umum Mahutama. Juga hadir mantan Panitera Mahkamah Konstitusi Prof. Zaenal Arifin Hoesein dan Guru Besar Universitas Muhammadiyah Jakarta, serta ahli Hukum Tata Negara, Dr. M. Ilham Hermawan.
Diskusi dipandu Sekretaris Jendral Mahutama dan Akademisi FH Universitas Muhammadiyah Tangerang Auliya Khasanofa. Di awal diskusi Khasanofa mengatakan, bahwa belakangan ini Omnibus Law menjadi terminologi yang banyak dibicarakan. Terutama pasca Presiden Joko Widodo menyinggung akan membuat sebuah konsep hukum perundang-undangan yang disebut Omnibus Law pada pidato pertamanya setelah dilantik sebagai Presiden RI 2019-2024, Minggu (20/10/2019).
Tujuan Omnibus Law
Dalam paparannya Ahmad Redi menjelaskan jika tujuan pembentukan produk hukum ini ialah semata-mata untuk merampingkan regulasi khususnya yang terkait dalam hal investasi sesuai arahan Presiden Joko Widodo.
“UU yang hendak buat sejatinya bertujuan untuk memangkas perijinan yang ditengarai bisa menghambat investasi. Banyak investor tidak mau datang ke Indonesia karena adanya tumpang tindih regulasi,” kata Ahmad Redi.
Ke depan, kata Ahmad Redi, hal ini akan memangkas hampir 74 undang-undang yang dirasakan mengganggu iklim investasi di Indonesia.
Dekosentrasi
Sejalan dengan hal itu, Ketua Mahutama Prof. Aidul Fitriciada Azhari mengatakan, pemberlakuan Undang-undang juga harus disesuaikan dengan bentuk negara dan sistem ketatanegaraa Indonesia.
Pemberlakuan Omnibus Law ini, lanjut Aidul, pada dasarnya mengandung prinsip Dekosentrasi sebagai ciri khas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini dapat berjalan efektif, jika Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan menarik kewenangan pada level daerah ke tingkat pusat.
- Baca juga: Nasib Pemda Terkait Omnibus Law
‘Patut juga disadari, jika Omnibus Law diterapkan dalam sistem otonomi daerah yang bercorak federal seperti sekarang ini akan sangat sulit implementasinya,” Aidul mengingatkan.
Pada aspek lainnya, Prof. Zainal menyoroti jika seharusnya Omnibus Law ini tidak hanya diberlakukan pada regulasi yang berkait dengan investasi semata. Sebab, banyak sekali regulasi-regulasi di Indonesia yang memang ternyata tumpang tindih. Sebagai contoh dalam kekuasaan yudikatif saja, antara UU Kekuasaan Kehakiman, UU Mahkamah Konstitusi, UU Peradilan Umum, UU Mahkamah Agung, di dalamnya berisi Pasal-Pasal yang ternyata bersifat tumpang-tindih antara satu undang-undang dengan undang-undang lainnya.
Meski demikian, regulasi terkait Omnibus Law ini jangan sampai dipahami secara kurang tepat dalam pelaksanaannya. Jangan sampai terjadi kegamangan dalam pelaksanannya.
Narasi kegamangan ini dilontarkan M. Ilham Hermawan yang tidak ingin hanya karena atas nama investasi, tetapi ada hak-hak rakyat yang tercerabut. Ilham Menjelaskan, “jika pada prinsipnya Omnibus hanya menyasar masalah perizinan maka saya setuju akan hal itu”.
Ilham mencontohkan pada sektor Perumahan, bahwa jangan sampai hal-hal terkait harus adanya Keterbangunan 20 persen Rumah Susun baru dapat dijual, penentuan hak suara anggota dalam penentuan Pengurus berdasarkan satu orang satu suara, hanya karena menurut pelaku pembangunan dianggap menghambat investasi, menjadi hal yang turut disasar dalam penyusunan UU ini, yang pada akhirnya ketentuan tersebut dihapus. Ketentuan tersebut jelas tidak berkaitan dengan perizinan, melainkan bentuk perlindungan hukum bagi masyarakat khususnya konsumen, ujar Ilham.
Diskusi media ini ditutup Auliya Khasanofa dengan pesan, Diskusi Media Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah kali ini menghadirkan dinamika pemikiran hukum dan perspektif kritis untuk menghindari omnibus law dari penyalahgunaan kekuasan demi kesejahteraan rakyat dan merah putih yang berkemajuan.
~WY/rel/bakaba