Tiba-tiba teman lama kita punya akun media sosial. Kita terhubung. Kita senang. Lama-lama tidak lagi. Kenapa?
*
Setiap orang punya jiwa jurnalistik, hanya saja tumbuh atau tidak, tergantung perkembangan selanjut.
Jiwa itu tumbuh berkembang bisa disadari bisa tidak. Bila disadari, ia akan menjadi jurnalis dan mengembangkan bakat dan minat itu menjadi lebih baik, terarah dan ia mendapat penghidupan dari situ.
Ada yang tidak disadari, seiring dengan perkembangan teknologi, jiwa itu berkembang pula. Ketika smartphone ada di tangannya, saat itulah perkembangan sangat signifikan terjadi.
Itulah yang terjadi dengan banyak orang yang baru punya smartphone, sehingga hobi sekali melaporkan hal-hal di sekelilingnya lalu diposting di lini masa yang dimilikinya. Kadang-kadang tanpa sensor yang memadai. Misalnya, foto diri sedang pakai baju dalam, sedang di dapur yang berantakan, kadang-kadang memang tak layak lapor ke lini masa.
- Baca juga: Memahami Watak Media Sosial
Semuanya telah telanjang. Hampir tak ada jeda, hampir semua tahu dia sedang di mana, sedang apa. Apalagi ada hal baru bagi dirinya, semua orang tahu dibuatnya. Mulai naik pesawat, hingga destinasi wisata terbaru, dijepret. Sedang kerokan, jepret. Salahkah? Tidak, kadang-kadang terasa garing dan lebay.
Begitulah, bila tiba-tiba ada teman lama kita punya akun media sosial. Kita terhubung. Kita senang. Lama-lama tidak lagi. Risih.
Ada juga yang lebih ekstrem, memotret kepala korban kecelakaan yang tergeletak di tengah rel. Memotret darah-darah pembantaian hewan kurban.
Semua itu menunjukkan seseorang, itu mungkin teman kita, yang memiliki jiwa jurnalistik tetapi tidak memiliki sensor-self. Latah dan tidak tahu tentang lini masa yang memiliki sebab-akibat.
“Smartphone lebih cerdas dari yang punya,” kata wartawan senior, Khairul Jasmi, suatu hari.
Inilah guncangan peradaban di tengah budaya yang tidak siap menerima hal baru. Sebagian kita tidak mau belajar lebih dahulu tentang sesuatu. Langsung pakai. Tidak baca manual.
Ada juga yang sadar, menarik diri, menghapus foto-foto yang tak perlu, mulai menata kata-kata di lini masa. Ada juga yang pindah dan aktif di platform lain, ketika platform sebelumnya begitu banyak hoax dan sampah. Sudah risih. Ada pula yang terus begitu hingga kini.
Hampir satu dekade akrab dengan media sosial, sejak hanya bisa main internet di kantor, hingga kini bisa 24 jam asal ada kuota. Pengamatan ini sangat menarik dikaji lebih mendalam secara akademik. Semoga ada waktu untuk itu. Misalnya fokus, kurenah orang-orang baru bermedia sosial; tahapan fenomena orang baru bermedia sosial.
Beberapa disertasi dengan mengandalkan media sosial juga sudah ada. Media sosial bisa membuat seseorang jadi bergelar doktor dan sarjana. Sekadar menyebutkan, Kontestasi Islam di Facebook: Studi Sosiolinguistik oleh M. Wildan di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Ciputat (Disertasi, 2017). Juga ada skripsi berjudul: Dakwah Islamiyah Melalui Facebook: Studi Lini Masa Buya Masoed Abidin oleh Rafii Hidayatullah Nazari (Skrips, 2013).
Media sosial adalah fenomena yang tak pernah habis. Harus terus dikaji sesuai dengan perkembangan yang akan terus ada. Namun manusianya, itu ke itu juga, beda generasi beda guncangan budaya. Nilainya sama, sama-sama membawa perubahan.
Dulu orang tercengang, hadirnya koran setiap bulan, setiap minggu dan setiap hari. Dulu orang juga terkejut bisa ada foto diri. Sebelumnya hanya ada juru tulis, juru lukis, kini saban menit bisa foto-foto, cetak langsung juga bisa. Kini tak juga hanya koran, ada radio, televisi dan online. Online basis media cetak. Kalau tak ada kuota internet, tak bisa akses.
Guncangan akan reda. Kearifan muncul, ketika ada masalah dihadapi. Begitu juga kedewasaan bersikap dan bertindak. User smartphone kini mulai hati-hati, takut tersandung hukum. Begitu banyak yang sudah mengalaminya. Ada juga yang takut-takut, akhirnya minggir dari lini masa. Ada pula yang mencari akal, membuat akun palsu, jadi buzzer. Semuanya adalah pilihan.
Media sosial, dunia maya, bukanlah dunia lain. Dibutuhkan kearifan, berpikir dulu baru berbuat, juga berlaku di situ. Semoga kita cerdas bermedia sosial, arif dan bijaksana serupa di dunia nyata. Media sosial juga nyata, sebab ada hukum positif, sebab akibat, yang berlaku di dalam smartphone kita. Salam.
*Penulis, Doktor Pemikiran Islam UIN Syarif Hidayatullah/Dosen di Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Dakwah & Ilmu Komunikasi UIN Imam Bonjol Padang
**Gambar fitur oleh Thomas Ulrich dari Pixabay