Seni – Dulu kesenian adalah bagian dari ritual agama. Karena itu kesenian adalah bagian budaya. Bagi banyak suku kesenian bukan sekedar pemberi identitas, tapi juga sumber energi kolektif yang mereka gunakan untuk merajut kohesivitas dan semangat berperang.
Kesenian juga bagian dari kekuasaan. Karena itu, kita kenal istilah seniman istana. Tugasnya menyenangkan penguasa dan menghasilkan produk seni yang disenangi penguasa, baik untuk menghibur diri maupun untuk menunjukkan citra sebagai penikmat seni kepada penguasa lain.
Fenomena kesenian sebagai produk industri baru muncul belakangan. Tapi dorongan luar biasa dari kaum kapitalis, baik dalam keuangan maupun marketing, mampu mencabut kesenian dari budaya dan lingkungan kekuasaan tradisional.
Kini seni bukan lagi bagian dari kekuasaan para raja-raja, tapi bagian dari kekuasaan para industrialis kesenian yang mempunyai jaringan pasar global. Perkembangan kesenian berubah jadi sangat dinamis, kompetitif, dan makin menjauh dari nilai-nilai spiritual.
Pikiran yang belum muncul di Indonesia adalah menjadikan kesenian sebagai sumber pengetahuan. Sekolah seni memang mengajarkan kesenian, tapi tidak menjadikan kesenian sebagai sumber ilmu, tidak mengekstrak pengalaman berkesenian untuk melahirkan teori-teori seni baru. Itu sebabnya dari sekolah kesenian dapat hadir ahli-ahli kesenian yang terampil, piawai mengajarkan kesenian kepada anak didik, tapi tidak melahirkan pemikir/filsuf kesenian.
Baca juga: Diskusi Warga: Seniman Dipinggirkan di Bukittinggi
Tidak lahirnya pemikir-pemikir kesenian tentu berpengaruh kepada cakrawala pemahaman masyarakat –baik seniman maupun penonton– terhadap seni. Tanpa pemikiran dan konsep yang komprehensif kita tidak dapat membawa seni ke dalam diri manusia dan menjadikannya energi untuk membangun peradaban baru.
Seni yang telah tercerabut dari budaya akan tetap berada di luar diri manusia, tanpa nilai transendental, hanya nilai instrumental. Kasarnya, kesenian tak lebih dari sekedar keterampilan dalam menghidupkan aspek estetika yang kemudian bertransformasi menjadi barang dagangan.
Memang, sekarang di mana pun di dunia seni mengalami komodifikasi, tercerabut dari agama dan budaya. Dengan komodifikasi kesenian diarahkan menjadi sekedar skill untuk menghibur dan penghasil produk hiburan untuk dijual.
Setelah mengalami komodifikasi kesenian menjadi material industri budaya –jenis industri yang tidak dikenal di abad-abad lampau. Sekolah kesenian pun terlibat dalam komodifikasi ini dan lebih cenderung menjadi perpanjangan industri kesenian.Tugas utamanya memproduksi buruh-buruh yang akan dipekerjakan di industri kesenian.
Kini semua sudah berubah. Kita tak mungkin mengembalikan apa yang sudah hilang. Tapi kita bisa melakukan transformasi nilai agar kesenian tidak semata-mata menjadi hiburan.
Sekarang harusnya kesenian menjadi sumber belajar. Tidak hanya sekedar material konsumsi. Tidak sekedar tontonan yang segera dilupakan setelah pertunjukan selesai. Sebab kesenian adalah produk kesadaran dan pengalaman manusia.
Dengan menjadikannya sumber belajar kita dapat mengekstrak kesenian untuk mendapatkan energinya dan menggunakannya untuk membangun peradaban. Tak banyak orang menyadari bahwa seni itu makanan bagi batin, dan semakin ia mampu memperkuat batin, peradaban manusia pun semakin berkembang. Tapi kalau kita tidak mampu mengolah energi itu untuk membangun peradaban, seni mungkin hanya menjadi sampah-sampah karena dibuang setelah digunakan.
Bagaimana mengekstrak kesenian agar kandungan energinya dapat dikeluarkan? Saya sudah membuat sebuah metode analisis yang saya beri nama MATA (Metode Analisis Tapisan). Rinciannya dapat dilihat di sini:
MATA fokus kepada pengalaman manusia, khususnya pengalaman komunikasi. Pengalaman komunikasi adalah pengalaman yang sadar. Apakah ada pengalaman ‘tak sadar’? Banyak. Banyak pengalaman lain yang tumbuh tanpa kesadaran, seperti kena tabrak atau tertimpa pohon tumbang. Pengalaman seperti itu tidak dapat jadi material dasar kajian komunikasi.
MATA adalah jalan untuk mendapatkan pengetahuan dari pengalaman, khususnya pengalaman komunikasi. Dengan MATA kita mungkin membangun model-model dan teori komunikasi baru.
MATA mestinya bisa juga digunakan untuk mengekstrak kesenian, untuk mendapatkan makna transendental (makna yang diperoleh secara teknis dan interpretasi). Sebab dalam kesenian ada pengalaman dan ada pengalaman komunikasi. Dengan demikian kesenian pun dapat menjadi sumber belajar, paling tidak untuk melahirkan ide-ide kesenian yang lebih kreatif dan inovatif.(*)
*Dr. Emeraldi Chatra M.I.Kom., Dosen FISIP Unand, Padang
**Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay