bakaba.co | Bukittinggi | Gedung baru DPRD Bukittinggi sejak tiga tahun lalu, setiap tahun dianggarkan, dan selalu batal dibangun. Tahun 2020 ini, proyek bernilai Rp 72 miliar, pemenang tender proyek itu sudah ada, ternyata tanah yang dibeli untuk lokasi Gedung DPRD bagalaik, bermasalah.
“Mestinya yang menyampaikan adanya kahar atau force majeure adalah rekanan pemenang tender itu, bukannya Pemerintah Kota Bukittinggi,” kata Asril, S.E, anggota DPRD Kota Bukittinggi Fraksi Nasdem-PKB yang ditemui bakaba.co
Terkait masalah tanah tempat lokasi akan dibangunnya Gedung DPRD Bukittinggi, tidak ada sejengkal pun milik Pemko Bukittinggi. Pengadilan Negeri Bukittinggi dan Pengadilan Tinggi Padang menyatakan: secara hukum tanah berada di bawah Yayasan Fort de Kock yang memiliki perikatan jual beli dengan kaum pemilik tanah.
Baca juga: Fort de Kock Kalahkan lagi Pemko Bukittinggi di Pengadilan Tinggi
Pembangunan Gedung DPRD yang anggarannya sudah disahkan legislatif, dibatalkan tanpa alasan sesuai aturan berpotensi merugikan keuangan negara.
Pemko Bukittinggi telah menyurati DPRD dan menyatakan pembangunan gedung DPRD ditunda dengan alasan kahar, suatu keadaan yang tidak bisa dielakkan. Alasan itu tidak bisa diterima oleh DPRD Bukittinggi dan DPRD menolak pembangunan kantor mereka ditunda.
“Dari awal kami, anggota DPRD telah mengingatkan terkait kondisi yang terjadi. Tetapi Pemko tidak menggubrisnya. Saya malah dianggap menghalangi pekerjaan Pemerintah Kota Bukittinggi oleh Sekda Yuen Karnova dalam suatu rapat paripurna,” ujar Asril pada bakaba.co.

Seperti tak ada Masalah
Sejak tahun kedua, 2018, Bukittinggi dipimpin Walikota baru, banyak proyek besar direncanakan. Anggaran per proyek belasan, bahkan ada yang di atas seratus miliar. Mulai dari proyek RSUD Bukittinggi, Rumah Dinas Walikota, Gedung Satpol PP, revitalisasi Taman Jam Gadang, Puskesmas, SD/SMP dibongkar untuk dibangun bertingkat, trotoar dibikin baru dengan batu alam dan proyek fisik lainnya. Dan juga direncanakan pembangunan baru Gedung DPRD. Setiap tahun Gedung DPRD dianggarkan, sejak tahun 2018, selalu gagal dibangun. Dananya di-silpa-kan dan dianggarkan lagi tahun berikut. Sementara proyek lain terus berjalan.
Tanah lokasi tempat Gedung DPRD Bukittinggi akan dibangun terletak di Kelurahan Manggih Gantiang. Luas tanah sekitar 8.400 M2. Tanah yang dibeli Pemko ke Syafri St. Pangeran itu, tahun 2007, sertifikat tanahnya termasuk salah satu barang bukti (BB) pengadaan tanah Pemko yang menyeret Walikota, Sekda Pemko Bukittinggi dengan tujuh PNS masuk penjara dalam kasus tindak korupsi pengadaan tanah.
Seolah tidak ada persoalan, di lokasi tanah di Gantiang itu Gedung baru DPRD akan dibangun. Tahun 2018 gagal dibangun, alasan tidak ada akses jalan masuk. Tahun 2018 dianggarkan dana perencanaan, ditenderkan dan siap. Tahun 2019 juga dianggarkan dana pembangunan fisik Rp 70 miliar lebih serta dana pembelian tanah untuk akses jalan. Pembangunan batal lagi meski jalan masuk sudah ada, dibeli di bagian belakang tanah Universitas Fort de Kock.
Sementara Yayasan Fort de Kock sendiri juga memiliki tanah lebih kurang 12.000 m2 yang terletak di Bukik Batarah, Kelurahan Manggis Ganting itu. Persoalan mulai terkuak. Yayasan Fort de Kock menggugat Syafri St. Pangeran, yang menjual tanah ke Pemko Bukittinggi di saat perikatan jual beli masih berjalan.
Meski tahun 2019 sudah muncul masalah tanah, Pemko tetap menganggarkan Rp 72 miliar lebih untuk pembangunan Gedung DPRD pada APBD 2020. Yayasan Fort de Kock menggugat Syafri Sutan Pangeran dan dua anggota kaumnya, Pemko Bukittinggi dijadikan Tergugat IV. Keputusan di Pengadilan Negeri Bukittinggi dan Pengadilan Tinggi Padang, pembelian tanah oleh Pemko kepada Syafri, dinyatakan Pengadilan Negeri Bukittinggi dalam keputusannya: Pemko Bukittinggi sebagai pembeli yang tidak beriktikad baik.
Sejak tanah tersebut dibeli Pemko, tahun 2007, sertifikat tanah yang terbit dengan adanya perjanjian perikatan jual-beli antara Yayasan Fort de Kock dengan Syafri, tidak bisa dipecah dan dibalik namakan. Tetap berupa sertifikat induk atas nama Syafri sampai sekarang dan sertifikat itu dipegang Pemko Bukittinggi. Dengan fakta itu, di lokasi tanah di Gantiang itu, tidak akan bisa Pemko membangun Gedung DPRD Bukittinggi.
Sementara tender Gedung DPRD Bukittinggi sudah dijalankan sejak 23 Desember 2019. Pada 31 Januari 2020, PT Hana Huberta diumumkan sebagai pemenang tender. Tetapi, perusahaan dari Semarang itu, sampai kini tidak juga menandatangani kontrak kerja. Terancam batalnya proyek Gedung DPRD, kontraktor pemenang tender PT Hana Huberta yang merasa dirugikan, mengadukan nasibnya ke Presiden.

Covid-19 Jadi Alasan
Menghadapi masalah terkait tanah lokasi pembangunan Gedung DPRD, Walikota Bukittinggi Ramlan Nurmatias membuat dua pucuk surat ke Ketua DPRD Herman Sofyan. Surat pertama, 10 Februari 2020; nomor: 05/BPJB/II-2020 dan surat nomor: 600.378/DPUPR/CK/V-2020, 21 Februari, terkait penyampaian keadaan kahar serta penundaan pembangunan Gedung DPRD.
Dari kedua surat yang dikirim Pemko ke DPRD Bukittinggi itu terdapat tiga alasan yang dibuat untuk menunda proyek pembangunan Gedung DPRD. Pertama, kondisi dalam keadaan kahar atau Force Majeure; Kedua, adanya Refocusing (rasionalisasi) anggaran belanja modal pembangunan, dan; ketiga, belum adanya kontrak kerja dengan rekanan PT. Hana Huberta selaku pemenang tender proyek pembangunan Gedung DPRD Kota Bukittinggi.
Peringatan Dewan
Pihak legislatif sebenarnya sudah memperingatkan eksekutif Kota Bukittinggi. Wanti-wanti disampaikan pada sidang pendapat akhir paripurna DPRD. Fraksi Nasdem-PKB menyampaikan agar pemerintah kota menyelesaikan dulu permasalahan hukum status tanah yang bergulir pada Pengadilan Tinggi. Tidak harus buru-buru memproses tender proyek fisik Gedung DPRD.
“Sekarang sudah ada pemenang tender. Kalau proyek tetap dilaksanakan Hana Huberta, tentu akan mengalami kendala karena tanah masih dalam proses hukum terkait hak kepemilikan,” kata Asril pada bakaba.co
Usulan Walikota agar proyek Gedung DPRD diubah menjadi tahun jamak, tidak langsung satu tahun anggaran (APBD 2020), tidak direkomendasi DPRD. DPRD menilai, tidak perlu adanya nota kesepakatan tahun jamak.
“Tender sudah dilaksanakan Pemerintah Kota Bukittinggi melalui LPSE dan sudah ada pemenangnya yakni PT Hana Huberta. Tentu mereka sangup melaksanakan pekerjaan tersebut,” kata Asril.
Kondisi kahar, force majeure, darurat Covid-19, tidak bisa dijadikan alasan membatalkan atau menunda pembangunan Gedung DPRD Bukittinggi. Proyek sudah dilegalkan dalam Perda APBD 2020. Apa yang terjadi sekarang tanggung jawab Pemerintah Kota Bukittinggi.
Kalau sudah ada pemenang tender tentu harus ditindak lanjuti dengan surat perjanjian kerja oleh Pemerintah Kota Bukittinggi. Alasan terjadinya pandemi Covid-19, bukankah itu baru terjadi pada akhir Maret 2020. Tender proyek Gedung DPRD dimulai 23 Desember 2019, dan penetapan pemenangnya pada 31 Januari 2020.
“Kalau alasan kahar, force majeure karena Covid-19, kenapa proyek yang lain tetap dilaksanakan seperti proyek di Kebun Binatang, RSUD, dan lainnya,” tanya Asril.
Anggota DPRD Kota Bukittinggi Fraksi PAN Rahmi Brisma termasuk yang dari awal menanyakan legalitas tanah lokasi pembangunan kantor untuk Dewan Perwakilan Rakyat kota Bukittinggi.
Sejak awal Pemko Bukittinggi melalui Sekda Yuen Karnova begitu ngotot dalam rapat gabungan untuk membangun Gedung DPRD. Tetapi saat terjadi refocusing anggaran, malah anggaran pembangunan DPRD yang dihapus duluan.
“Semua apa yang disampaikan eksekutif dalam rapat dengan DPRD, bertolak belakang dengan apa yang terjadi saat ini,” ujar Rahmi pada bakaba.co
Terkait batalnya pembangunan Gedung DPRD, bakaba.co pernah mengkonfimasi pada Walikota Bukittinggi Ramlan Nurmatias saat mengujungi post check point Covid-19 di Jambu Air sebelum habisnya masa PSBB. Walikota tidak mau wawancara apapun. “Wawancara sama Sekda saja,” ujar Ramlan pada bakaba.co, nada suaranya ketus.
Sementara sikap rekanan pemenang tender PT Hana Huberta, tanggal 15 Mei 2020 membuat surat kepada Presiden Joko Widodo. Dalam surat bernomor: 26/PT.HH-DPRD.BT/STIII/05-2020, ditanda tangani Direktur Utama PT. Hana Huberta Drs. Sabar Marigan Tambunan. Mereka menjelaskan bahwa bahwa PT. Hana Huberta adalah pemenang tender pembangunan Gedung DPRD Kota Bukittinggi. Sejak 31 Januari 2020 LPSE Kota Bukittinggi telah mengumumkan pemenang tender namun PPK pembangunan Gedung DPRD Kota Bukittinggi tidak menindak lanjuti pengumuman dengan mengeluarkan SPBBJ dan SPMK sebagaimana ketentuan pasal 85 Perpres Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
“Kami meminta arahan Presiden Ir. Joko Widodo agar pelaksanaan pembangunan Gedung DPRD Bukittinggi dilanjutkan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku,” tulis rekanan PT Hana Huberta dalam suratnya ke Presiden.
Target Penegak Hukum
Dari sisi pandang hukum, pembatalan atau penundaan program setelah penetapan pemenang tender oleh panitia, ada aturan-aturan tertentu dan pola hukumnya. Begitu juga dengan proyek pembangunan Gedung DPRD Bukittinggi.
Menurut Kepala Kejaksaan Negeri Bukittinggi Feri Tas, S.H., M.Hum., M.Si, sebelum Covid-19 terjadi pemenang tender proyek Gedung DPRD Bukittinggi sudah ditetapkan oleh panitia lelang.
“Sekarang timbul permasalahan terkait gugatan perdata antara Yayasan Fort de Kock dengan Pemko Bukittinggi terkait tanah lokasi proyek. Kalau nantinya terindikasi bahwa proyek pembangunan Gedung DPRD tersebut ada maksud dan tujuan tertentu serta tidak sesuai aturan dan relnya akan menjadi target Kejaksaan Negeri Bukittinggi nantinya untuk diproses pada ranah hukum,” ujar Feri Tas pada bakaba.co di ruang kerjanya beberapa hari lalu.
Fadhly Reza | bakaba