Islam politik di Indonesia berbeda dengan praktik yang berlangsung di Pakistan, Arab, Iran dan negara-negara lainnya yang mendeklarasikan identitas kebangsaannya dengan “negara Islam”
Kedududukan umat Islam yang mayoritas sebagaimana negara-negara disebut di atas, tidak lantas bangsa ini juga mengalami proses ideologisasi negara Islam. Indonesia, sekalipun dalam proses konstitusionalnya pernah mengupayakan lahirnya gagasan negara Islam dan kemudian mengalami pengamodasian demokratis dengan menerima negara kebangsaan yaitu Negara Republik Indonesia.
Apakah proses Islamisasi berhenti di Indonesia? Sebenarnya dengan merujuk kepada penggunaan idiom – idiom dalam politik, dinamika politik di Indonesia mengalami proses adaptasi dan lebih kepada sikap “demokratis” menerima konsepsi negara kebangsaan dari pada negara Islam.
Baca juga: [1] Islam Indonesia dan Gagasan Darul ‘Ahdi Wa Syahadah
Pancasila sebagai bentuk rekatan Islam dan Indonesia, secara filosofis memiliki makna yang lebih substansial dan hakiki. Kaidah-kaidah substansial yang terkandung dalam Pancasila tidak bisa dipungkiri merupakan “kesadaran Islamiyah” yang mewujud dalam wajah ke Indonesiaan.
Secara konseptual dan akademis, perdebatan mengenai Islam Politik dan Negara Islam tidak pernah berakhir. Sebagai gagasan, Islam Politik tidak bisa dihentikan, sebagaimana diskursus demokrasi, negara hukum dan sistem ketatatanegaraan di belahan dunia manapun.
Ketegangan yang terjadi semenjak orde lama, orde baru dan maupun orde reformasi, bukankah suatu yang tabu apalagi aneh. Sebab, dinamika perkembangan pemikiran politik sebagaimana juga berlangsung semenjak Plato sampai Rousseu membuktikan bagaimana gagasan tentang negara adalah suatu yang konstruktif dan melekat pada kesadaran manusia untuk menciptakan negara masa depan yang ideal.
Secara sosiologis, pengalaman religiusitas sebagian besar masyarakat Indonesia dengan Islam, menunjukkan bagaimana politik hanya sekedar alat bukan tujuan. Tatanan nilai Islam yang mendorong politik “tidak bebas nilai” semakin menguatkan keyakinan umat Islam akan kebenaran politik yang diisi dengan nilai-nilai ketuhanan akan lebih lebih baik.
Berbeda dengan konsep theokrasi sebagaimana digagas Al-Maududi di Pakistan, penerapan praktik Islam Politik tradisional terbukti mengalami “ketegangan” yang membahayakan kestabilan politik nasional Pakistan. Kekerasan terus menerus terjadi di antara kelompok pronegara Islam dengan kelompok negara nasional.
Wacana yang digagas tokoh-tokoh Islam baik di BPUPKI ataupun Konstituante tidak merebak menjadi konflik horizontal dan vertikal di kalangan umat Islam dan pendukung negara nasional. Kekuatan ideologi tokoh-tokoh Islam dengan meleburkan diri mereka dengan komitmen politik kebangsaan berakhir “damai” dan bersama-sama bersatu dalam negara Indonesia.
Di sinilah “wajah Islam Indonesia” yang oleh Nurcholis Madjid sebut dengan Islam yang damai (pacific). Islam yang mampu menciptakan ruang keshalehan bagi setiap warga negara untuk menerapkan Islam yang lebih baik.
|Dr. Wendra Yunaldi, SH, MH., & Irwan, SHI., MH.
|Penulis, Peneliti pada Portal Bangsa Institute
|Image by Mario Vogelsteller from Pixabay