Syari’ah adalah teks, sedangkan adat adalah realitas yang mengalami perkembangan berdasarkan proses das sein dengan das sollen. Berbeda memang dengan syari’ah sebagai suatu teks, menarik apa yang dikatakan Ali bin Abi Thalib; al-kitab tidaklah berbicara, yang berbicara manusianya.
Teks tidak akan memiliki makna apabila tidak diuji ataupun ditekstualkan dalam sejarah peradaban umat manusia. Berbeda dengan adat, ia adalah kontekstual, mengalami perkembangan berdasarkan peradaban dan tentu yang terpenting adalah tingkat rasionalitas umat manusia.
Oleh karena itu, memang sulit untuk disimpulkan, teks akan memiliki urgensi yang dapat menjawab semua problem kemanusiaan. Sebab, permasalahan umat manusia, baik personal maupun sosial cenderung berkembang sebagaimana berkembangnya pola pikir dan rasio manusia. Pengaruh perkembangan rasio sangat menentukan, bahkan cenderung membentuk karakter masyarakat. Masyarakat tidak akan berkembang, apabila kekuatan pikirannya tidak mampu menangkap masa depannya, dan tentu, yang terpenting adalah seperti ungkapan tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal. Kondisi ini berbeda dengan kondisi teks yang bersifat statis, kecuali bagi orang-orang yang mampu melihat teks, sebagaimana kata Ali bin Abi Thalib di atas.
Baca juga: Wacana Epistemologi ABS-SBK (1)
Adat sebagai gejala-gejala sosial menjadi kenyataan yang pada dirinya sendiri terlepas dari wujud yang terbentuk secara sadar dalam pikiran. Ciri intrinsik yang melekat pada gejala sosial sebagai adat adalah tindakan spontan atau pranata yang menumpuk pada kebiasaan, akal budi dan maupun keputusan-keputusan sosial.
Adat yang benar pasti diterima oleh akal pikiran yang sehat, sebagaimana teks dan literal yang diterbitkan oleh sebuah kitab suci. Antara keduanya tidak ada pertentangan, kecuali jika pada salah satu dilekatkan otoritas mutlak yang hegemonik, maka kuasa mutlak yang melekat pada teks pada akhirnya akan membuat kebenaran praktis yang menumpuk sebagai gejala sosial positif itu menjadi kecil dan tidak bermakna.
Alam, akal dan teks kitab suci sama-sama diciptakan oleh Tuhan. Al-Kindi mengatakan, “segala sesuatu yang terjadi dalam alam mempunyai hubungan sebab dan musabab, sebab mempunyai efek kepada musabab, rentetan inilah kemudian berakhir kepada sebab pertama. Dan Al-Farabi mengatakan, “alam bersifat mumkin (mungkin) wujudnya dan oleh karena itu berhajat pada suatu zat yang bersifat wajib wujudnya untuk mengubah kemungkinan wujudnya kepada wujud hakiki”.
Fariz Fari (5:2, 2018) menulis, dalam konteks analisis dan identifikasi proses epistemologi sangat penting dilakukan dan diuraikan supaya tidak terjadi kekeliruan dalam mengidentifikasi dan menjelaskan tentang perbedaan antara pengetahuan sebagai proses dan pengetahuan sebagai hasil
Dan juga locus terjadinya proses tersebut. Apalagi jika alat atau media proses terjadinya epistemologi ada yang menggunakan term sumber pengetahuan, sehingga misalnya, tidak bisa membedakan teks sebagai proses epistemologi dan teks wahyu sebagai produk epistemologi, atau bahkan menjadi “teks sebagai sumber ilmu pengetahuan”, sehingga menghakimi “adat” tidak Islami, karena, secara epistemologi adat tidak bersumber kepada teks kitab suci.
Ada adagium “ubi societas ibi ius” (di mana ada masyarakat, di situ ada hukum). Menurut Eugen Erlich begitu bertalian erat dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat sehingga membuat hukum menjadi hidup (leben des recht). (Muhammad Erwin, 45, 4, 2016).
Begitu pun dengan bangunan hubungan antara adat Minangkabau dengan hukum adatnya, di mana hukum adat memiliki daya kerja yang konstruktif untuk membangun hak atas ruang hidup dan menyatu dengan kehidupan masyarakatnya.
Menurut Absori (2015), ilmu hukum bukan hanya didasarkan pada kebenaran yang terhimpun dalam Al-Qur’an dan Hadits, tetapi juga berdasarkan kebenaran yang diperoleh dengan kemampuan potensi manusia melalui perenungan, penalaran dan diskursus yang berkembang di masyarakat. Manusia menggali, mengolah dan merumuskan ilmu dengan tujuan tidak semata untuk ilmu tetapi juga untuk kebijakan, dan kemaslahatan masyarakat luas.
Friedrich Engels dalam bukunya ‘Anti-Duhring’ mencoba menjelaskan bahwa materialisme filosofis adalah satu-satunya hal yang dapat mendirikan kesadaran dan pikiran sebagai dua anugerah. Kadang-kadang mereka adalah hal-hal yang ada dan merupakan opposite nature, ini mau tidak mau membuat kita mendapati sebagai persesuaian penuh yang luar biasa antara kesadaran kita akan alam, pikiran tentang maujud-maujud, dan hukum-hukum pikiran.
Membaca pendapat di atas, antara potensi manusia yang terwujud dalam kebudayaan Minangkabau dengan teks wahyu dan sunnah yang tetap, terdapat persesuaian yang menggambarkan hidupnya teks dalam lingkungan adat yang dipraktikkan manusia pada kehidupan mereka sehari-hari. Persesuaian tersebut mendorong untuk penciptaan teori kebenaran atas praktik adat masyarakat.
Hukum yang lahir dari pikiran itu terepresentasikan dalam pemikiran materialisme dialektika dan bekerja sesuai dengannya, sebagaimana juga terepresentasikan dalam pikiran idealistik dan metafisik juga. Konsep adat dan maupun syarak sekalipun persepsi inderawi tidak berarti bahwa di antara keduanya mesti sama, setidaknya simbol dari praktik sosial itu dapat menentukan arah prilaku masyarakat pada tujuannya untuk mendapatkan kebenaran. (Bersambung).
Irwan. SHI. MH. CMLC.CTLC. | Penulis Peneliti pada PORTAL BANGSA Institute
Image by Ozant Liuky from Pixabay