Surau dan Epistemologi Minangkabau

redaksi bakaba

Fungsi lain dari surau adalah tempat tinggal sementara anak dagang atau orang yang mampir. Kalau ada orang dalam perjalanan kemalaman, karena tidak ada hotel, boleh menumpang semalam dua malam di surau itu.

Surau - Belajar Agama Image by Darwis Alwan from Pixabay
Image by Darwis Alwan from Pixabay

Surau Minangkabau – Di kampung saya dulu banyak surau. Tiap kaum punya surau. Fungsinya tempat mengaji, tempat tidur anak-anak laki-laki mulai dari yang baru akil balig sampai yang sudah mau beristri, orang-orang tua (juga laki-laki). Kaji yang utama di surau adalah kaji agama. Setelah itu kaji adat. Kalau malam yang muda-muda belajar bersilat di belakang atau depan surau. Bergelap-gelap karena suluh yang digunakan tidak cukup terang sinarnya.

Surau paling besar di kampung saya namanya Surau Datuak Alam. Datuak Alam itu kakek kandung saya, ayah dari ibu saya. Beliau penghulu, tapi juga guru mengaji di surau itu. Kini surau itu sudah tidak ada lagi.

Mereka yang tinggal di surau itu semua dari kaum yang sama. Di Surau Datuak Alam cuma berkumpul laki-laki dari kaum (urang) Parobek. Dari kaum lain tidak ada. Mereka orang bersaudara dari garis ibu. Tapi kadang-kadang berkelahi juga.

Saya masih mendapati sisa-sisanya. Surau yang terakhir di kampung saya Surau Datuak Alam itulah. Kini telah berganti jadi rumah biasa.

Fungsi lain dari surau adalah tempat tinggal sementara anak dagang atau orang yang mampir. Kalau ada orang dalam perjalanan kemalaman, karena tidak ada hotel, boleh menumpang semalam dua malam di surau itu.

Di surau-surau yang ada di Minangkabau itulah diajarkan epistemologi Minangkabau yang berbeda dengan epistemologi Barat. Apa yang benar dalam epistemologi Minangkabau tidak sama dengan yang benar dalam epistemologi Barat. Tapi karena sekarang semua orang Minangkabau sudah dididik di sekolah yang mengajarkan pendidikan Barat –juga dengan epistemologi Barat– maka hilanglah kekayaan intelektual yang sangat berharga dari Minangkabau.

Baca juga: Revitalisasi Fungsi Surau

Hilangnya surau tentu sebuah kerugian nonmaterial bagi orang Minangkabau. Tapi kerugian yang sangat serius adalah hilangnya filsafat ilmu yang khas Minangkabau. Filsafat ilmu yang membuat orang Minangkabau berpikir sebagai orang Minangkabau. Kini yang terjadi orang Minangkabau berpikir seperti orang Barat atau Arab.

Di surau itulah diajarkan oleh guru seluk-beluk filsafat Alam Takambang Jadi Guru. Dalam filsafat ini berguru tidak hanya kepada orang yang hidup, tapi juga kepada makhluk-makhluk lain: berguru kepada burung-burung, kepada angin yang berkisar, kepada kelakuan jawi, dll. Ini tidak diajarkan di sekolah modern.

Kakek saya dulu suka bertanya kepada anak-anak yang tinggal di surau ketika mereka datang dari tempat yang agak jauh –misalnya kampung sebelah. “Apa yang tampak olehmu tadi– sepanjang jalan?” Ini pertanyaan sederhana. Tapi itulah pertanyaan ‘ilmiah’ pertama yang diajarkan kepada generasi muda.

Dengan pertanyaan sederhana itu anak-anak diajari mengamati apa yang ia temui di jalan. Agar bisa menjawab, mereka tidak boleh berjalan mendudu saja seperti kuda bendi yang tidak melihat kiri kanan.

Mengamati itu pekerjaan ilmiah yang paling utama. Istilah akademisnya: observasi. Jadi sebelum Barat datang memperkenalkan metode observasi orang Minangkabau sudah menjadikannya kegiatan sehari-hari.

Sekarang surau sudah habis. Tidak ada lagi wadah untuk melestarikan tradisi mengamati itu.

Akibatnya sekarang cara berpikir orang Minang sudah berbeda-beda. Ada yang berpikir seperti orang Barat, Arab, Cina atau Jawa. Makanya kalau membahas satu masalah mereka suka seperti mengadu jarum penjahit dan tahan santiang. Tak ada yang mau mengalah. Semua merasa pandangannyalah yang benar.

Sekolah modern baru mengajarkan observasi di perguruan tinggi. Orang Minangkabau zaman dulu mengajari anaknya sejak masih kanak-kanak. Di perguruan tinggi tidak pula semuanya diajarkan sampai matang. Saya pikir inilah penyebab mengapa orang Minangkabau mengalami kemuduran dalam ilmu pengetahuan.

~ Penulis, Dr. Emeraldy Chatra, Dosen FISIP Universitas Andalas
~ Image by Darwis Alwan from Pixabay

Next Post

Hak Pedagang Hilang Saat Setujui Sistem Sewa

"Saat pedagang pemegang hak kartu kuning Pasar Atas menerima digratiskannya biaya sewa toko oleh Pemda selama enam bulan, berarti setuju sistem sewa maka hak dasar atas toko yang selama ini dimiliki pedagang hilang untuk selamanya."
Sistem sewa pasar atas pedagang rapat

bakaba terkait