RUU HIP Image by ibnuamaru from Pixabay

‘RUU’ HIP Hura Hura

Fery Chofa, S.H,. LLM.
Fery Chofa, S.H,. LLM.

RUU HIP – Meski kemudian banyak dikritik sebagai egoism dan dominasi mayoritas, namun teori Jeremy Bentham tersebut masih tetap relevan dengan kekinian terkait pembentukan undang-undang.

Kebahagiaan terbesar dari banyak oranglah yang akan menjadi tolak ukur berhasil-guna dan berdaya-gunanya sebuah undang-undang yang dibentuk oleh lembaga legislatif.

Setiap kebijakan yang akan dilahirkan dalam bentuk legislasi harusnya memberikan kebahagiaan dan kepuasan masyarakat banyak, bukannya meresahkan dan menyengsarakan rakyat.

Inilah fakta yang terjadi saat ini dengan Rancangan Undang-Undang tentang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang merupakan hak inisiatif DPR dan menjadi prioritas mereka untuk dibahas tahun ini.

Bukannya peka dengan situasi kondisi memprihatinkan masyarakat di tengah musibah pandemi global Covid-19, RUU HIP yang sudah diajukan ke Presiden ini malah menimbulkan kegaduhan publik baru. Untung saja, kali ini pemerintah mengambil sikap bijaksana dengan mengembalikan RUU tersebut untuk ditunda pembahasannya.

Baca juga: Pandangan Dunia atas Pancasila

Dari soal awal kelahiran, substansi rumusan hingga penafsirannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Pancasila dari waktu ke waktu terus mengalami diskursus berkepanjangan. Paradoksnya, Pancasila tetap eksis dan terbukti fungsinya sebagai dasar dan ideologi negara yang menjadi alat pemersatu bangsa Indonesia yang sangat majemuk.

Sepertinya setiap rezim penguasa di setiap zamannya tidak pernah berhenti dan merasa harus untuk mengeksploitasi Pancasila sesuai dengan tafsiran dan kepentingannya sendiri. Tidak terkecuali dengan RUU HIP yang diinisiasi DPR. Sepertinya kita tidak pernah berhenti mengulang kesalahan yang sama dan terjebak, selalu di jurang yang sama.

Naskah Akademik

Ambyarnya naskah akademik polemik RUU HIP diawali dan tidak bisa dilepaskan dari naskah akademik rancangan undang undang tersebut. Banyak hal yang patut dipertanyakan kelayakannya sebagai sebuah naskah akademik, baik format maupun substansi/materi yang tertuang di dalamnya.

Naskah akademik, secara normatif sebagaimana yang diatur Pasal 1 angka 11 UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah hasil penelitian atau kajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.

Dari sisi format, beberapa hal perlu dipertanyakan kejelasannya. Pertama; Naskah Akademik RUU HIP tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena tidak jelas dan tidak diketahui siapa pengusul dan penyusunnya. Tidak jelas apakah fraksi, gabungan fraksi dan siapa saja tim pakar yang terlibat dalam penelitian dan pengkajiannya. Tidak mengherankan, sekarang muncul saling tuding dan lempar tanggung jawab di DPR.

Kedua; sistematika penulisan tidak memenuhi standar yang ada, seperti tidak adanya kata pengantar dan daftar isi. Receh memang, tapi tetap tidak menggambarkan layaknya sebuah naskah dengan standar akademik. Terkesan dikerjakan asal asalan.

Dari substansinya, banyak poin penting yang entah sengaja diabaikan dan jadi celah kritikan. Pertama, pembahasan isu pokok Pancasila sebagai haluan, dasar dan ideologi negara sangat dangkal dan ada tendensi pembenaran yang diarahkan kepada pandangan dan pendapat satu individu tertentu saja. Dalam hal ini hanya mengapungkan Pidato Soekarno pada sidang BPUPK 1 Juni 1945.
Padahal kelahiran Pancasila itu penuh dengan pergulatan perdebatan dan dialektika pemikiran para perumusnya sebelum disepakati menjadi grundnorm negara. Sepertinya arwah Bung Karno dan bapak bangsa lainnya yang berjasa seperti Muhammad Yamin, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Soepomo, Agoes Salim, Bung Hatta dan yang lainnya akan menangis meratapi pengabaian yang dilakukan oleh lembaga perwakilan rakyat ini.

Kedua, referensi dan literatur yang digunakan dalam naskah akademik tersebut sangat miskin dan minim sekali. Hanya merujuk kepada beberapa teori, pandangan dan pendapat dari pakar dan ahli tertentu saja. Rujukan itu pun lebih banyak muncul di Bab Pendahuluan, khususnya Sub Bab Latar Belakang.

Bahkan, dalam bab-bab selanjutnya yang justru menjadi inti pembahasan, sumber referensi yang digunakan hanya mengulang-ulang pendapat dari buku salah satu anggota fraksi pendukung RUU HIP tersebut. Sangat narsis sekali. Padahal begitu banyak tulisan dan buku dari berbagai pakar dari berbagai keahlian yang bisa memperluas cakrawala pemikiran tentang Pancasila dan ideologi negara.

Baca juga: Soekarno, Pantja Azimat dan Ideologi Bangsa

Ketiga, metode penggunaan data dan sumber data yang disebut menggunakan data primer berupa Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara dengan pakar terpilih. Tidak dijelaskan dalam pembahasan apa, bagaimana, melibatkan siapa dan pakar mana saja hasil FGD dan wawancara tersebut. Sungguh sebuah naskah yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.

Keempat, naskah ini semakin amatiran dengan tanpa rasio dan logika yang jelas merumuskan perasan lima sila menjadi trisila hingga ekasila sebagai Ciri Pokok Pancasila yang akan ditetapkan dan diatur dalam RUU HIP. Padahal ini hanyalah salah satu pandangan dari pidato Soekarno dalam sidang BPUPK, bukan sesuatu yang resmi dan sah diputuskan secara bersama.

Hura Hura RUU HIP

Ambyarnya Naskah Akademik RUU HIP sebagai fondasi perumusan norma-norma tidak pelak berujung kepada kisruhnya materi muatan RUU HIP yang menuai banyak kecaman dan penolakan dari berbagai elemen masyarakat. Mulai dari soal tidak dicantumkannya TAP MPRS XXV/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan Larangan Paham Komunisme/Marxisme-Leninisme, pemerasan Pancasila menjadi Trisila dan dikristalisasi menjadi Ekasila, sinkronisasi dengan perundang-undangan lainnya yang tidak jelas, hingga kepada pengisian keanggotaan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dari unsur TNI/Polri aktif.

Lucunya, setelah munculnya beragam penolakan dan dikembalikannya rancangan undang-undang tersebut oleh Pemerintah ke DPR, banyak fraksi yang semula mendukung dan ikut menandatangani RUU tersebut buru-buru cuci tangan dan lempar tanggungjawab.

Berkaca dari pengalaman yang ada yang semestinya juga menjadi pembelajaran bagi DPR sendiri, Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan pembentukan undang-undang sepertinya bagaikan sebuah arisan atau pertemuan hura-hura sebagaimana tergambar dari dangkal dan kacaunya Naskah Akademik dan RUU HIP itu sendiri.

Lex dura sed tamen scripta, Undang-Undang memang kejam namun demikianlah adanya. Jangan sampai undang-undang yang dibuat oleh para wakil rakyat ini hanya melukai perasaan dan nurani rakyat sendiri.

Penulis, Fery Chofa, S.H., LLM., pengajar di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat, Bukittinggi. Alumnus Universiteit Maastricht, Netherlands.