Manusia membutuhkan informasi sebagai hak tetapi dalam kehidupan yang serba bergegas ini, sikap teologis sangat menentukan, bagaimana seseorang menempatkan informasi yang didapatkannya. Itu pula yang akan menjadi pandangan, sikap, mungkin juga menjadi tindakan. Bagi pemberi pesan, hal ini harus dipertimbangkan agar setiap informasi yang diproduksi tidak menjadi sampah. Revitalisasi peran kehumasan sangat perlu dilakukan di era digital ini. Perubahan yang paling signifikan ketika media massa tidak lagi pemain tunggal, ada media sosial yang justru lebih mendominasi dengan kuasa viral dan tagar (#). Tingkat oplah, share pendengar dan share pemirsa milik media massa bukan lagi satu-satunya ukuran capaian puncak wacana. Kuasa wacana media massa ditikung oleh media sosial sebagai pasar wacana yang lebih cepat dari sebelumnya. Sayangnya, awak media massa justru mengikuti –mungkin juga menghamba– seluruh pola isu yang ada di media sosial.
Hal inilah membuat penguatan di bidang kehumasan sangat mendesak dilakukan bagi lembaga-lembaga yang menyadari pentingnya kredibilitas. Kini ada perilaku publik yang berubah seiring dengan kemajuan teknologi informasi. Perusahaan swasta sudah lebih dahulu menyadari hal ini dengan ditandai penyiapan tenaga khusus di bidang media sosial di divisi humasnya. Pelayanan publik di media sosial lebih interaktif, cepat, tepat dan langsung lebih solutif. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga telah melakukannya sejajar dengan pihak swasta.
Hanya saja, revitalitasi kehumasan di lembaga pemerintahan sedikit terlambat, jauh di belakang dan kurang greget. Sehingga tidak mampu menepis sikap kritis, caci maki dan kebencian terhadap pemerintah dan pemimpin lembaga di media sosial. Ada kekalahan wacana dari pengelola negara sehingga publik lebih menguasai wacana di media sosial. Satu sisi ini positif bagi demokrasi kita tetapi sisi lain, kelihatan betapa lemahnya pemerintah dalam mengelola dinamika informasi yang berkembang. Alih-alih mampu meredam dan mendominasi wacana, pemerintah justru sering menggunakan tangan besi terhadap mereka yang dianggap kritis. Ini jelas keliru dalam semangat demokratisasi yang kita impikan.
Baca juga: Cara Baik Melawan Gempuran Informasi
Seiring perkembangan teknologi informasi yang kita gunakan, lahirnya medium baru, peranan humas dalam membangun citra (image building) bukan pekerjaan sederhana. Peran lama memang masih perlu tetapi mesti ada nilai tambah (added value). Humas memang tidak harus memiliki medium sendiri, seperti media cetak, radio dan televisi. Jika ada anggaran, kesempatan untuk mendirikan maka bisa dilakukan sebagai media komunitas yang diatur dalam UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Selama ini, humas yang cakap telah bekerja sama dengan media mainstream. Pada perkembangan sekarang, tidak mungkin sekadar menyampaikan dan menulis berita untuk disiarkan ke media mainstream. Kehumasan harus dimenej secara profesional tanpa celah buruk agar bisa mencapai hasil yang maksimal. Model-model dan langkah public relations yang ditawarkan James E Grunig dan Todd Hunt (1984) harus dielaborasi sesuai dengan kondisi kekinian. Lebih-lebih ketika gadget sudah berada di tangan publik, akses informasi sudah terbuka, teknologi informasi sangat mendukung, humas harus memiliki dan mengelola kanal youtube dan akun resmi lembaga di seluruh media sosial (facebook, instagram, twitter, google+, linked, dll). Lembaga yang tak peduli ini akan ketinggalan jauh.
Memiliki medium sendiri juga belum cukup, dibutuhkan pengelolaan yang profesional dan mampu menjadi penopang eksistensi lembaga. Di sinilah perlu ada tenaga baru, seperti pihak swasta yang telah menyiapkan tim media sosial, lembaga pemerintah juga harus menyiapkan tim ini. Mereka terdiri dari konten kreator, jurnalis, seniman, budayawan, yang memikirkan isi dan strategi informasi yang hendak disampaikan berdasarkan kepentingan lembaga dan publik.
Bagaimana mengemas konten yang bersaing dengan berbagai informasi yang datang? Di sinilah perlu strategi. Strategi membutuhkan pemikiran pula, menyangkut harapan, tujuan, serta timbal balik (feed back) yang diharapkan dari publik. Feed back ini tentunya sesuatu yang positif, termasuk kredibilitas lembaga.
Konten dan Strategi
Selain memiliki media sosial, kanal youtube, konten dan strategi kemasan sangatlah menentukan keberhasilan program kerja humas guna mendukung keseluruhan kepentingan lembaga. Konten yang bagus jika tidak didukung strategi menyampaikan, momentum, dan media yang tepat akan sia-sia. Media yang banyak tetapi konten yang buruk juga akan menjadi sampah informasi. Strategi yang buruk dengan konten yang baik, dengan media yang baik, juga tidak akan sampai. Karena itu, tiga komponen ini harus sama kuatnya agar informasi sampai ke seluruh warga yang dituju.
Berpindahnya pola serapan informasi masyarakat satu medium ke medium lain, dengan banyaknya pilihan-pilihan, materi informasi yang disiapkan hendaknya benar-benar menarik perhatian dengan momentum yang diperhitungkan secara tepat. Kini publik merdeka memilih medium yang tersedia dan informasi yang menarik. Satu lagi, pola interaktif telah mematahkan pola komunikasi satu arah yang dibuat oleh media massa mainstream. Kondisi ini memaksa kerja kehumasan tidak lagi mudah seperti biasa. Harus siap berinteraksi langsung dengan publik yang membutuhkan informasi. Banyak ditemukan lembaga pemerintahan yang lamban merespon interkasi publik sehingga memperburuk citra lembaga tersebut. Media yang seharusnya mengangkat kredibilitas lembaga justru sebaliknya, anomalistik, karena tidak dikelola secara sungguh-sungguh.
Humas bertanggung jawab untuk memberikan informasi, mendidik, meyakinkan, meraih simpati, dan membangkitkan ketertarikan masyarakat akan sesuatu atau membuat masyarakat mengerti dan menerima sebuah informasi. Bukan sekadar menyebar informasi setelah itu selesai. Bukan pula menjawab setiap pertanyaan lalu berhenti. Humas harus berdiri paling depan menyebarkan informasi dan menerima feed back secara berulangkali. Pola interaktif inilah yang membuat masyarakat bisa memahami lebih baik. Masyarakat merasakan bagian dari program kerja yang dibuat oleh lembaga, inilah yang diperlukan.
Baca juga: Kebenaran Bungkam karena Kekuasaan
Pelibatan pihak-pihak berkompeten penting dilakukan, agar kemasan informasi kepemiluan di era pandemi Covid-19 ini menarik untuk dikonsumsi publik. Publik akan tertarik terhadap informasi apabila mengandung kedekatan pada diri mereka (proximity), keunikan (uniquely), melibatkan tokoh idola (prominent). Tiga hal ini merupakan nilai berita (news value) yang digunakan oleh para jurnalis di media massa. Masih ada nilai berita yang lain, tetapi ini yang paling kuat bisa digunakan oleh Humas sebuah lembaga. Berita yang viral di media sosial, umumnya bernilai uniquely, kadang-kadang berbalut tragedi. Berita dikemas biasa-biasa saja hanya menjadi berita biasa.
Langkah-langkah strategis perlu dilakukan dalam menyebarkan informasi. Paling tidak, perlu diperhitungkan: target audience, skala pencapaian, media yang tepat, serta anggaran yang memadai. Secara umum, strategy public relations itu membutuhkan pendekatan. Di antaranya pendekatan sosial budaya, persuasif dan edukatif, kerja sama, koordinasi dan integrasi. Pendekatan-pendekatan ini pada dasarnya, tanpa disadari sudah kita jalankan bersama. Hanya saja, jarang sekali ada peningkatan kualitas dan optimalisasi berdasarkan evaluasi kinerja kehumasan. Kerja kehumasan masih dianggap bisa dikerjakan secara sambilan dan seluruh orang dalam tim bisa melakukannya.
Persoalan yang jarang disadari oleh humas adalah, media meanstream yang profesional selalu membaca kebutuhan khalayak bahkan menyadari akan keterpengaruhan isi informasi dari eksternal, sementara humas selalu berdasarkan kepentingan lembaga. Harus ada kombinasi antara kebutuhan lembaga dengan kepentingan khalayak. Humas harus ingat selalu agar mempertemukan dua hal ini sebagai seni kreasi membangun pesan komunikasi massa. Memaksa kepentingan lembaga sementara khalayak tidak membutuhkan, “laksana membuang garam ke laut.”
Strategi kehumasan perlu disusun dengan memulai langkah membaca keadaan, melihat masalah-masalah yang muncul. Mengindentifikasi dari unit-unit sasaran yang hendak dicapai. Mengevaluasi sehingga dapat memahami secara mendalam kondisi objektif sasaran. Lebih jauh lagi menguasai struktur kekuasaan dalam unit-unit sasaran pesan yang hendak dituju. Hal inilah yang akan melahirkan langkah taktis dari strategis yang hendak dijalankan humas.
Humas dan media tidak bisa dipisahkan. Keduanya saling membutuhkan seperti dua sisi mata uang. Humas membutuhkan media, media membutuhkan humas. Humas perlu memahami seluk-beluk watak media, sebagai alat menyampaikan pesan. Media terus berkembang, Humas harus mengikutinya.
Humas yang profesional akan mendengarkan nasehat Scott M. Cutlip & Allen H. Center (1982), ada empat tahapan atau langkah-langkah pokok yang menjadi landasan acuan untuk pelaksanaan program kerja kehumasan, yaitu: Penelitian dan mendengarkan (research–listening); Perencanaan dan mengambil keputusan (planning–decision); Mengkomunikasikan dan pelaksanaan (communication–action); Mengevaluasi (evaluation).
Profesi humas menuntut seseorang yang extrovert, karena aktivitas komunikasi kepada khalayak setiap saat harus menjadi bagian dari passion. Baik ke dalam lembaga maupun ke luar lembaga, seorang praktisi humas memang mesti menjalin hubungan baik, dalam bahasa agamanya silaturrahim dengan pendekatan personal, setelah menjalani pendekatan formalistik. Pendekatan informal justru lebih kuat hasilnya untuk mencapai tujuan kehumasan.
Pola pikir dan kehidupan praktisi humas setali tiga uang dengan jurnalis. Seorang jurnalis hampir menguasai seluruh syarat dan rukun seorang humas. Jika saja praktisi humas memiliki kemampuan setara juga dengan jurnalis, dengan membaca keadaan berdasarkan nilai berita, maka sangatlah kuat posisinya memproduksi informasi positif dari lembaganya. Ada seni kreatif melahirkan, merekayasa, informasi dari dinamika yang berkembang di lembaga. Informasi dikemas tidak sekadar dari sebuah peristiwa, acara serta program semata tetapi dilahirkan karena ide-ide kreatif melihat dinamika berkembang.
Di era informasi saat ini, tuntutan skill seperti praktisi humas dan jurnalis tersebut hampir sudah di semua lini kehidupan. Hanya tenaga-tenaga yang berhadapan dengan mesinlah yang tak membutuhkan skill seperti ini. Tony Wagner (2008) merumuskan Seven Survival Skills for 21st Century, yaitu; critical thinking and problem solving; collaboration across network; agility and adaptability; Initiative and entrepreneurship; accessing and analysing information; effective communication; curiosity and imagination.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, revitalisasi kehumasan yang kita bicarakan bukan lagi di posisi konten-strategi-medium, tetapi juga praktisi humas yang akan dilibatkan. Praktisi humas yang tidak mengikuti perkembangan, tidak ingin belajar, tidak mungkin bisa ikut ambil bagian lebih banyak. Apalagi yang tak mau berdekatan, berakrab-akrab dengan teknologi informasi, selalu menganggap diri gagap teknologi (gaptek), harus rela menepi.
[] Dr. Abdullah Khusairi, MA. Dosen Pengkajian Islam dan Komunikasi Massa di Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang